Saturday, December 11, 2010

Gula-Gula

Katamu, dulu aku sangat tahu bagaimana cara paling tepat menikmati gula-gula. Melumerkan lapisan padatnya di lidah lalu diam-diam manisnya kubawa sampai ke mimpi. Kamu pula yang sering kali terheran-heran, apa sebab aku betah berlama-lama menyimpannya dibawah dinding mulut. Ancaman bahwa ia akan melubangi gigiku seperti yg sering kau ucapkan tak berhasil menakutiku. Gula-gulaku seperti candu yang tak bisa kulepaskan. Nikmatnya mengikat, sumpah mati aku terpikat.

Namun itu dulu. Saat sore terlalu manja bila dilewatkan tanpa cerita.

Sekarang, ujung dan pangkal indraku seperti kehilangan fungsi. Aku tak mampu membedakan warna, tak mampu pula merasakan manis atau masam. Aku kebingungan, sementara gula-gulaku seperti semula sama saja. Masih terbungkus plastik bening warna merah muda. Lalu apa yang beda, mungkin racikan tangan yang tak lagi sama. Mungkin aku yang mulai menua, tak lagi selera pada gula-gula.

Ah, mana mungkin. Bukankah aku membutuhkannya seperti sungai membutuhkan air mengalir. Karena sungai bukanlah sungai tanpa ada isi yang dibendungnya. Bahkan sempat kutuliskan dalam jurnal hidupku, betapa istimewa artinya satu kesukaanku itu.

Analisamu, pilihan yang bercabanglah yang mengganggu curahan perhatianku. Aku diam, tak bisa membenarkan. Ingin kusalahkan, tapi takut bila jangan-jangan memang benar seperti yang kamu sebutkan. Ya Tuhan, apa yang salah pada pengecapku. Kuteguk air putih banyak-banyak, kugosok lidahku dengan sabut kelapa. Kesat. Aku ingin ia kembali seperti sedia kala. Agar rindu ini tersampaikan bila nanti bertemu lagi dengan gula-gula.

Kutelusuri sepanjang jalan, kuingat benar beberapa penjual memamerkan gula-gula terbaiknya dibalik etalase kaca satu meteran. Biasanya selepas kerja, aku selalu melewatinya dengan wajah tergiur bersemu-semu. Namun apa mau dikata, tak satupun gula-gula dapat kusapa. Kotak pajangan itu melompong tanpa dagangan.

Aku pulang dengan tangan hampa. Penuh sesak cerita betapa kecewa tak bertemu gula-gula. Namun wajahmu datar, hanya sempat mengernyitkan dahi di detik ke sepersekian. Katamu, memang kamu yang membuang semua gula-gula di dunia, saat tahu ternyata aku tak lagi pandai menikmatinya.

Tak mungkin sanggup tak menangis, saat menyadari kegagalanku ini sempurna.

Menuju Semarang, 10 Desember 2010

Monday, November 22, 2010

Pulang

Aku ingin pulang, ke padang luas yg mereka sebut gersang. Penuh debu dan tercetuslah kotaku tersayang kota tuaku yang usang. Namun apapun kata mereka, tak terbendung langkah ingin kembali memeluk cerita di peraduan lama. Bergelut bersama harapan di kursi rotan buatan tangan. Merengkuh roda kehidupan yang kukayuh dengan cinta sepenuh jiwa. Aku tetap ingin pulang.

Kudewasakan mimpi di sana, tumbuh bersama benturan yang mememarkan di kiri dan kanan, besar bersama goncangan yg membuat isinya berantakan. Kurapikan lagi, berantakan lagi. Kurapikan lagi, tentu saja sesaat lagipun akan berantakan lagi. Begitu seterusnya, belum berhenti hingga ia tumbuh menjalar seolah hanya 3 centi lagi tergapai. Aku melompat, belum juga kudapat. Kudengar sorakan, menyemangati dan mencemoohi. Aku tutup telinga, 3 centi lagi jarak pandangnya, lompatanku akan melambung lebih tinggi, aku berjanji. Sesaat lagi, saat aku pulang ke padang yg mereka sebut gersang.

Bukan aku tak betah disini, tentu saja aku akan selalu kerasan kembali. Padamu doa kebahagiaan kulafalkan sepanjang malam. Namun mengertilah, ada satu janji yang harus kutepati. Bukan hanya soal hati, namun juga perkara kenapa aku belum mau mati. Ini alasan kenapa aku selalu ingin bergegas pagi. Ini gairah yang selalu mencuatkan senyum saat lelah menguasai. Ini tentang keikhlasan yang melegakan saat air mata menyungai tak terbendung lagi. Aku yakin kau mengerti, setidaknya aku yakin sesungguhnya kau akan mengerti.

Maka biarlah dulu aku pulang. Lalu untukmu, akan kubawakan bingkisan sebagai buah tangan saat lebaran haji tahun depan. Tenangkan hatimu. Tak lain dan tak bukan, kembaliku selalu padamu, jalanku menuju surgaku.

Sungguh. Aku hanya ingin pulang, dalam simpuh pada kuasa tuhan.


Ciputat, 20 November 2010

Thursday, November 4, 2010

Menghitung Usia

Saya termasuk yang tidak pernah menghitung usia. Malah tak jarang, orang lain yg mengingatkan jika saya merasa beberapa tahun lebih muda. Hehe..

Entahlah. Namun saya tidak sepakat jika usia dijadikan batasan untuk mengukur pencapaian keberhasilan seseorang. Seolah itu adalah garis mutlak yang bila tidak terlampaui, maka celakalah hidup manusia. Kata "seharusnya" yang dilekatkan setelah usia tertentu, terkadang membuat saya sedikit murka. Usia sekian seharusnya sudah mapan, bekerja, menikah punya anak, punya rumah dst. Siapa yg mengharuskan? Bukankah itu hanyalah aturan yang tidak pernah tertulis namun lalu disama ratakan fungsinya, dipukul rata. Dan bukankah kita tidak pernah tahu ketetapan masing-masing hati. Datangnya tidak mungkin seragam sama sesuai jadwal.

Ini bukan pembelaan saya atas apa-apa yang belum terlampaui di usia ini. Sama sekali bukan. Sebaliknya, ini adalah bentuk suka cita saya terhadap apa yang sudah saya lampaui. Saya merasa terberkati, di usia ini banyak hal yang sudah saya kerjakan dan saya yakini bukan sia-sia. Beberapa melihat saya terlambat, beberapa juga melihat saya tidak maksimal. Namun siapa yg mampu membaca puasnya hati jika melakukan sesuatu dgn cinta.

Sebaik-baiknya manusia adalah yang memberi manfaat bagi orang lain. Satu kalimat sederhana yang berarti luar biasa bagi saya. Menjadi motivasi bagi hidup saya. Biarlah jika beberapa pendapat memarginalkan pilihan saya, namun saya meyakini hidup saya menghidupi orang lain, dan itu membuat saya bernafas dengan lega. Saya merasa tangan dan langkah ini berarti.

Diusia ini saya tidak akan bertanya kenapa, kapan dan bagaimana padaNya. Saya mengerti bahwa Tuhan telah atur semua, tidak mungkin ada yang terlupa. Saya akan menjadi hamba yang sabar dan banyak berdoa. Tentang usaha, dalam setiap nafas ia akan selalu ada. Saya bukan yang pendiam dalam bekerja. Tidak :)












Saya tidak menghitung usia, namun bukan berarti saya lupa, 26 tahun perjalanan kehidupan saya. Cinta luar biasa saya dapatkan, mama papa yang tidak berhenti berdoa dan menyayangi saya, apapun untuk kebaikan saya. Saya yakin itu. Saudara dan keponakan-keponakan lucu yang menghujani dengan peluk cium dan kata sayang. Sahabat yang tidak pernah lupa berbagi doa dan ceria. Pekerjaan yang selalu saya syukuri karena beberapa tangan tergenggam dan tercukupi. Saya bersyukur.














Juga untuk kekasih yang rela memetik kebahagiaan hingga ke ujung dunia hanya untuk diberikannya kepada saya. Ini sungguhan. Betapa usahanya untuk membahagiakan saya selalu membuat saya bertekuk lutut pada cintanya. Tepat saat 26 tahun usia saya. Saya meneteskan banyak air mata melihat perjuangannya. Kebahagiaan memang tidak bisa dibeli, namun dia membelikannya untuk saya dengan besar perjuangannya. Lebih dari sekedar kado hebat yang saya terima, sebuah pensil warna lengkap, dengan ukiran nama saya di ujung kayunya. Lebih dari kejutan manis di malam hari, butik kecil tersulap penuh lampion warna-warni. Lebih dari itu. Dia mengajari saya, bahwa mencintai adalah melakukan segalanya untuk seulas senyum bahagia, tidak berhenti meski terkadang nyeri terasa diujung hati. Besar harapan saya agar saya bukan sekedar membalas dengan rasa haru semata, namun dengan pengabdian pada cinta yang tidak menghitung usia.







26 tahun, dan saya tahu Tuhan selalu baik hati. Hidup saya terberkati. Matur nuwun, Gusti.






13 Oktober 2010

Monday, September 20, 2010

Sepetak Mimpi dalam Toko

Astaga, ternyata cukup lama jemari ini tidak saya paksakan untuk menggoreskan rasa lewat kata-kata. Bukan apa-apa, hanya tampaknya kedua tangan saya sudah terlalu lelah setibanya di rumah. Melemah setelah seharian menjamu mimpi yang datang, membuatkannya kopi, menyiapkan setoples nastar bertutup plastik warna lembayung langit pagi. Harapan saya, Hei mimpi bersenang-senanglah disini, jangan lupa untuk tetap datang kembali. Namun saat memang ia harus pergi, saya pula yang melepasnya dengan lambaian tangan berulang kali. Harapan saya, agar sang mimpi menaruh perhatian lebih pada gerakan tangan yang bergoyang lebih cepat dari "wiper" penyeka air kaca depan, hingga tak sempatlah baginya melihat genangan di sudut mata kecil perempuan. Melepaskan mimpi tentu saja rasanya berat sekali, meski hanya berpisah ranjang dalam sehari. Sungguh..


Ya ya begitu.. Jadi baru lah saja saya sadari, lebih dari sebulan ini tumpukan kalimat hanya berhenti dalam hati. Sama tebal dengan ensiklopedi, hanya mungkin ceritanya jauh dari runtut, berlompatan sesuai dengan berkabung atau tidak, mendung atau cerah langit sang pemilik hati.


Sementara belakangan, waktu senggang saya habiskan khusyuk melumat hujan dari balik jendela toko kecil di Gejayan. Lagi-lagi tangan saya terlalu sibuk menjadi patung penyangga dagu, melihat percikan air yang muncrat dari genangan yang terlindas ban mobil yang melaju. Dari balik kaca, cipratan kobokan coklat itu melesak dan berpendar menjadi air mancur di Telaga Biru. Lalu rembesan air hujan yang menodai dinding sebelah utara sering memunculkan ragam liar warna warni. Tentang sosok pengantin bertutup kerudung putih yang serta merta berubah bentuk menjadi kubah masjid di sore esok hari. Pernah suatu ketika, saat angin tergesa-gesa menyerbu toko kami, pohon trembesi di pinggir jalan bergoyang seperti hendak menikam dengan dahan sebilah pisau, saya kehilangan nyali. Tapi lagi-lagi imaji berhasil menghibur diri, rembesan air di dinding mencandai, berbentuk kepala sapi. Hingga saya pun tak takut lagi. Bila hujan membanjiri, saya akan naik sampai ke atas kepala sapi. Ah, bilapun ternyata harus ternggelam, paling tidak ada si kepala sapi yang menemani.


Liar bukan kepalang, isi kepala bertukar tempat dengan sketsa masa depan, marah-marah dengan masa lalu, juga kelelahan adu argumen dengan nasib hidup hari ini. Saya habiskan semuanya di toko itu. Ruangan kecil yang dibuat sendiri oleh tangan sepasang kekasih. Tangan yang telapak kasarnya terbuka saat menampung cinta yang terluruh dari semua kemungkinan yang dunia sebut muskil. Kami berlindung disana, dari segala ketakutan, kekhawatiran, ketidakberdayaan. Kami berteduh, dari semua yang melegamkan harapan. Kadang kami gentar, menangis dengan kaki gemetar yang bahkan tak sanggup menyangga beban. Tapi pun kami, saya dan dia, berserah pada doa yang terlafalkan setiap malam. Sebelum terbujur dan bertanya apa-apa lagi yang akan terjadi saat esok pagi datang.



Akankah sama? Mencandai lagi genangan air dipinggir jalan, membebaskan ilusi liar atas rembesan air di dinding. Akankah sama? Berlindung di balik mimpi yang kita jamu dengan setulus hati.






Dibalik ruangan kecil itu, sepetak mimpi saya bebaskan melambung terpelanting sesuka hati. Dan kamu, rembesan bentuk kepala sapi. Ah...hanya imajinasi.



Santi's Shop, Gejayan, Jogjakarta. 19 September 2010

Sunday, July 25, 2010

Pemuja Sore

Untuk kamu sang pemuja sore.
Kapan lagi kita menikmati secangkir jahe dan sepotong kue.
Percayalah ini bukan hanya tentang perut yang perlu diisi,
Ini tentang rindu yang mengeluh minta diobati.
Ini tentang obrolan jenaka yang membuatku selalu khayalkan kamu disini.
Tentang genggam hangat tanganmu persis saat tenggelamnya matahari.
Ini tentang sore yang tak mungkin sama,
Jika kamu tak ada


Jogjakarta, 25 Juli 2010

Thursday, July 15, 2010

Bagaimana Mencatatnya

Rasanya tidak lengkap catatan saya jika saya tidak menuliskan ini, sebuah kesempatan yang saya anggap istimewa dan hanya sekali waktu terjadi. Saat dimana saya merasa Tuhan tidak terlalu bermurah hati pada saya. Ya memang, pada saat itu saya lah yang kurang bijaksana, melihat selalu ke atas, hingga menganggap diri terlalu rendah. Lupa bersyukur terlalu banyak meminta. Hingga saya menjadi malu. Ya Ampun, ternyata saya adalah hambaNya yang selalu berprasangka buruk, bahkan ketika sesungguhnya saya tak pernah tahu apa yang akan terjadi dalam kurun satu jam lagi.

Yang saya tahu saat memulai hari itu, seharian saya akan menjadi tak lebih dari seorang MC Dokter Kecil Lifebuoy di tempat terbuka Prambanan, bersama anak-anak yang tentu saja bukan hanya menyenangkan tapi juga merepotkan. Berhadapan dengan klien yang cicicuit cerewetnya bukan main, -yang setelah saya pikir-pikir lagi, ya sudahlah mereka kan hanya pekerja profesional yang menjalankan tugas dengan baik- Mana saya menyangka jika di satu hari yang saya tuduhkan akan biasa-biasa itu malah meninggalkan goresan kesejukan dan ketenangan.

Berawal dari pertemuan saya dengan partner MC yang terlanjur saya sosokkan sebagai seorang yang sombong, dan tidak menyenangkan. Maaf, biasanya, biarpun status sama-sama MC, namun jika hanya menjadi pendamping MC Utama yang konon adalah artis ibu kota,ya begitulah adanya sikap mereka terhadap kami MC lokal. Tapi ternyata tidak semua begitu. Maafkan saya sekali lagi, manusia yang terlalu cepat menyimpulkan bahkan sebelum kehendak Tuhan terjadi.

Dik Doank, sosok yang sebelumnya hanya saya lihat dari televisi, adalah sosok yang jauh berbeda dari bayangan saya akan glamournya dunia selebriti. Setengah hari kebersamaan kami dalam konteks bekerja, saya belajar mengenai banyak hal darinya. Bukan hanya bagaimana tentang menghidupkan suasana, menghilangkan rasa jenuh anak-anak, tapi juga tentang menghilangkan prasangka.

Saya tidak pernah menduga, diantara keterbatasan waktu yang diberikan saat break, dia mengajak saya untuk shalat dzuhur bersama. Mulai lah dia bercerita tentang betapa Allah memberi banyak kemudahan dalam ibadah, dengan menjamak sholat dan mengqashar rakaat. Lalu kenapa manusia masih seolah merasa kesulitan menjalankan perintahnya. Padahal waktu ibadah kita 5 waktu itu mungkin hanya sekitar 30 menit, apa lah artinya itu dibanding 24 jam waktu seharian yang diberikan, yang kita pakai untuk bekerja, untuk jalan-jalan, untuk facebook-an, twitter-an dll. Hahaha, pipi saya tidak merah, tetapi saya kok merasa seperti ada yang menampar.

Perlahan, saya sampaikan kekaguman saya tentang konsistensinya menjalankan ibadah, dan dengan berapi-api, beginilah jawabannya "sholat 5 waktu itu biasa san, yang hebat itu sholat sunnah. Dzakat itu biasa banget, tapi yang hebat kalau bisa terus sedekah". Saya makin merasa ruang-ruang hampa dalam diri saya mulai terisi, lalu perlahan terasa hangat. Di sela-sela acara, saat istirahat kami berdiskusi tentang banyak hal.

Tentang pekerjaan, dia sampaikan pada saya, bukan pointnya bekerja di kantor, swasta, atau entertainment. Kalau kita kembalikan pada peran kita sebagai HambaNya. Maka di manapun kita bekerja, kita hanya akan melakukan kebaikan, dan pekerjaan yang kami lakukan, jika dijalankan dengan hati yg tulus ikhlas akan terasa sebagai berkah yang luar biasa. Bekerja untuk membuat orang lain senang dengan hati yang juga senang. Lalu, dia juga membesarkan hati saya yang galau. Tentang perasaan saya yang merapuh sebagai seorang anak, saya merasa belum sanggup membahagiakan kedua orang tua dengan mewujudkan keinginan-keinginan beliau. Lalu dia katakan pada saya, Jangan pernah salahakan rasa sayang orang tua yang diberikan dengan berbagai macam caranya. Orang tua itu sayang sama anak, sangat sayang. Itulah kenapa mereka selalu menginginkan anaknya sukses, terkadang dengan cara-cara yang mereka pilihkan sendiri. Tapi bukan berarti anak tidak punya pilihan, San. Tunjukkan kamu bisa, kamu mampu sukses, kamu bahagia. Maka orang tua akan mengerti dan bersyukur. Saya yakin, sesungguhnya orang tua tidak pernah berhenti mendoakan anak.

Sulit untuk menceritakan dengan runtut apa-apa saja yang kami ceritakan, namun ada satu yang saya ingat, ceritanya tentang keluarga. Mas Dik Doank tampak bersungguh-sungguh ketika menyampaikan petuahnya. Katanya, jadilah perempuan yang cerdas, jauh lebih cerdas dari pada suamimu nanti. Kenapa? karena kamu akan menemani anak-anakmu meraih masa depannya, karena kamu akan membantu suamimu menjalankan pekerjaannya. Tapi, jadilah perempuan yang terlihat lemah di mata suamimu nanti, pura-pura jg nggak apa-apa deh, karena sebenernya laki-laki suka saat merasa dibutuhkan. Dia menutupnya dengan satu tawa yang keras, sambil membuat pengakuan bahwa kesal sebenarnya saat harus mengakui kalimat terakhirnya. Saya juga jadi ikut tertawa, seolah melepas sebentar beban di pundak saya.

Lalu soal betapa gemasnya dia pada dunia pendidikan di Indonesia yang seolah hanya mengedepankan persoalan hitungan semata. Dia sampaikan pada saya tentang keheranannya. Aneh, karena anak dianggap cerdas bila hebat soal hitungan sedangkan kreatifitasnya tumpul. Entah sampai kapan anak-anak itu akan terus-terusan menggambar 2 gunung menjulang dengan 1 matahari ditengahnya, ujarnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Berbeda dengan sekolah alam yang dibuatnya, Kandang JuranK DoanK, yang menggunakan Asmaul Husna sebagai panutannya dalam kegiatan belajar mengajar. Asmaul husna, nama-nama baik Allah dimana Al Khalik Yang Maha Mencipta ada di urutan ke 14 ada di urutan lebih awal dibanding Al hisab, Yang Maha Menghitung. Dik Doank mengedepankan kreatifitas dan indah berkesenian dalam pengajarannya. Menurutnya, jika anak menyukai keindahan, maka anak akan menyukai kedamaian, tidak menyukai permusuhan, tidak akan mencemari lingkungan dan tentu saja akan membenci kebodohan. Kebodohan itu sama sekali tidak indah.

Dan meski ajaran di sekolahnya berlandaskan Asmaul Husna, namun dikatakannya, pengetahuan manusia tentang agama tidak lah boleh tertutup, harus terbuka. Ajaran agama yang diturunkan pada manusia tidak lebih dari budaya yang diterima dari pendahulunya. Agama manapun tak ada yang satupun mengajarkan kejahatan dan hal - hal buruk lainnya. Itulah kenapa kita harus menghormati agama lain.

Masih banyak yang kami diskusikan dan bicarakan. Bila sebulan belakangan mata dan telinga saya selalu penuh oleh hingar bingar pemberitaan selebritis dan videonya yang seolah menyeragamkan dunia entertainment. Hari itu saya seperti tersadar bahwa tak semestinya manusia terlalu gegabah menyimpulkan, tidak semua seniman selalu menjadi hamba yang lupa dan pendosa. Setidaknya saya masih sempat bertemu dengan satu diantara mereka yang menyadarkan saya, bahwa pahala ataupun dosa adalah urusan manusia di dunia untuk dipertanggung jawabkan di akhirat. Kewajiban kita untuk menjadi HambaNya yang selalu mensyukuri rahmat yang diberikan dengan menjalankan perintahNya, Namun tak sedikitpun berhak kita menghakimi, biarkan itu menjadi rahasia Allah di Yaumul Nisab.













Seolah kesejukan baru saja mengisi kekosongan di jiwa saya, seharian itu saya merasa malu karena terlalu terburu-buru berprasangka di awal hari. Kebaikan hati yang Tuhan berikan pada saya, terlalu sempit bila harus saya batasi artinya dengan sulitnya mobilitas, dengan banyaknya keringat yang terperas seharian oleh panasnya matahari, dengan materi yang tidak seharusnya saya bebani dengan hitungan-hitungan dan pertanyaan. Bukan itu ternyata. Ini tentang sebuah pelajaran yang hanya bisa dirasakan jika saya mulai mensyukuri langkah yang Tuhan arahkan. Sebuah pelajaran yang memang diberikan untuk saya, di satu satu tempat, di satu waktu yang tak dapat saya minta atau diputar kembali.

Ini tentang bagaimana saya mencatatnya, meresapinya dan sebenar-benarnya mensyukurinya.

Jogjakarta, 15 Juli 2010

Wednesday, June 30, 2010

Di Usianya

Terkadang manusia memang tak bisa berbuat banyak atas jalan hidup yang dipilihkan Tuhan untuk mereka. Sama halnya dengan "mbak-mbak" yang membantu beberapa pekerjaan di keluarga saya. Mbak Anis dan mbak Shiroh namanya, dua orang yang tentu saja sangat berjasa dalam kelancaran dan kerapian seisi rumah. Saat ini usianya baru belasan tahun,Mbak Anis 18 thn, mbak Shiroh 17 thn, usia yang sama saat saya dulu masih duduk di bangku sekolah, bermain bersama teman-teman, tak berpikir terlalu keras selain tentang pelajaran dan ujian. Namun demikian saya yakin, pasti inilah pilihan yang mereka rasa terbaik untuk dijalani, bekerja keras jauh dari keluarga, merelakan masa mudanya terbatasi oleh tanggungjawab yang mereka pertaruhkan untuk pekerjaannya.

Mereka manusia biasa di usianya, yang seperti halnya remaja lain, mereka senang mengekspresikan diri, senang berpenampilan menarik, berhasrat dan ingin tahu tentang hubungan lawan jenis. Saya ingat sekali betapa centilnya saya semasa remaja (well ok, pun masih berlangsung hingga saat ini :D ) selalu mengikuti perkembangan mode terbaru, mengikuti apa kata majalah, dan bila saya ketinggalan lagu-lagu terbaru dari band-band papan atas, itu artinya saya ketinggalan jaman. Maka saya pun tidak heran jika mbak-mbak saya itu lebih hafal dengan nama-nama band yang bahkan lagunya tidak di putar di radio saya bekerja. Mereka menyimpan mp3nya di handphone, lalu mereka putar saat mereka menyetrika atau memasak. Ya sudahlah, apa lagi hiburan mereka.. Jalan-jalan, shopping atau makan di mall seenaknya? jangan bercanda..

Kemarin ketika saya pulang ke rumah lebih cepat dari biasanya, rupanya itu cukup mengagetkan kedua "mbak" saya. Saya pulang di saat yang tidak tepat bagi mereka. Persis saat saya memarkir kendaraan di depan pagar, mbak-mbak saya sedang asyik berfoto dengan kamera handphonenya. Mungkin bukan hanya sekedar alasan itu saja yang membuat mereka tunggang langgang melihat saya, tapi bando milik saya dengan bunga merekah putih yang masih melekat di kepalanya dan tidak lagi sempat disembunyikan.

Oh Tuhan saya sungguh tidak keberatan sebenarnya. Saya bahkan sungguh mengerti, bahwa diusianya, mendekomentasikan diri dalam potret-potret yang disimpan di handphone mereka adalah hal yang lumrah. Bukankah nyaris remaja-remaja sekarang melakukannya, lalu apa salahnya? bukankah mereka juga masih remaja. Miris hati ini melihat mereka yang lari tunggang langgang menahan malu karena ketahuan hiasan bunga milik saya masih terselip di rambutnya. Saya malahan sedih, menyadari bahwa mereka adalah gadis-gadis biasa yang terpaksa menahan hasrat mudanya yang meledak-ledak. Seolah sayapun merasa patut dipersalahkan karena menjadi pemicu yang membuat keinginan-keinginan mereka semakin sulit dikendalikan. Adalah saya, yang membuat kesenjangan itu semakin terasa seperti jurang yang menyakitkan. Karena itu, maafkan saya ya..

Mbak-Mbakku sayang, mbak-mbak yang masih sempat tertawa dan memuja cinta ditengah beratnya tempaan kehidupan. Untuk pilihan sulit yang sudah berani kau buat, untuk pilihan yang lebih dari sekedar keterpaksaan namun juga sebuah pengorbanan, saya angkat topi tinggi-tinggi. Padamu, saya belajar untuk lebih berkaca memandang diri dengan rendah hati, lalu mensyukuri nikmat Tuhan yang terkadang saya alpakan.

Bukankah sesungguhnya setiap kita adalah manusia yang selalu dihadapkan dengan pilihan. Bersyukur bila tanggungjawabnya berjalan beriringan dengan hasrat alamiah manusia, namun bila ternyata berseberangan, maka hanya manusia-manusia hebat yang pada akhirnya tetap bisa konsisten dan bertahan.

Buat saya, mbak-mbak saya itu tetap sama saja dengan gadis remaja lainnya, keinginan mereka lumrah dan tak bersalah. Toh itu tak membuat mereka berhenti membantu saya, keluarga saya dan keluarganya.

Barbados, Jogjakarta, 30 Juni 2010

Tuesday, June 15, 2010

Catatan Doa

Ya Allah, tepat hari ini lelaki yang kukasihi sedang bertambah usia, dan aku sangat mengerti, bila itu berarti semakin berkurang pula jatah kehidupan yang telah Kau tuliskan untuknya.

Dia teman terbaik yang hadir di setiap nafasku,karena itu ya Allah, mudahkanlah jalannya.
Kuatkanlah hatinya.
Sabarkanlah marahnya.
Peluklah sedihnya.
Ceriakan tawanya.
Temani hari-harinya.
Biarkan dia mewujudkan impiannya..

Lalu bila memang menjadi ijinMu, biarkan aku mencintainya selamanya, ya Allah.
Tak akan sesempurna penghambaanku padaMu, namun biarlah aku mempersembahkan cinta terbaik yang aku punya.

Ya Allah, aku tahu Engkau tak pernah pergi, karena nya lah kupercayakan semua padaMu.. Dan bila dia menemuiMu hari ini, mohon sampaikan padanya, perempuan ini sangat mencintainya, dan berbahagia untuknya.

Jogjakarta, 16 Juni 2010 "Happy birthday, sayang"

Thursday, June 10, 2010

Caramu Merindukanku

Malam ini aku terpukau pada angan yang membeku, tak bisa bergerak hanya merapat saja di sudut-sudut situ. Berpikir tentang kamu dan hanya selalu tentang kamu. Wangimu, cara berjalanmu, cara tertawamu, cara bersenandungmu. Dan yang paling membuat ngilu, semua seolah berkelebat pasti di depan mataku. Lalu mendadak mencair. Nyes! Berubah menjadi cairan dingin yang menjalar hingga ke ujung kuku. Bukan hanya dingin malam, ini dingin kesepian.

Lalu aku ketakutan. Takut bila rindu ini akan berkepanjangan. Padahal kebiasaanmu terlanjur kuhafal sudah seperti asupan nutrisi yang berkecukupan, dan kehadiranmu? kehadiranmu bagiku adalah keseharian.

Caramu memanggilku dengan teriakan "Cenoooong" selalu kujawab dengan cengiran bersama mata menyipit tinggal sebatas garis, terkadang sembari tanpa ragu kamu usapkan telapak tanganmu dijidatku, tentu saja aku sering tersulut dan kesal, walaupun hanya dalam hitungan detik aku akan kembali jatuh di pundakmu. Lalu kebiasaanmu menggoda jurus rahasia berdandanku biasanya kubalas dengan raut pura-pura marah sambil mendaratkan cubitan di pinggangmu. Lalu segala gurauan kita yang tak pernah kita batasi, kita lepaskan bebas tanpa ada beban. Denganmu aku bahkan tak pernah malu, tak peduli bila akan terlihat jelek dan tak perlu terkekang oleh norma yang kaku. Juga caramu bernyanyi yang selalu membuatku yakin, bahwa pesona itu memang menjadi berkah, potensi dan harapan yang harus diwujudkan di masa depan. Belum lagi cerita-ceritamu tentang sejarah Cina, diskusi kita tentang cerpen kompas minggu, tentang headline surat kabar yang membuatmu gemas bila mata berputar-putar yang menjadi reaksiku. Tenang sayang, sudah banyak yang kuserap saat kamu bercerita dengan berapi-api saat itu, ya walaupun terkadang aku mencuri-curi waktu sesaat untuk membuka google agar bisa sedikit mengimbangimu. Lumayan lah agar ada bahan untuk mengomentari materi diskusi kita di saat itu. Yaya, Aku curang katamu, tapi kamu tak kalah curang. Kamu membuatku terbiasa dengan semua tentangmu, lalu aku terikat, tak bisa lepas dan bergantung padamu untuk menyentuh bahagiaku. Caramu mencintaiku yang sempurna, caramu merindukanku yang selalu terasa istimewa, semua lakumu yang jenaka dan menyebalkan, hingga setiap kebersamaan kita yang sederhana, tergubah menjadi alasan utama kerinduanku yang terasa terlalu lama. Oh Tuhan, air mataku terasa pahit meski tak tertelan barang sedikit. Entah kenapa aku pun yakin kamu pun merasakan hal yang sama, mungkin terdengar dari getirnya lagu sendu yang kamu bawakan dan hanya bisa kudengar lewat streaming radio malam ini.

Hidupku, keseharianku tanpa aku sadari adalah segala tentangmu. Tak heran bila malam ini aku terbujur layu, saat udara menyeruak di ruang yang menggemakan namamu. Sejak pagi tadi, belum kutemukan kamu.

Esok hari, aku harap rindu ini berbaik hati mempertemukanku dengan penawarnya.


Ciputat, 10 Juni 2010

Wednesday, June 2, 2010

When I'm Sick

Rezeki itu bentuknya bisa macam-macam, tergantung bagaimana kita melihat dan menyikapinya, begitu pula halnya dengan ujian. Orang naik pangkat, dapat jabatan tinggi, naik gaji dibilang rezeki. Padahal bisa jadi itu adalah ujian, bila lantas menyalah-artikan kedudukan, menyalah-gunakan jabatan, memboncengi status dengan segala hal yang bermuatan kepentingan pribadi. Terkadang memang sulit melihat dengan jernih, sekedar menempatkan posisi berdiri agar tak salah perspektif, lalu mengambil sikap bijak untuk mensyukuri rezeki atau ujian. Saya pun hampir salah, ketika saya mendapati diri jatuh sakit di tengah padatnya aktivitas saya.

Sejak awal minggu kemarin, alhamdulillah, agenda saya lumayan seru, kalender saya pun lumayan ramai dengan tanda merah yang saya bubuhkan bila saya menerima pekerjaan disamping siaran harian saya. Tentu saja jatuh sakit bukanlah hal yang diminta siapapun orangnya di dunia, saya mengcancel 2 jadwal yang tak memungkinkan saya lakoni dengan kondisi penuh bercak dan demam. Belum lagi GERONIMO, Radio tercinta saya yang sedang meriah-meriahnya merayakan ulang tahunnya yang 39. Banyak acara saya lewatkan dengan rasa kecewa yang besar, “Duh gusti, kenapa mesti sekarang sih sakitnya, dan kok ya kenapa mesti cacar air”. Beberapa teman saya memberi respon meledek ketika tahu saya sakit cacar, “Ya ampunnn.. segede ini baru cacar?? Dulu kecil ngapain aja San, belum kena cacar??” Hahaha.. semestinya sih wajar saja, karena setelah saya crossed check dengan mama saya, katanya dulu semasa kecil saya memang belum sempat kena cacar air.

Ya. Awalnya, saya menganggap sakit saya ini adalah sebuah ujian, badan tak enak, muka jadi penuh bercak oh jeleknya, pekerjaan tertunda, aktivitas terganggu. Tapi lalu saya teringat pengalaman saya persis seminggu sebelum saya terkena cacar. Saya kedatangan tamu pasien penderita Lupus di radio tempat saya bekerja. Kami ngobrol banyak tentang penyakit seribu wajah ini. Penyakit yang bahkan dokter sekalipun akan kesulitan untuk mendiagnosa penyakitnya, mengingat symptom-nya mirip dengan banyak penyakit berbahaya lain. Ini penyakit yang obatnya tidak bisa dengan mudah kita tebus begitu saja di apotik. Penyakit yang mengharuskan mereka hidup bersama pengobatan dalam kurun waktu hitungan tahun, bukan hanya semingguan seperti penyakit cacar saya. Penyakit yang bahkan resikonya adalah kebutaan dan lumpuh, bukan sekedar bekas yang sulit hilang seperti resiko cacar yang saya alami. Mereka saja kuat, mereka saja tegar. Lha kok saya yang Cuma dikasih cacar saja mengeluh. Ini kan cuma cacar..

Masih lekat dan segar juga dalam ingatan saya. Dua hari sebelumnya, saya sempat melihat berita dari televisi, tentang pak Iksan, seorang bapak yang berusia 61 tahun di Surabaya, Jawa Timur. Beliau berencana menjual ginjalnya untuk membayar hutang dan pengobatan sang istri. Duh, mirisnya perasaan saya saat melihatnya, sehari-hari beliau hanya menyuapi istrinya yang sakit dengan nasi aking –nasi basi yang dikeringkan-, di rumahnya yang luasnya 3x4 meter, tak lebih luas dari setengah lapangan badminton. Benar-benar kehabisan cara, beliau berniat menjual ginjalnya untuk mengobati sang istri yang sedang sakit. Gusti Allah, mungkin memang benar ya, di negara ini orang miskin nggak boleh sakit, akan makin repot urusannya nanti. Saya bersyukur, masih bisa menanggung biaya pengobatan saya tanpa harus menjual ini itu. Tapi sayangnya tidak semua orang seberuntung saya. Banyak sekali manusia di luar sana, di tempat yang bahkan di luar batas jangkauan saya, mesti berpacu dengan kematian sekaligus melawan kemiskinan.













Bila memang sakit saya ini adalah ujian, maka ini hanya ujian kecil yang harus saya jalani. Ada ribuan ujian yang dihadapkan pada manusia dan itu ribuan kali lebih berat dari yang saya jalani. Saya sendiri pada akhirnya lebih suka mensyukuri sakit ini sebagai rezeki. Karena setelah saya renungi, cacar saya ini memaksa saya banyak berdiam di rumah, berpikir tentang ini-itu yang sebelumnya mana sempat saya pikirkan, saya menyelesaikan buku bacaan saya, saya berkumpul dengan keluarga -mama saya pulang, saudara-saudara saya mendoakan, pacar saya terus menyemangati dan rajin menjenguk ke rumah, teman-teman saya perhatian, saya punya banyak waktu untuk browsing banyak hal sesuka saya. Alhamdulillah.. Meskipun kalau dikasih cacar sekali lagi, rasanya saya lebih baik di hukum lari keliling lapangan 10 kali.. hehehe

Memang, pada akhirnya sama saja, dalam sebuah ujian sekalipun, selalu ada yang bisa direnungi dan dipelajari, agar masing-masing menjadi pribadi yang lebih baik lagi, baik akal maupun budi. Dan ini lah yang harus kita syukuri. Saya percaya dalam setiap ujian, Tuhan selalu punya maksud baik. Ikhlaskan saja..

Oh ya satu lagi, masalah waktu kedatangan cacar juga sudah saya ikhlaskan. Ya mungkin dipilihkan waktunya memang paling pas sekarang, ketika saya sembarangan saja mengatur waktu istirahat. Lagi pula saya anggap cacar sebagai satu lagi fase yang pasti dialami manusia, sama seperti akil baligh, menstruasi dan menopause pada wanita, seperti peristiwa ujian sekolah, kelulusan, kegagalan, bahkan juga seperti perkawinan dan kematian. Semua orang akan merasakannya, hanya saja datangnya di waktu yang tidak bersamaan..


Cheers,

Jogjakarta, 2 Juni 2010

Sunday, May 23, 2010

Sayangnya Tak Mungkin

Saat saya menuliskan ini, saya sedang bersama teman-teman seperjuangan menunggu giliran bekerja. Di ruang transit talent yang dipersiapkan panitia, seusai makan malam yang berlaukkan ayam goreng, bihun pedas dan berbagai menu lain yang menggugah selera. Beberapa di antara kami, asyik tenggelam mengikuti tingkah polah Upin Ipin yang lucu dari balik layar televisi. Kekasih saya memilih untuk membunuh waktu dengan memetik senar gitar dan meneriakkan suara serakknya dalam lagu balad yang terdengar menyanyat. Terlontar begitu saja dari mulut seorang teman, tak terlalu ingat suara siapa, mengeluhkan betapa lama harus membuang waktu menunggu. Rasanya percuma. Saya pun sempat membenarkan, sebelum saya mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.

Kami duduk, makan enak, menonton televisi, lalu menyumpah serapahi waktu yang seolah tak tahu bila sedang dinanti. Namun sadarkah bila seisi ruangan ini bukan hanya tentang kita yang kelelahan dan nyaris mati berdiri menanti. Ada dia, ada mereka. Yang sebelum kita datang dan duduk, sudah tegak di samping pintu sejak tadi, menunggu seseorang di antara kita melambaikan tangan, menghampiri, lalu membersihkan sisa-sisa makanan. Selebihnya, waktu kembali dihabiskan untuk berdiri lagi, menunggu kapan waktu memunguti piring-piring kotor agar bisa berdiri lagi, di samping pintu sudut yang situ-situ lagi.

Seandainya bisa, tentu dia lebih ingin berbagi tempat dengan kita, duduk menunggu giliran bekerja, menghibur lalu dielu-elukan. Hanya sekedar berbagi tempat, merasakan nyamannya lokasi yang biasa mereka tinggali. Bukan untuk melayani, tapi menikmati. Menikmati hidup yang kata sebagian orang ringan, yang kata sebagian orang santai. Kata sebagian orang yang tentu saja bukan mereka.

Bila semua di bumi ini dapat duduk sama rata, bila semua yang bernafas saat ini adalah tentang sama-sama berdirinya, tak peduli yang melayani ataupun yang dilayani. Seandainya di ruangan ini tak ada yang menahan segala kelu di persendian kaki, seandainya seluruh yang berdegup jantungnya di tempat persegi ini tak ada yang sedang berandai-andai menjadi orang lain. Seandainya semua peran bisa rata bahagia, sama ringan tanpa beban, tentu saya tak akan memaksakan diri menghabiskan waktu menuliskan satu persatu kegundahan saya.

Namun saya tahu, sayangnya itu tak mungkin. Ini yang mereka sebut hidup, tak bisa hanya tentang sama lega sama rasa.

Hanya bertukar-tukar saja. Hari ini mungkin mereka yang menghela nafas, menyeka keringat, menahan tangis. Esoknya, bisa jadi itu cerita tentang saya. Yang meski mungkin untuk alasan berbeda, namun tetap mengalah pada lelah dan menangis diam-diam. Ya, sayangnya, semua hanya jejak yang selalu terlacak sebatas misteri.

Dan seandainya saja saya tahu apa yang menjadi rahasia waktu nanti.. Ah, tentu saja sayangnya tak mungkin.

Jogjakarta, 23 Mei 2010

Wednesday, May 19, 2010

Mengubur Sajak

Menuliskan sebuah nama di atas dinding dengan warna senada.
Tiap goresannya menyisakan bebunyian yang miris mengiris telinga.
Tak terlihat?
Tak tampak?
Tentu saja.

Lalu kamu terus berteriak itu sia-sia,
Sementara aku berkata biarlah teruskan saja.
Ada banyak lengan bergantian memangku jemari dan menyelipkan semburat tinta.

Hingga sore ini saat hujan turun tepat diatas ubun-ubun kepala,
Barisan nada yang terlanjur kulukis mulai meleber tak berbentuk rupa semula.
Ubin menyisakan dingin hingga gerahamku menyatu dan bergemeletak seolah kerikil batu.
Bagaimana dengan kamu?
Juga kedinginan dan merasakan ngilu?
Sayang, kenapa tak ada suara?

Sayang?
Aku meraba, dan hanya bertatap senyap udara.
Oh. Kamu tak ada.
Tapi kemana?
Ingatanku lalu lalang mengejar sisa-sisa pengharapan.
Damn.
Kamu berlari terlalu cepat.
Maksudku, aku berjalan terlalu lambat.
Ya, begitu juga boleh.
Tak penting..

Yang jelas, kurasakan hanya tinggal aku sendiri,
Saat mengubur sajak-sajak yang tanah itu terus tangisi.








Jogjakarta, 18 mei 2010.

Saturday, May 8, 2010

Tentang Dunia Lelaki yang Kutitipi Sepasang Mata di Hatinya

Saat kamu datang di siang itu, bisa kurasakan lengket dan pekatnya kulitmu karena terbakar panas matahari. Meskipun begitu, aku tahu, kamu tak akan suka bila aku menghantar kesejukan dari pergerakan tanganku yang konstan bergerak naik turun di sampingmu, seperti juga halnya kamu tak suka bila aku menyeka keringatmu di depan teman-temanmu. Ya, tentu akan menjadi senjata maut untuk memperolokmu. Itulah kenapa kubiarkan hembusan angin mengitarimu perlahan hingga lalu keringat itu kering dengan sendirinya. Perkecualian bila memang hanya ada kita di sudut sini, sudah pasti kamu akan bergulung di pangkuanku, lalu aku akan memanjakanmu seolah kamu malaikat kecilku yang baru pulang berkeliling sepeda di usiamu puluhan tahun lalu. Perasaan ini memang besar, hingga kadang terlalu sulit untuk kubendung sendirian. Tapi tenanglah, itu tak akan menjadi pembenaran atas sikapku bila nantinya hanya akan membuatmu malu. Memang, sering kali aku merasa butuh berbagi, meski akupun jauh lebih mengerti bahwa aku harus tahu diri. Bukankah waktu dan keinginan tak selalu datang bersamaan? Ah, laki-laki.. kadang memang sulit dimengerti, entah gengsimu yang terlalu tinggi atau memang perasaanku yang sulit aku atasi.

Lihat duniamu lelaki, banyak hal yang sulit aku pahami. Tentang kesenangan yang kamu temukan saat terjaga hingga larut untuk melihat kesebelasan favoritmu berlaga dengan baju merahnya. Untuk teriakan dan decak kagum yang kamu teriakkan saat si kulit bundar itu akhirnya berhasil merobek gawang pertahanan lawan. Well ya, semisal pada saat itu aku menemanimu, sudah pasti adegannya aku sedang menahan diri untuk tidak terlalu sering menguap atau memilih melahap pizza tanpa jeda agar tidak terlalu terlihat mati gaya. Tapi memang begitu adanya dua manusia yang jenis identitasnya tak sama, memiliki keasyikan sendiri dan berbeda-beda. Seperi keasyikan yang tak berhasil kamu temui saat aku betah berlama-lama berselancar di sebuah fashion blog dunia maya. Bagimu itu mungkin entah apa ada manfaatnya, jauh lebih menyenangkan bermain Football Manager yang belum juga membuatmu bosan meski sudah dimainkan sejak kamu duduk di bangku Sekolah Dasar. Hebatnya, tak sekalipun kamu menyatakan keberatan atas segala macam hobi yang aku sukai, meski terkadang masih saja sepasang alis itu berkerut bila urusannya sudah bukan lagi hobi, melainkan pemborosan. Yah, aku pun begitu, sama saja. Bagaimana lantas perbedaan itu akhirnya sanggup hidup berdampingan dan saling membutuhkan, itu dia istimewanya.

Ya, lelaki..perempuan ini lantas terlanjur habis mencintaimu. Dengan cara bicaramu yang jauh berbeda dengan cara bicaraku, dengan cara berpikirmu yang melengkapi kekuranganku, dan tentu saja dengan rengkuhanmu yang selalu mampu menenangkan dan melindungiku. Aih aih, lalu tiba-tiba saja aku sudah bermimpi macam-macam tentang masa depan. Tapi lihat, dunia ini tak selalu indah di setiap sudutnya. Terkadang bahkan kita tak bisa terlalu larut menikmati suasana. Beban itu memaksa kita berlari tanpa henti. Seperti kuda yang tak seharipun libur dan tetap ditarik pedati. Benar, hidup memang terkadang susah, terkadang kejam, terkadang menyakitkan, dan aku tahu kamu tahu itu. Bukankah kamu yang sering kali membuka mataku :)

Di salah satu gang tengah kota kita berpapasan dengan lelaki paruh baya yang menarik gerobak sampahnya. Dan meski banyak bulir keringat menghiasi dahinya, tak sekalipun dia lupa tersenyum pada kita. Lalu kamu selalu membalas kebaikan itu tak hanya padanya, tapi juga pada tukang parkir yang membantu kita menyeberang, pada ibu-ibu penjual donat keliling, pada pengamen di warung seafood. Walaupun di lain waktu tak akan aku menyalahkan emosimu yang terlepas dari kendali, di suatu ketika pengendara lain membuatmu jengkel karena menyerobot jalanmu dengan seenaknya. Jendela mobil kamu buka setengahnya, matamu membelalak dua kali lebih besar dari sebelumnya, namun tajam ucapanmu terhenti dan tak sempat terlontar. Bisa jadi karena tanganku terlanjur menahanmu kencang-kencang atau gejolakmu yang dengan sendirinya tertahan saat sadari tak ada yang lebih baik dari menghindari masalah. Atau masih ingat ketika kamu begitu marah pada seorang lelaki yang bertengkar dengan tukang parkir di jalan utama kota? Aku paham itu karena kamu tak tahan melihat seorang pekerja kecil tersebut masih harus berhadapan dengan kejadian yang merendahkan dan menyesakkan untuknya. Kamu tak tega, kamu ikut terluka, namun cara kita memang berbeda. Bila kamu meledakkannya, aku hanya bisa mengusap punggungmu dan berharap amarah itu masih sanggup diredam. Ya kerana memang begitulah dunia, selalu ada yang tak ingin kita lihat tapi lantas tiba-tiba saja tersaji di depan mata. Ada yang tak ingin kita lakukan, tapi entah kenapa ada banyak hal juga yang membuat kita sanggup untuk berdiskusi dan penuh kompromi.

Aku mencintaimu lelaki, tapi memang tak bisa kupilihkan yang indah-indah saja untuk penglihatanmu atau hanya yang baik-baik saja untuk perasaanmu. Tentu saja itu tak mungkin. Karena itu, kuat dan tegarlah seperti karang, meski terkadang dingin, sepi, dan sakit tak mungkin kamu hindari. Menangislah saat ombak besar menerjang, atau saat angin bertiup berputar cepat. Tak apa. Paling tidak tangismu hanya akan sayup saja terdengar.

Buka matamu lebar-lebar, sayang. Ada banyak keanggunan yang bisa kamu decakkan, bukan hanya tentang panorama tapi juga tentang betapa cantiknya kaum hawa. Aku? Tentu hanyalah debu yang langsung habis dalam sekali tiupan. Tak usah kamu pungkiri lelaki, binar mata itu tak bisa dipaksa sembunyi, saat pesona wanita membuatmu malas untuk berkedip meski sepersekian detik :D Tenang, tak akan menjadi masalah untukku, meski memang terkadang aku masih saja tak bisa lari dari kejaran cemburu. Tapi memang ini yang harus aku hadapi, sepasang mata yang tak mungkin kupaksa terpejam, keindahan lain yang tak mungkin tak melenakan. Itu bukan ancaman, meski bisa dibilang godaan. Dalam hatiku yang paling jujur selalu ada harapan, agar hanya sepasang mata itu yang terpuaskan, namun tidak sepotong hatimu. Hanya padaku hatimu berdenyut manja, hanya padaku ia puas dan bebas bercerita. Jadi tak apa, diam-diam selalu kuselipkan sepasang mata di hatimu. Agar tak hilang arah pandang dan tak lupa pada siapa kamu akan kembali pulang.

Lelaki, aku ini hanya satu partikel kecil dari alam semesta, yang hanya bisa mengikuti dan menghadapi apa saja yang menjadi kehendak dunia. Namun bersamamu, aku tenang..



Jakarta Kota, 9 Mei 2010

Wednesday, May 5, 2010

Mimpi

“Semalam dia datang lagi. Dengan gunting yang saaangat besar di tangan kanannya” Suaranya bergetar, lirih meski tetap dapat terdengar. Kutatap setiap inci tubuh mungilnya, kulit langsatnya terlihat makin pucat, warna putih yang melingkari iris matanya tampak semakin buram. Ya, sepertinya dia memang terlihat kurang sehat. Duduk dengan kedua lutut terlipat, kedua tangannya mendekap erat, punggungnya yang melengkung bergoyang-goyang cepat, ke depan ke belakang ke depan ke belakang, begitu seterusnya. Sementara seperti biasa aku hanya diam, mendengarkan setiap suara yang dia ciptakan.
”Kamu tahu apa yang dia lakukan kali ini?”. tak sempat berpikir lebih lama lagi, dia menghardikku dengan suara yang lebih lantang ”Tahu apa yang dia lakukan???” aku tak kuasa memberi jawaban, hanya menggeleng perlahan.
”Dia menggunting habis rambutku!!” ”Habis.. benar benar habis” gadis itu menangis histeris, rambutnya yang panjang jatuh tersurai burai, menutup hampir keseluruhan wajahnya, oh si cantik yang berantakan.
”Seruni, tenang sayang, tenangkan dirimu” kuusap punggungnya yang terus bergoyang, wajahnya makin terbenam diantara kedua lututnya. Dia terus menangis seolah sedang terluka, oh tidak tidak, yang ini lebih menyedihkan, tangisan itu terdengar seperti tangisan sakit menghadapi kematian. Ya itu baru benar, tangis sakit menghadapi kematian.
”Kulit kepalaku terluka, dia memaksa menggunting rambutku dengan kasar, tuas tuas guntingnya yang besar itu terasa panas, hingga menggores kulit kepalaku sampai melepuh merah dan berdarah”, suaranya terbata-bata. Tetes air matanya yang jatuh menimbulkan bercak basah di lantai, saat dia menganggkat wajahnya, kulihat cairan bening menggenang di bawah hidungnya. Kupeluk dia erat-erat, ”Sabar Seruni, sabar ya.. Cuma mimpi..” Sayang sekali, usahaku untuk menenangkannya ternyata tak membuahkan hasil sedikitpun, dia malah melepaskan dekapanku dengan kasar, emosinya makin meledak ledak.
”Setiap malam dia datang dengan sebelah matanya yang bernanah dan mengeluarkan bau anyir! Semalam dia sudah menggunting habis rambutku, melukai kulit kepalaku hingga berdarah, malam yang lain dia mencabuti kuku jariku hingga aku berteriak dan kehabisan suara, saat yang lain dia mencucuki lubang hidungku dengan garpu panas hingga aku tersedak dan memuntahkan seluruh isi perutku, lalu apa kau ingat saat aku terbangun menangis meminta tolong seminggu yang lalu?? Itu karena dalam mimpiku dia menjatuhkan setrika di punggungku . Kamu bilang itu Cuma???” Cerita apa lagi yang kamu tunggu??? Hingga dia membongkar isi kepalaku, lalu melahap habis jalinan otakku???” Dia makin tak terkendali, tangisnya semakin hebat, aku yakin penghuni dua rumah di sebelah kami bahkan bisa mendengar suaranya. Ah, Seruni, aku sungguh benar-benar mengasihanimu, namun mungkin saat ini lebih baik jika kutinggalkan kamu sendiri.
Kututup pintu kamarnya perlahan ”Tenangkan dirimu sebentar, sayang” . Kurasa aku butuh waktu menghisap tembakauku sebentar, kusadari menghadapinya membuatku menghabiskan nikotin semakin cepat.

Ya, akhir-akhir ini hampir selalu hari-hari kami diwarnai dengan tangisan histerisnya. Dan aku memang tak punya daya apa-apa, selain mendengarkan jeritan di setiap cerita tragisnya. Tak ada yang bisa menghentikan mimpinya sampai sejauh ini, tentang perempuan bermata penuh nanah yang selalu menyiksanya. Obat penenang yang selalu ia tenggak sebelum tidur bahkan tak juga mampu membuat perempuan berbau anyir itu berhenti hadir di mimpi-mimpi Seruni. Dan percayalah, akupun tak pernah berhenti berpikir, apa yang bisa kulakukan untuk membantu kekasihku itu.

***
Kurasakan pundak kananku ditepuk perlahan, jika tak bisa dibilang tenang, berarti wajahnya sudah tampak lumayan datar. Rambutnya di gulung ke atas, hingga aku bisa melihat komposisi sempurna isi wajahnya, alis mata yang alami, matanya yang besar, hidung yang mancung, bibirnya yang tipis dan rahangnya yang kecil. Andai saja tak ada kabut suram yang melingkupi wajahnya, kecantikannya sempurna.
”Kopi?” disodorkannya cangkir hitam itu tepat di depan dadaku, uap panasnya mengepul di udara, bergeliat seolah meregangkan suasana tegang yang baru terjadi. Tentu saja tawaran secangkir kopi itu aku terima dengan suka cita, dengan harapan itu adalah pertanda baik untuk keadaannya sekaligus kelangsungan hubungan kami.
”Terima kasih. Sudah tenang, Seruni?” dia diam sejenak.
”Tergantung dari jawabanmu nanti”
”Maksudmu?” aku mengernyitkan alisku hingga mempetrmukan masing-masing.pangkalnya
” Jawab pertanyaanku, Sunan. Apa kau mencintaiku?” aku tergelak, lalu menjawab cepat.
”Tentu saja, Seruni, kekasihku. Aku mencintaimu”
”Bagaimana aku mempercayainya?”
”Kenapa tidak? Semua yang kukatakan itu benar, sayang”
”Apa buktinya?” Dia menatapku tajam, jauh menembus dalam-dalam mataku.
”Apa tak cukup terlihat serius caraku mencintaimu:
Dia melemparkan pandangannya ke langit, mega mendung membuat sore ini terlihat gelap dan suram.
Dia menjawab perlahan, ”Bukan jawaban seperti itu yang aku inginkan”
Aku benar-benar tak mengehrti lagi bagaimana menghadapi pertanyaannya, hubungan kami sudah cukup lama, berlangsung dalam hitungan tahun tanpa ada sekalipun kata putus meluncur dari mulutku, lalu masih juga dia mempertanyakan pertanyaan semacam itu padaku. Tentu saja aneh bagiku.
”Ah Seruni, jika aku tidak mencintaimu, tentu aku tak akan melamarmu menjadi istriku bukan. Malah seharusnya, aku yang mempertanyakan keseriusanmu, sejak aku melamarmu, belum ada jawaban satupun yang keluar untukku” Nada bicaraku mulai tinggi, secangkir kopi yang belum juga kuminum kuhempaskan keras diatas meja kayu di depan kamar kosnya, hingga permukaan cairan kental itu bergulung keras dan sedikit memuntahkan isinya mengotori meja.
”Kau tahu kenapa aku belum menjawabnya Sunan? Karena begitu ganjil hadirnya mimpi-mimpi yang mengerikan itu disetiap tidurku. Perempuan yang sama, dengan perlakuan yang selalu sama sadisnya”
”Aku tahu Seruni, itu pasti berat untuk kau hadapi setiap hari. Tapi lalu apakah itu menjadi salahku? Memangnya itu mauku setiap malam kamu bermimpi begitu” aku coba meredam emosiku, permasalahan mimpi ini memang sudah menjadi topik yang terlalu rutin aku hadapi, nyaris terbiasa rasanya. Namunrupanya kali ini jawabannya mengejutkanku,
”Tentu saja salahmu”. Dia berkata tegas hingga aku terhenyak sesaat.
”Apanya yang salahku?”
”Salahmu tidak sekalipun muncul dalam mimpiku, tak sekalipun kamu hadir saat perempuan bermata penuh nanah itu menyakitiku. Setidaknya seharusnya kamu muncul untuk menyelamatkanku, tapi bahkan numpang lewat di mimpiku pun kamu tidak, Sunan” Seperti dihujam panah jantungku mendengarnya. Kesalahanku adalah karena aku tidak hadir dalam mimpinya. Oh non sense, dimana letak logikanya.
”Dengar Sunan, bila kau memang benar mencintaiku, memikirkanku setiap hari, dan begitu juga aku yang selalu merasa sudah mencintaimu dengan sepenuh hati. Sangat ganjil rasanya bila, tak ada kamu dalam mimpiku. Kamu tahukan, aku bermimpi setiap hari, dan mestinya setidaknya tersisip kamu di situ. Tapi mana? Tak ada Sunan, tak ada. Jadi aku rasa, aku membutuhkan kehadiranmu untuk menyelamatkanku dalam mimpi. Ya, aku membutuhkanmu, untuk menjawab pertanda di mimpi-mimpiku” Suaranya terdengar tenang, seperti ombak saat surut dia bahkan tak menampakkan nada nada tinggi.
”Menurutmu, mimpi-mimpimu itu pertanda buruk akan hubungan kita?”
”Bisa jadi” Ujarnya pendek.
”Lalu sampai kapan aku harus menunggumu mendapat jawaban dari pertanda di mimpimu”
”Sampai aku melihat kehadiranmu di mimpiku”
”Ah, Seruni, yang benar saja..” aku sungguh belum bisa mencerna penjelasannya.
”Benar. Aku bersungguh-sungguh Sunan. Hanya jika aku melihat kehadiranmu di mimpiku. ” Dia tersenyum sebentar, sekarang keadaan seolah berbalik, giliran aku yang tidak tenang. Diam diam aku sepakat dengan keganjilan yang Seruni rasakan, kenapa aku tak sekalipun hadir di mimpinya. Apa memang karena dia tak mencintaiku. Ah, damn, aku tak suka saat gundah seperti ini.
”Sunan?” panggilan Seruni mengagetkanku.
”Ya?”
”Sekarang kamu pulang lah saja dulu. Aku ingin istirahat. Mimpi-mimpi itu terlalu melelahkanku” Tanpa menunggu jawabanku dia menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Lalu persis seperti adegan film India, aku pulang saat hujan deras mengguyur lapisan bumi. Di sepanjang perjalanan pulang, badanku terasa ngilu dan kaku.

***

Langit-langit kamarku yang berwarna biru muda itu seolah berganti menjadi arsir tegas abu-abu tua yang berantakan. Poster Jon bon jovi dengan bandana merahnya seperti menertawakan keterpurukanku yang belum juga menjumpai solusi dari masalahku. Oh Tuhan, bagaimana ini. Bagaimana mungkin bisa aku memilih mimpiku sendiri, apa lagi menentukan di mimpi siapa aku akan hadir. Memangnya bisa... Memikirkan ini seolah membuatku kehilangan kewarasanku.

Namun sudah kuputuskan, akan kucoba bermimpi tentang seruni. Yang penting bertemu dia, syukur-syukur bila bisa bertemu saat dia sedang dicelakai oleh si monster perempuan sial itu. Setidaknya begitulah strategiku. Siapa tahu saat aku bermimpi itu, Serunipun sedang memimpikan hal yang sama, lalu kami akan bertemu. Aku merasa sangat menyedihkan dengan berpikir sedangkal itu, namun apa boleh buat, aku sungguh tak mampu berpikir lebih baik dari itu. Aku makin gelisah, boro-boro bermimpi, tidurpun mata ini sulit sekali terpejam. Posisi tidur macam apapun seolah salah, terlentang salah, telungkup salah, miring kanan salah, miring kiri juga salah. Memang belum bisa masuk nalarku, bila nasib masa depan kisah asmaraku ditentukan oleh mimpi. Tapi ya apa boleh buat.

”Tok tok tok” Sial, belum juga bisa tidur pintu kamar kosku diketuk keras dan cepat, kupejamkan mataku rapat-rapat, berharap seseorang di balik daun pintu itu pergi bila aku menghiraukannya. Arrrgh, ingin marah rasanya. Bukannya menghentikan ketukannya, suara itu malahan semakin cepat dan keras. ”TOK TOK TOK!”
Tak ada pilihan, harus kutemui si pengetuk pintu itu sebelum usahaku bermimpi menjadi semakin berantakan. Dengan gusar aku berjalan ke arah depan kamar dan membuka pintu dengan terpaksa. Ya Tuhan, gadis itu!
”Seruni???? Apa yang kau lakukan disini??? Malam-malam begini???” Aku sungguh terkejut melihat kehadirannya, malam itu dia tampak berantakan, jauh lebih berantakan dari sebelumnya. Bajunya tampak dekil, rambutnyaaaa.. rambutnya terpangkas tidak rata, sebelah bagian malah sudah tampak pitak. Oh Tuhan, bukankah ini seperti yang Seruni ceritakan di mimpinya. Aku bergidik. Wajahnya sungguh pucat, bibirnya ungu. Matanya merah. Kugenggam tangannya, tangannya dingin seperti es. Aku tiba-tiba merasa ketakutan dan hancur.
”Seruni!! Apa yang terjadi??? Katakan Seruni!!” dia hanya menggeleng keras-keras. Tak sepatah katapun dia keluarkan, hanya berulang kali menoleh ke belakang, lalu menangis tanpa suara. Aku masih tak mengerti, ada apa lagi ini.
”Ada apa Seruni??? Aku masih tidak mengerti!!” tak ada satupun jawaban yang dia berikan. Seruni malah melepaskan genggamanku dengan paksa, lalu berlari tergesa-gesa.
”Seruni, tunggu Seruni.” Tanpa sedikitpun menghiraukan perkataanku, Seruni berlari melesat, melewati pagar rumah kost-ku dengan kakinya yang tak terbalut alas kaki. Aku mengejarnya, namun semuanya terjadi terlampau cepat, tahu-tahu sudah kulihat Seruni berlari tertatih diujung tikungan jalan. Lalu hilang, tak kutemukan lagi Seruni.

Rasanya dadaku penuh amarah. Marah pada kakiku yang tak bisa berlari lebih kencang dari yang aku mampu, aku ingin marah pada Seruni yang tidak sedikitpun memberi sandi atas kejadian apa yang menimpanya dan membuatku khawatir, aku juga ingin marah pada keanehan demi keanehan yang terjadi pada hidupku. Kepalaku berdenyut-denyut, sakit sekali, hingga aku harus memeganginya dengan kedua tanganku. Lama-lama kudengar suara tangis yang lembut namun menyayat hati. Aku segera tersadar, itu suara Seruni.

Kuedarkan pandanganku di sepanajang jalan, betapa sepinya, tak tampak satupun kendaraan bahkan juga manusia. Sungguh tak biasanya. Aku masih mendengar tangisan Seruni, makin sedih, makin menyayat, sungguh tak tega aku mendengarnya. Tapi tak kulihat sedikitpun tanda-tanda kehadirannya, aku nyaris putus asa, saat berjalan tak tentu arah. Namun suara itangis Seruni semakin lama semakin keras, hingga aku yakin aku sudah berada di arah yang benar, di tempat asing yang bahkan belum pernah kukunjungi. Jerit tangis yang pilu itu membimbingku, aku terus berlari hingga tak peduli ke mana arah tujuanku, tak peduli pula pada telapak kakiku yang mulai lecet dan berair, aku terus berlari.

Hingga tertegun saat suara tangis seruni terdengar makin menyedihkan, jeritan itu memanggil namaku ”Sunaaaannn”. Ya. Aku mendengarnya, aku mendengarnya, dia menyebut namaku. Untuk pertama kalinya aku merasakan sakit yang luar biasa dari air mataku, aku berlari hingga kurasakan tak hanya keringat yang membanjiri tubuhku, namun juga cairan bening yang tak berhenti keluar dari lubang hidungku. Aku tak peduli pada kondisi tubuhku yang mulai limbung, yang kutahu hanya berlari secepat mungkin hingga menemukan Seruni. Aku begitu mengkhawatirkannya.

Sayang, langkahku terpaksa terhenti tiba-tiba, kabut di depanku menghalangi pandanganku. Aku tak mampu berlari bila melihatpun sulit sekali. Aku hanya berjalan perlahan sambil membiarkan tanganku meraba, kosong tak ada apa-apa. Pandanganku mulai sedikit jernih meski malam tetap temaram dan suara tangis Seruni terdengar semakin nyata. Kabut tebal itu perlahan mulai turun, berganti bau anyir busuk yang menusuk hidung. Tak kuasa, kututupi juga akhirnya hidungku. Bau ini, seperti bau nanah yang membusuk.

Mulutku menganga lebar, pemandangan di depanku membuatku gentar. Bau busuk itu.. Bau busuk itu ternyata berasal dari wanita di hadapanku. Wanita ini yang sering dibicarakan Seruni, wanita yang sebelah matanya bernanah dan mengeluarkan bau busuk. Kukunya panjang hitam dan mengenakan gaun putih panjang, yang lebih mengerikan, dibalik rambutnya tersibak ulat yang menggeliat-geliat. Memang mengerikan dan membuatku kehilangan sedikit keberanian.
”Siapa kamu sebenarnya?” aku menghardiknya dengan sisa-sisa keberanian yang kukumpulkan. Namun perempuan itu malah tertawa dengan lengkingan yang membuat telingaku berdengung kesakitan.
”Dimana Seruni?”
”Ahahahaaa!!” Tatapannya seolah menyepelekanku, lagi-lagi dia tertawa dengan lengkingannya yang tajam. ”Kamu mencari Seruni?” bau busuk yang keluar dari nanah di matanya semakin menjadi-jadi, rasanya aku ingin muntah.
”Ya, cepat lah katakan Perempuan busuk. Dimana Seruni?”
Belum sempat dia menjawab aku mendengar suara Seruni merintih memanggilku, ”Sunan....”
Aku mendekati tempat perempuan itu berdiri, lalu betapa terkejutnya aku. Ternyata tempatnya berdiri adalah ujung jurang yang terjal dan curam. Dan lebih mengagetkanku lagi, saat menemukan Seruni yang sedang bergelayut di ujung pijakan jurang. Seruni hampir terjatuh!
”Seruniiii.. bertahanlah” teriakku. Tampak olehku jari-jari mungil Seruni bertahan diantara ujung jurang, separuhnya lecet oleh pijakan perempuan busuk yang sengaja berdiri di atas tangan Seruni. Oh Seruni, kasihan sekali kekasihku itu, akan kuselamatkan, meski harus mengorbankan diriku.

Kuhantam perempuan itu dengan pukulanku sekuat tenaga, namun entah kenapa dia bisa menahannya dengan mudah. Lalu seolah ringan tubuh ini tak sebanding dengan kekuatannya, dia mendorongku dengan sekali hentakan jarinya. Sesaat kudengar teriakan Seruni, ”Sunan, awassss!”. Namun terlambat, aku terpelanting begitu saja. Sempat kulihat dasar jurang yang berbatu-batu, ku pikir aku akan mati hancur terbentur karang. Namun beruntung, jari-jari tanganku masih sanggup menggapai pijakan di sisi-sisi Jurang.

”Maafkan aku Seruni” hanya itu yang bisa aku katakan, sekarang posisi kami sama saja, aku tak lebih baik, aku bahkan berada lebih jauh dari landasan tanah. Sementara seruni makin mengaduh karena perempuan busuk itu masih terus berdiri sambil menginjak tangan Seruni. Aku khawatir Seruni kehabisan tenaga, terlalu kesakitan hingga melepaskan genggamannya pada pijakan. Bertahanlah Seruni, aku terus berdoa dalam hati.

Dari bawah sini, ku amati perempuan yang matanya bernanah itu, sebelah mata yang sehat itu mengingatkanku pada seseorang, lalu bentuk lekuk bibirnya yang hitam tiba-tiba mulai memucat, berubah warna. Pipinya yang banjir nanah perlahan tersingkap bersih. Rambutnya yang panjang tak lagi menampakkan ulat-ulat menjijikkan. Sosok itu benar-benar mengingatkanku pada seseorang. Ya, perempuan itu..

”Seruniiii..apa kamu mendengarku??” teriakku dengan suaraku yang hampir habis. Kurasakan cengkeramanku pada batu yang menahanku semakin lemah.
”Sunan..” Suaranya semakin lirih, sebelah genggamannya sudah terlepas. Kudengar perempuan berbau busuk itu tertawa semakin keras.
”Seruni, kamu harus bertahan Seruni. Ini harus kamu hadapi sendiri. Perempuan yang berdiri di atasmu itu, yang menginjak jari-jarimu, dia adalah dirimu sendiri. Perhatikan baik-baik Seruni, wajahnya tanpa nanah, bibirnya bila tak hitam, rambut itu bila tak berantakan. Kesemuanya itu adalah kamu, Seruni!!!” aku hanya mendengar Seruni menangis tersedu-sedu, suaranya makin pilu.
”Seruni, sadari itu Seruni! Perempuan yang menghantuimu itu adalah dirimu sendiri, ketakutanku, kesalahanmu, kegagalanmu di masa lalu, itu adalah tentangmu sendiri. Jadi hadapilah itu sendiri Seruni. Jangan hindari”. Sesaat setelah aku meneriakkan ucapanku, kurasakan genggaman kedua tanganku semakin sulit bertahan, aku tak lagi memiliki daya, aku semakin lemah, lalu menyerah. Kulepaskan genggamanku, kurasakan ringan tubuhku terhempas lepas hingga ke dasar. Lalu dari kejauhan kulihat bayangan perempuan itu semakin jelas, ada dua Seruni di atas permukaan itu. Sementara kurasakan tubuhku terhempas bebas, lepas. Sempat pula kurasakan dingin angin memelukku mulai dari tengkuk hingga ujung jemari. Saat itu pula tangis Seruni semakin hebat, kudengar dia menyebut namaku sesaat sebelum gaungnya perlahan benar-benar hilang.

***

Kutepuk-tepuk lembutnya pipinya, kuseka bulir-bulir keringat yang mengalir di kening dan di pangkal rambutnya.
”Seruni, bangun Seruni.. Kamu pasti bermimpi buruk lagi”
Perempuan itu tergagap, tampak terkejut dan panik ketakutan. Diraihnya pipiku cepat.
”Sunan kau sudah ada disini. ” Tentu saja dia terkejut menyadari kehadiranku yang tiba-tiba ada di ruangannya.
”Ya, aku mengkhawatirkanmu, sejak tadi aku menelponmu tapi tak ada jawaban”
”Aku bermimpi buruk lagi”
”Sudah kuduga. Mungkin sebaiknya kamu tidak usah terlalu sering tidur haha” Aku mencoba berkelakar.
”Tapi kali ini ada kamu di mimpiku Sunan” dia tetap serius, tidak sedikitpun tertawa
”Oh ya? Apa aku menyelamatkanmu?”
”Tidak persis begitu”
”Ah sayang sekali” Aku kecewa dengan jawabannya. Kulepaskan tangannya dari pipiku.
”Tapi kamu mengatakan sesuatu”.
”Apa itu?”
”Bahwa aku harus menghadapi mimpiku dan mengatasi ketakutanku”
”Oh ya? Jadi apa kau sepakat?”
Dia mengangguk perlahan, lalu mlai beringsut dari tempat tidurnya. Diraihnya coffe mix yang terbungkus rapi dalam wadah di atas meja.
”Kopi?” dia bertanya membelakangiku yang ada di balik punggungnya.
”Tidak”
”Sunan?”
”Ya?”
”Aku rasa aku mau menikah denganmu”
”Hah?? Apa kau serius?”
”Ya. Akan aku hadapi” Ujarnya ringan masih membelakangiku. Ah, aku tak peduli hendak menghadap mana wajahnya ketika Seruni mengucapkan itu. Harapanku hanya satu, semoga ini bukan mimpi. Kucubit lengan kiriku, sakit.

Jogjakarta, 5 Mei 2010

Monday, April 19, 2010

Kejutan Pekerjaan Bersama Kasali

Pekerjaan saya itu menyenangkan. Dan itu benar. Saya sungguh menikmati apa yang saya dapatkan saat bekerja, entah itu bertemu orang-orang baru, mendapat pengalaman baru ataupun pengetahuan baru. Bagi saya itu adalah sesuatu yang berharga, itulah sebabnya saya merasa harus mencatatnya meski untuk sekedar dokumentasi pribadi.

Saya sadar butuh sedikit keberuntungan agar pekerjaan yang mengandalkan kemampuan verbal lisan saya ini menjadi berkesan out standing, karena memang tidak semua event yang saya geluti dengan profesi MC saya itu mengesankan. Terkadang ada event yang sorry to say, sucks (biasanya anggapan ini muncul karena konsep acaranya yang tidak jelas, audience yang tidak responsive ataupun karena persiapan saya sendiri yang kurang maksimal) lalu ada pula event yang memberi kesan biasa-biasa saja, meski lebih sering event tersebut meninggalkan kenangan yang istimewa. Kemarin misalnya, saya berkesempatan menjadi MC di salah satu event bank Mandiri yang mendatangkan Prof. Rhenald Kasali. Oh wooow, nama yang sering sekali muncul di referensi skripsi anak manajemen ya :) Anw, saya pun menjadikannya sebagai salah satu acuan dalam skripsi daya dulu kok hehehe.

Yang istimewa pula, karena acara ini dibuat oleh Bank Mandiri untuk sosialisasi Modul Kewirusahaan yang dibuat sebagai salah satu program CSR mereka, maka audience yang hadir adalah tamu-tamu undangan perwakilan dari universitas-universitas yang ada di Jogjakarta, sebagian besar adalah dosen pengampu mata kuliah kewirausahaan dan ada pula beberapa rektor yang menyempatkan hadir. Event Training of Trainers (TOT) kami menyebutnya, lantas menjadi semacam kelas bagi mereka untuk belajar mengenai modul yang nantinya akan mereka gunakan di kelas. Harapannya, modul yang sudah disempurnakan tersebut, berikut dana hibah yang disisihkan oleh Bank Mandiri dapat lebih memacu para mahasiswa untuk menjadi wirausahawan atau job creator.

Memang ini bukan seminar ataupun event training pertama yang saya ikuti, namun sekali lagi, mengingat saya sangat terkesan dengan pembicaranya, jadilah saya tekun menjadi peserta colongan selain jadi MC. Rhenald Kasali sepertinya dapat membaca pikiran saya yang sering mengeluhkan banyaknya motivator-motivator yang muncul belakangan. Saya senang, ketika mendengar celoteh beliau yang meragukan mereka secara fungsional "seolah semua orang bisa dimotivasi". Duuh, bagaimana saya tidak sependapat, lha wong saya ini termasuk yang susah sekali nurut sama yang dibilang motivator-motivator itu. Saat momen renungan, peserta macam saya disuruh merem sambil membayangkan kondisi rumah, keluarga, saudara, dengan backsound musik melankolis mendayu-dayu, saya malah membayangkan yang lain-lain, seperti kapan makan siangnya atau kapan acara tersebut selesai, sukur-sukur kalau nggak ketiduran hehehe. Kalau sudah waktunya membuka mata, saya malah yang terheran-heran, kenapa yang lainnya bisa meneteskan air mata, bahkan sambil sesenggukan ya... Oh, apa yang salah pada saya :(

Sebenarnya Rhenald Kasali pun memotivasi audience dan menyentuh saya secara pribadi pada saat itu, namun dengan cara yang berbeda. Lebih rasional bagi saya, ketika motivasi yang coba beliau tiupkan secara emosional itu dikaitkan dengan salah satu teori inovasi yang harus dimiliki dalam wirausaha. Beliau bertanya pada para audience, ketika memilih penari balet, kaki seperti apa yang akan kami pilih, yang sempurna atau yang cacat? maka serempak para penonton menjawab "yang sempurnaaaa..". Pertanyaannya lagi, ketika memilih penari, memilih yang tangannya cacat atau sempurna? seperti koor kami mejawab, "sempurnaaaa..." Dan seketika kami seolah dibungkam ketika beliau memperlihatkan video dua orang penari ballet China yang menari luar biasa gemulai, meski hanya memiliki satu kaki dan satu tangan. Video itu tentu saja menyentuh kami secara emosional, melihat betapa ketidaksempurnaan fisik ternyata bukan menjadi penghalang bagi sebuah pertunjukan yang luar biasa. Dan kaitannya tentang teori inovasi? Tentu sangat jelas, bahwa perbedaan yang dua penari ini tonjolkan memberi nilai tambah diantara pertunjukan yang biasa ditampilkan oleh penari-penari bertubuh sempurna.

Banyak sebenarnya yang menarik yang beliau sampaikan, sayangnya tidak semua bisa saya ceritakan disini. Meski orang terdekat saya, sejak berhari-hari kemarin sering menjadi korban yang terus-terusan saya jejali cerita-cerita tentang teori Rhenald Kasali hehehe *maaf ya., mas.. Sedikit saja, tentang riset beliau dalam buku terbarunya "Myelin Mobilisasi Intangibles Menjadi Kekuatan Perubahan". Singkatnya, beliau menggunakan kata "perubahan" untuk mengganti kata "sukses" atau "kaya" yang sudah terlanjur menjamur sebagai judul buku di rak-rak pertokoan. Kekuatan yang kita perlukan untuk memulai suatu perubahan adalah sesuatu yang kita miliki dari dalam diri kita sendiri. Disebutkan beliau, pengetahuan dan harta tak berwujud (intangibles) ini dapat kita lihat sebagai bentuk sebuah kejujuran, ketulusan, kebaikan yang harus kita olah terus menerus dalam keseharian. Lalu Myelin, myelin ini adalah muscle memori yang tersebar merata dalam bentuk sistem syaraf pada otot-otot manusia, ia diperlukan untuk memberi perintah, menyimpan informasi dan menggerakkan gagasan-gagasan yang dihasilkan oleh "brain memory. Myelin inilah yang harus kita latih secara terus menerus, agar ide tidak hanya berhenti menjadi sebuah ide tapi juga nyata kita wujudkan.

Beliau banyak memberi contoh banyaknya kesuksesan yang di tidak semata-mata turun dari langit, tapi karena intangibles yang terus diolah dan diterapkan dalam keseharian, dan myelin yang dioptinmalkan dalam latihan-latihan yang terus dilakukan untuk mencapai kesempurnaan. Myelin, intiya adalah melatih semua syaraf yang tersembunyi dibalik organ agar menjalankan ide yang disampaikan oleh brain memory. Salah satu yang paling bermanfaat untuk mengoptimalkan kerja myelin adalah dengan menulis. Karena saat kita menulis, tangan kita bekerja untuk mengeksekusi gagasan yang sebelumnya tercetus dalam brain memory, kadang pula bibir kita ikut membaca ulang apa yang sudah kita tuliskan. Banyak organ yang kita kerahkan saat menulis ternyata. Hehehe, bagaimana? tertarik untuk terus berlatih menulis? Humm.. Banyak lagi sih, sebenarnya yang ingin saya ceritakan, tapi sepertinya akan lebih lengkap, persis dan tidak ada yang terlewatkan kalau membaca buku beliau saja hehe..

Well, saat itu saya menutup hari saya dengan kepuasan batin yang genap. Ya ya, apa yang menyenangkan dan saya dapatkan dalam pekerjaan, saya anggap bonus karena mencintai apa yang saya lakukan. Matur sembah nuwun, Gusti.. Saya tunggu kejutannya yang lain..


Jogjakarta, 19 April 2010

Wednesday, April 14, 2010

When I'm Gone

Saya sempat menghilang beberapa saat dari dunia maya sejak beberapa hari yang lalu, menghapus akun facebook saya karena alasan yang cukup sentimentil. Hehehe ya ya, kadang manusia kalau sudah berurusan dengan masalah hati mengambil keputusan dan bersikapnya pun dengan hati pula :) Saya anggap wajar saja lah, masing-masing pasti punya cara untuk menyamankan dirinya sendiri. Dan itu lah saya kemarin.

Hehehe memang hanya dengan hitungan jari dalam satu tangan saja, tapi cukup ternyata untuk menjadi penetral rasa. Aih, ternyata lumayan banyak teman-teman yang mencari saya. Entah sekedar penasaran dan haus berita *baca: gosip, ataupun yang benar-benar mengkhawatirkan kondisi saya. Teman-teman terbaik saya terus menerus mengirimkan pesan yang membesarkan hati saya. Kakak saya tersayang terus memastikan bahwa saya baik-baik saja dan tidak sedang berduka. Duh Gusti, matur nuwun.. Hidup saya di kelilingi orang-orang yang perhatian pada saya.

Mungkin tak mudah menyadari arti kehadiran yang kita bawa untuk sekitar kita, sekeliling kita. Semua berjalan terlalu datar dan seragam hampir setiap harinya. Namun saat kita tak ada, beberapa dari mereka mencari-cari sesuatu dari yang biasa kita berikan, mereka kehilangan, merasa tak lengkap. Well, ya, rupanya itulah arti kehadiran kita. Saya tidak lantas bilang saya berarti atau saya lah yang melengkapi, tidak, bukan begitu. Hanya saja saya lega, bahwa ternyata diri ini masih memiliki arti meski bagi segelintir orang-orang terdekat saya. Mungkin hal kecil, mungkin pula sederhana tapi ternyata setiap orang memang mengabdi pada kehidupan untuk memberi arti.

Mungkin keseharian saya hanya sekedar menuliskan hal-hal ringan yang tidak juga bisa dibilang bermutu dalam catatan-catatan saya, mungkin hanya saling bercerita dalam forum curhat dengan teman-teman terdekat, hanya membuat sample baju dan menjualnya dalam partai kecil. Tapi bila saya berhenti mengupload gambar-gambar baju jualan saya, berhenti menjahitkan baju-baju tersebut, mungkin saja ada beberapa teman yang akan mencari-cari, dan satu yang pasti, penjahit saya yang berambut gondrong sudah pasti akan merindukan cicicuit pesan-pesan saya yang lebih cerewet dari burung kutilang saat memberinya order. Nanti bisa-bisa saya pula yang ujung-ujungnya kangen membaca balasan smsnya, saat saya yg membawa pesanan jahitan memberitahukan kedatangan saya ke kiosnya. Bunyi smsnya selalu singkat, tapi saya senang membacanya. Satu kata "Alhamdulillah" yang dia ketikkan di ponselnya, sanggup membuat adem hati saya seharian :D

Anyway, may be sometimes people really need being off to understand how meaningful being on :) Sekarang saya sudah dapat ditemui kembali di facebook, pacar saya bilang, "dek aktifin lagi dong fesbuk-nya, aku kangen liat profile kamu".




Jogjakarta, 15 April 2010

Friday, April 9, 2010

Menjadi Langitmu

Hai,

Meski tak tahu kapan dan entah bagaimana, cepat atau lambat aku rasa kau akan menemukan catatan ini. Aku mohon, bacalah sampai selesai, jangan berhenti atau segera kau tutup saat tahu rangkaian kalimat ini kubuat untukmu. Sekali ini untuk yang terakhir kalinya permintaanku, bacalah sampai selesai. Mau ya?

Jadi, apa kabar? Bagaimana hari-harimu tanpaku? Apa masih tetap menyenangkan seperti katamu? Tetap terasa ringan seperti yang kau bilang padaku? Hummm, sejujurnya, tidak begitu halnya denganku. Seperti halnya cuaca kota kita, hujan mengguyurku hingga ke persembunyian. Ruangku makin susut, kisut. Tertutup oleh dingin, sepi dan rindu yang membekap tanpa ampun. Hari-hariku hambar, waktu demi waktu merambat terlalu lama. Getir ini satu-satunya yang tertinggal bagi indra pengecapku. Terkadang, aku bahkan merasa tak butuh bersentuhan lagi dengan udara, luka ini sudah terlalu perih bahkan ketika tidak sedang bersinggungan dengan apa-apa. Dan yang paling istimewa sakitnya, adalah saat menyadari aku kehilangan teman cerita. Tak kutemukan lagi pada siapa aku harus membagi semua...

Aku tak berharap kamu merasakan hal yang sama denganku, sama sekali tidak. Aku akan berkali-kali lipat ikut senang jika kamu merasa jauh lebih tenang saat menanggalkan bebanmu seperti sekarang. Selamanya tak akan berubah, aku akan menjadi orang yang paling bahagia saat kamu berbahagia. Yaaah, sekalipun kamu sekarang sudah tak mempercayainya.

Berulang pula kau ungkap padaku, segala cela dari caraku mencintaimu, kegagalanku dan kesalahanku di sini dan di sana. Hingga menyisakan noda yang sulit dibersihkan untuk mempercayai kesungguhanku. Aku mengerti, akupun menjalankan bagianku dengan terpincang-pincang, sebelah kakiku kehilangan pijakan keyakinan darimu. Harapku sederhana sebenarnya, agar waktu berbaik hati membantuku menunjukkan kebenaran atas perasaan yang kupersembahkan untukmu. Namun sayang, rupanya tak mudah. Entah perasaanmu yang terlalu sulit kutaklukan, atau aku yang kurang pandai membangkitkan keberanian. Sudahlah, tak ada lagi yang bisa aku sesali, selain diri yang tak mampu menembus batas yang dibuat manusia itu sendiri. Aku tahu aku gagal...

Dan aku minta maaf untuk itu, untuk kehadiranku yang ternyata malahan mempersulit, keberadaanku yang membuat artimu semakin rumit. Akan aku ingat baik-baik, bahwa dalam perjalananku aku pernah menjadi perempuan yang gagal membuat seseorang merasa dicintai, gagal membahagiakan seseorang yang kusayangi. Itu memang menyakitkan, sekaligus ironis. Karena selalu ada tempat dalam ingatanku akan sosokmu yang tulus dan sabar, sepenuhnya kau kenalkan cinta padaku. U're so loveable and that's always true.

Jangan tanyakan apa yang tak bergeming di pikiranku. Tentu saja aku masih menghafal segala tentangmu, namun jika kamu memintaku untuk tak lagi hadir dalam kehidupanmu, aku akan berusaha memenuhinya. Tak ada alasan lain selain karena aku mencintaimu. Sungguh. Jika keberadaanku adalah sakit bagimu, maka akan aku relakan menghapusnya untukmu. Alasannya masih akan sama, karena aku menyayangimu.

Akan mati-matian kulawan hasrat untuk menelponmu, sekedar mendengar ceritamu atau mengirimkan pesan-pesan singkat agar tahu apa yang kau kerjakan dan rasakan seharian ini. Akan kupaksakan untuk menghapus ingatanku tentang caramu bernyanyi, caramu berjalan, caramu mencandaiku, caramu merindukanku. Meski demi Tuhan, ternyata sulitnya.... Belum lagi setiap putaran roda kulewati bersamamu, segala sudut meninggalkan jejak wangimu. Seisi semesta seolah berkonspirasi menanyakan perihal ketidakberadaanmu padaku. Tangan kananku berkeringat, mencari-cari sebelah tangan yang lebih besar, menunggu kapan ia datang untuk menggenggam dan menariki ruas-ruas jarinya seperti biasa. Ya ya.. Aku seperti merunut kenangan, yang manis namun menyisakan tangis. Memang sedih, aku sampai merasa perlu mengikat kepalaku agar sakitnya tak menjalar agar aku masih bisa berpikir wajar.

Tapi sudahlah, tak perlu khawatirkan itu. Aku akan tetap menjadi penggemarmu dari belakang, yang mengamatimu dan mendukungmu meski hanya terlihat seperti serupa debu yang sulit terlihat. Dalam hatiku, akan tetap kurayakan setiap keberhasilanmu, tetap kumohonkan pula kuat jiwamu di setiap ujian dan cobaan yang mewarnai pasang dan surut lajumu. Akan kusebut selalu namamu di setiap sujud dan tetes air yang membasahi sajadahku, untuk keberhasilanmu, untuk kebahagiaanmu. Apalagi, tak ada yang bisa kulakukan selain menebus luka yang aku hujamkan dalam dirimu dengan penyesalan dan ayat-ayat yang sayup aku kirimkan.

Burung yang merdu bernyanyi, aku tak ingin menjadi sangkar yang membatasi kebebasanmu, sungguh tak ingin menjadi luka yang membebani kesedihanmu.. Jadi, terbanglah setinggi mungkin... Aku akan menjadi langit yang mengitarimu dalam harapan dan impian..

Jogjakarta, 11 April 2010

Wednesday, April 7, 2010

Sahabat Hati

Humm, lagi-lagi catatan melankolis picisan. Ah, tapi biarlah. Toh, ini akan tetap menjadi bait-bait yang akan saya ingat dalam kehidupan saya.

Begini. Ini tentang sahabat saya, teman baik saya dalam segala hal. Saya membutuhkannya untuk berbagi apa saja, tentang indahnya warna langit senja yang terbias oleh mata, tentang bulatnya bulan dengan pesonanya yang sempurna ataupun tentang megahnya Merapi saat kabut-kabut itu turun selepas hujan. Padahal apa pedulinya, meski saya tahu tak akan dia beranjak dari ruangannya untuk sekedar menyaksikan sendiri dengan mata kepalanya, tapi paling tidak dia kan memberi atensi untuk itu. Seperti halnya saya yang akan merespon ceritanya tentang peradaban Timur Tengah dengan anggukan kepala atau senyum ragu-ragu (ya ya ya, saya memang takut bila dia memberi pertanyaan di sesi akhir perbincangan, khawatir tidak bisa menjawab karena kurang konsentrasi saat mendengarkan. hehe)

Di seperempat perjalanan usia saya, saya baru menemukannya. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali bukan? jadi ya biarkan saja :) Yang jelas, sebagian besar waktu saya, saya habiskan bersamanya. Ini bukan sebagai bentuk kewajiban yang harus dikerjakan karena sebuah status yang mengikuti kami, tidak tidak, ini adalah sebuah kebutuhan yang memang kami inginkan, agar merasa nyaman agar merasa aman. Seperti udara, kami selalu saling mengitari. Sungguh menyenangkan berjalan-jalan dengannya, sekedar ke pusat pertokoan, ke tempat wisata, ke rumah teman, ke mana saja. Bukan hanya jejak kami yang berlekuk sama mengagumi keindahan karya Tuhan, tapi lihat, pijakan telapak kaki kiri kami yang mengarah ke luar. Cara berjalan kami serupa! Sialnya, saya perempuan yang sering kali diwajibkan untuk melangkah dengan keanggunan yang tentu saja gagal saya miliki. Jadi apa boleh buat, saya relakan saja ketika sesaat dia mencandai gaya berjalan saya yang gagah :D

Dia bilang, saya perempuan pertama yang menjadi sahabatnya. Saat malam datang, kami masih saja sanggup menghabiskan waktu bicara di selular setelah puluhan bulan kami lewati dengan rutinitas yang sama. Memang tak melulu manis penuh gula-gula, kerap pula kami bertengkar seperti halnya gambar-gambar di sinetron, tapi terkadang kami bercanda persis seperti sepasang sahabat yang berakting lebih natural di banding tanyangan apapun di layar kaca. Dia sakit perut, hingga teriakan dia lepaskan berikut serak suaranya, sementara saya memohon ampun untuk otot-otot wajah saya yang mulai menegang. Kami bukan pelawak, namun dunia ini memang penuh adegan komedi. Dan itu lah yang kami lakukan, kami menertawakan setiap sudut yang mampu menghibur kami.

Apa lagi memangnya, tentang masa depan yang penuh misteri? Yang benar saja, itu bukan untuk kami guraukan. Tentu saja segala macam rayuan sudah kami juruskan, tak ada yang lebih menyenangkan dari melewati sesuatu yang belum terbaca dengan sahabat sendiri, dengan seseorang yang mengerti isi hati hanya dari selintas tatap. Benar bila saya bercerita tentang kepandaiannya membaca makna hanya dari mata yang meredup saja atau dari kilat yang berkedip di ujung ekornya. Dia paham kesedihan saya bahkan sebelum saya meneteskan air mata, seperti halnya dia akan tertawa memeluk saya bahkan sebelum saya sematkan senyuman di wajah saya. Well anyway, rahasia tetap saja rahasia.

Meski akan selalu menjadi tenang rasanya bila memecahkan sandi demi sandi bersama sosok yang selalu dapat diandalkan. Saya memberinya kepercayaan penuh agar dia menyelesaikan bagiannya, dan saya akan melakukan apa-apa yang bisa saya lakukan. Habis-habisan, semampu saya. Tak ada ragu pada saya, saya tahu akan dikerahkan semua kemampuan terbaiknya untuk membantu saya. Saya kan sahabatnya :)

Wahai para rasul yang mungkin mendiami langit di lapis teratas, terdekat dengan Yang Maha Segalanya. Bantu amien-i bisikan anak manusia ini, tak pernah berani muluk-muluk pinta kami. Hanya ingin menghabiskan waktu dengan mengurutkan satu persatu langkah hingga sampai pada tujuan.

Teman terbaik sepanjang perjalanan, tak akan ada yang lebih hebat dan indah di dunia ini selain menutup usia denganmu disampingku, dan menemukanmu masih tetap menjadi sahabatku.


Pacific Place, Jakarta, 8 Maret 2010

Wednesday, March 24, 2010

Waduk Sermo Membentang di Barat Jogja

Sudah pernah mengunjungi Waduk Sermo saat berlibur ke Jogja? Entah kenapa sejak diresmikan oleh Presiden Soeharto di tahun 1996, saya yang sudah puluhan tahun tinggal di Jogja malah baru beberapa waktu yang lalu mengunjungi tempat ini. Padahal lokasinya tidak terlalu jauh dari pusat kota Jogja, Waduk Sermo ini terletak kurang lebih 7 km di sebelah barat kota Wates atau 36 km di arah barat kota Yogyakarta. Saya rasa, bisa jadi memang kurangnya promosi dan informasi yang menyebabkan ketidakpopuleran lokasi wisata yang satu ini.


Waduk Sermo ini merupakan satu-satunya waduk yang berada di kabupaten Kulon Progo. Terbuat dari hasil membendung sungai yang mengalir di pegunungan Menoreh, fungsi utama dari waduk ini adalah sebagai penampung air yang disalurkan PDAM untuk air bersih, irigasi atau pengairan, serta untuk mencegah banjir. Namun pemandangannya yang indah dengan yang view pegunungan menoreh yang menjulang hijau dengan hutan-hutannya yang membentang, sangatlah sayang bila tempat wisata ini hanya sekedar menjalankan peran pengairannya namun lalu dilewatkan begitu saja.

Informasi yang saya ambil dari sumber sana sini, bendungan yang menghubungkan dua bukit ini berukuran lebar atas 8 meter, lebar bawah 250 meter, panjang 190 meter dan tinggi bendungan 56 meter. Waduk ini juga dapat menampung air 25 juta meter kubik dengan genangan seluas 157 hektar. Wow!! luas sekali ya:D Air hijaunya jadi terlihat seperti hamparan agar-agar raksasa yang dipagari oleh pohon pohon hijau. Kalau ingin berkeliling menelusuri waduk sambil memanjakan diri bersama angin yang bertiup sepoi-sepoi, mudah saja, tinggal memanfaatkan jasa persewaan perahu yang akan berkeliling selama 30 menit. Dan itupun hanya memakan biaya 5000 rupiah per orang. Jogjaaa jogjaaa.. Bahkan soal biayapun sangat-sangat ramah bukan :) This is one of the reason why i do love this city so much. Yay!

Selayaknya tempat yang tidak terlalu populer (maksudnya tidak sepopuler tempat wisata lain yang ada di Jogja) waduk ini tidak terlalu ramai oleh pengunjung. Hanya nampak beberapa aktivitas berwisata seperti sekumpulan anak muda yang memancing atau nongkrong. Sayangnya, berulang kali permasalahan akan kesadaran untuk menjaga lingkungan masih saja kurang. Sedih sekali bila melihat ada yang memancing, nongkrong, ngerumpi atau apapun namanya sembari ngemil kacang yang kulitnya tersebar begitu saja di tanah. Memang sih sampah organik, tapi kan tetap saja mengotori sekitar tempat wisata yang indah ini.

Menurut saya, amat lah sayang bila tempat wisata yang potensial ini tidak dioptimalkan fungsinya. Apalagi mengingat biaya pembangunannya yang memakan dana Rp 22 miliar dan dibutuhkan waktu penyelesaian yang tidak sebentar, dua tahun delapan bulan, sejak 1 Maret 1994 hingga Oktober 1996. Bukan hanya itu, untuk pembangunan waduk ini, Pemda Kulon Progo pun harus memindahkan 107 KK untuk ditransmigrasikan ke Tak Toi Bengkulu dan tujuh kepala keluarga ditransmigrasikan ke PIR kelapa sawit Riau. Membayangkan betapa banyaknya pengorbanan masyarakat kulon progo yang merelakan lahannya, sepatutnya kita yang sudah sangat termudahkan akses berwisatanya menghormati tempat ini dan lebih bijaksana dalam bersikap. Yang paling sederhana saja, tidak membuang sampah disembarang tempat :)


Nothing more can say, Just come and see. Let's have some fun. Enjoy :)


Jogjakarta, 25 Maret 2010