Sunday, July 25, 2010

Pemuja Sore

Untuk kamu sang pemuja sore.
Kapan lagi kita menikmati secangkir jahe dan sepotong kue.
Percayalah ini bukan hanya tentang perut yang perlu diisi,
Ini tentang rindu yang mengeluh minta diobati.
Ini tentang obrolan jenaka yang membuatku selalu khayalkan kamu disini.
Tentang genggam hangat tanganmu persis saat tenggelamnya matahari.
Ini tentang sore yang tak mungkin sama,
Jika kamu tak ada


Jogjakarta, 25 Juli 2010

Thursday, July 15, 2010

Bagaimana Mencatatnya

Rasanya tidak lengkap catatan saya jika saya tidak menuliskan ini, sebuah kesempatan yang saya anggap istimewa dan hanya sekali waktu terjadi. Saat dimana saya merasa Tuhan tidak terlalu bermurah hati pada saya. Ya memang, pada saat itu saya lah yang kurang bijaksana, melihat selalu ke atas, hingga menganggap diri terlalu rendah. Lupa bersyukur terlalu banyak meminta. Hingga saya menjadi malu. Ya Ampun, ternyata saya adalah hambaNya yang selalu berprasangka buruk, bahkan ketika sesungguhnya saya tak pernah tahu apa yang akan terjadi dalam kurun satu jam lagi.

Yang saya tahu saat memulai hari itu, seharian saya akan menjadi tak lebih dari seorang MC Dokter Kecil Lifebuoy di tempat terbuka Prambanan, bersama anak-anak yang tentu saja bukan hanya menyenangkan tapi juga merepotkan. Berhadapan dengan klien yang cicicuit cerewetnya bukan main, -yang setelah saya pikir-pikir lagi, ya sudahlah mereka kan hanya pekerja profesional yang menjalankan tugas dengan baik- Mana saya menyangka jika di satu hari yang saya tuduhkan akan biasa-biasa itu malah meninggalkan goresan kesejukan dan ketenangan.

Berawal dari pertemuan saya dengan partner MC yang terlanjur saya sosokkan sebagai seorang yang sombong, dan tidak menyenangkan. Maaf, biasanya, biarpun status sama-sama MC, namun jika hanya menjadi pendamping MC Utama yang konon adalah artis ibu kota,ya begitulah adanya sikap mereka terhadap kami MC lokal. Tapi ternyata tidak semua begitu. Maafkan saya sekali lagi, manusia yang terlalu cepat menyimpulkan bahkan sebelum kehendak Tuhan terjadi.

Dik Doank, sosok yang sebelumnya hanya saya lihat dari televisi, adalah sosok yang jauh berbeda dari bayangan saya akan glamournya dunia selebriti. Setengah hari kebersamaan kami dalam konteks bekerja, saya belajar mengenai banyak hal darinya. Bukan hanya bagaimana tentang menghidupkan suasana, menghilangkan rasa jenuh anak-anak, tapi juga tentang menghilangkan prasangka.

Saya tidak pernah menduga, diantara keterbatasan waktu yang diberikan saat break, dia mengajak saya untuk shalat dzuhur bersama. Mulai lah dia bercerita tentang betapa Allah memberi banyak kemudahan dalam ibadah, dengan menjamak sholat dan mengqashar rakaat. Lalu kenapa manusia masih seolah merasa kesulitan menjalankan perintahnya. Padahal waktu ibadah kita 5 waktu itu mungkin hanya sekitar 30 menit, apa lah artinya itu dibanding 24 jam waktu seharian yang diberikan, yang kita pakai untuk bekerja, untuk jalan-jalan, untuk facebook-an, twitter-an dll. Hahaha, pipi saya tidak merah, tetapi saya kok merasa seperti ada yang menampar.

Perlahan, saya sampaikan kekaguman saya tentang konsistensinya menjalankan ibadah, dan dengan berapi-api, beginilah jawabannya "sholat 5 waktu itu biasa san, yang hebat itu sholat sunnah. Dzakat itu biasa banget, tapi yang hebat kalau bisa terus sedekah". Saya makin merasa ruang-ruang hampa dalam diri saya mulai terisi, lalu perlahan terasa hangat. Di sela-sela acara, saat istirahat kami berdiskusi tentang banyak hal.

Tentang pekerjaan, dia sampaikan pada saya, bukan pointnya bekerja di kantor, swasta, atau entertainment. Kalau kita kembalikan pada peran kita sebagai HambaNya. Maka di manapun kita bekerja, kita hanya akan melakukan kebaikan, dan pekerjaan yang kami lakukan, jika dijalankan dengan hati yg tulus ikhlas akan terasa sebagai berkah yang luar biasa. Bekerja untuk membuat orang lain senang dengan hati yang juga senang. Lalu, dia juga membesarkan hati saya yang galau. Tentang perasaan saya yang merapuh sebagai seorang anak, saya merasa belum sanggup membahagiakan kedua orang tua dengan mewujudkan keinginan-keinginan beliau. Lalu dia katakan pada saya, Jangan pernah salahakan rasa sayang orang tua yang diberikan dengan berbagai macam caranya. Orang tua itu sayang sama anak, sangat sayang. Itulah kenapa mereka selalu menginginkan anaknya sukses, terkadang dengan cara-cara yang mereka pilihkan sendiri. Tapi bukan berarti anak tidak punya pilihan, San. Tunjukkan kamu bisa, kamu mampu sukses, kamu bahagia. Maka orang tua akan mengerti dan bersyukur. Saya yakin, sesungguhnya orang tua tidak pernah berhenti mendoakan anak.

Sulit untuk menceritakan dengan runtut apa-apa saja yang kami ceritakan, namun ada satu yang saya ingat, ceritanya tentang keluarga. Mas Dik Doank tampak bersungguh-sungguh ketika menyampaikan petuahnya. Katanya, jadilah perempuan yang cerdas, jauh lebih cerdas dari pada suamimu nanti. Kenapa? karena kamu akan menemani anak-anakmu meraih masa depannya, karena kamu akan membantu suamimu menjalankan pekerjaannya. Tapi, jadilah perempuan yang terlihat lemah di mata suamimu nanti, pura-pura jg nggak apa-apa deh, karena sebenernya laki-laki suka saat merasa dibutuhkan. Dia menutupnya dengan satu tawa yang keras, sambil membuat pengakuan bahwa kesal sebenarnya saat harus mengakui kalimat terakhirnya. Saya juga jadi ikut tertawa, seolah melepas sebentar beban di pundak saya.

Lalu soal betapa gemasnya dia pada dunia pendidikan di Indonesia yang seolah hanya mengedepankan persoalan hitungan semata. Dia sampaikan pada saya tentang keheranannya. Aneh, karena anak dianggap cerdas bila hebat soal hitungan sedangkan kreatifitasnya tumpul. Entah sampai kapan anak-anak itu akan terus-terusan menggambar 2 gunung menjulang dengan 1 matahari ditengahnya, ujarnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Berbeda dengan sekolah alam yang dibuatnya, Kandang JuranK DoanK, yang menggunakan Asmaul Husna sebagai panutannya dalam kegiatan belajar mengajar. Asmaul husna, nama-nama baik Allah dimana Al Khalik Yang Maha Mencipta ada di urutan ke 14 ada di urutan lebih awal dibanding Al hisab, Yang Maha Menghitung. Dik Doank mengedepankan kreatifitas dan indah berkesenian dalam pengajarannya. Menurutnya, jika anak menyukai keindahan, maka anak akan menyukai kedamaian, tidak menyukai permusuhan, tidak akan mencemari lingkungan dan tentu saja akan membenci kebodohan. Kebodohan itu sama sekali tidak indah.

Dan meski ajaran di sekolahnya berlandaskan Asmaul Husna, namun dikatakannya, pengetahuan manusia tentang agama tidak lah boleh tertutup, harus terbuka. Ajaran agama yang diturunkan pada manusia tidak lebih dari budaya yang diterima dari pendahulunya. Agama manapun tak ada yang satupun mengajarkan kejahatan dan hal - hal buruk lainnya. Itulah kenapa kita harus menghormati agama lain.

Masih banyak yang kami diskusikan dan bicarakan. Bila sebulan belakangan mata dan telinga saya selalu penuh oleh hingar bingar pemberitaan selebritis dan videonya yang seolah menyeragamkan dunia entertainment. Hari itu saya seperti tersadar bahwa tak semestinya manusia terlalu gegabah menyimpulkan, tidak semua seniman selalu menjadi hamba yang lupa dan pendosa. Setidaknya saya masih sempat bertemu dengan satu diantara mereka yang menyadarkan saya, bahwa pahala ataupun dosa adalah urusan manusia di dunia untuk dipertanggung jawabkan di akhirat. Kewajiban kita untuk menjadi HambaNya yang selalu mensyukuri rahmat yang diberikan dengan menjalankan perintahNya, Namun tak sedikitpun berhak kita menghakimi, biarkan itu menjadi rahasia Allah di Yaumul Nisab.













Seolah kesejukan baru saja mengisi kekosongan di jiwa saya, seharian itu saya merasa malu karena terlalu terburu-buru berprasangka di awal hari. Kebaikan hati yang Tuhan berikan pada saya, terlalu sempit bila harus saya batasi artinya dengan sulitnya mobilitas, dengan banyaknya keringat yang terperas seharian oleh panasnya matahari, dengan materi yang tidak seharusnya saya bebani dengan hitungan-hitungan dan pertanyaan. Bukan itu ternyata. Ini tentang sebuah pelajaran yang hanya bisa dirasakan jika saya mulai mensyukuri langkah yang Tuhan arahkan. Sebuah pelajaran yang memang diberikan untuk saya, di satu satu tempat, di satu waktu yang tak dapat saya minta atau diputar kembali.

Ini tentang bagaimana saya mencatatnya, meresapinya dan sebenar-benarnya mensyukurinya.

Jogjakarta, 15 Juli 2010