Aku begitu mencintai tuanku. Bahkan aku hafal caranya menggeser kaki saat melangkah, aku hafal aroma tubuh yang ia sebar di udara meski wajahnya belum tampak oleh mata. Aku biasa berlari menjemputnya untuk menciumi tangannya, mengatakan betapa aku adalah hambanya yang setia. Namun itu dulu.. saat kaki ini mampu tegap menyangga tubuhku yang segar, saat bulu-buluku masih tebal, saat aku muda dan lincah berpacu dalam hitungan detik melawan angin berlari. Saat itu, aku sungguh merasa menjadi kesayangannya yang penuh pesona.
Sekarang kuamati, wajahku mulai murung, bulu-buluku yang panjang dan lebat mulai menipis. Dulu sempat kudengar beberapa kali tuanku memuji keindahan bulu kecoklatanku di depan para tamunya. Katanya, makanan yang sehat dan shampoo terbaik yang membuat buluku secemerlang itu. Yah, tentu saja pujian itu tak pernah kudengar lagi sekarang, lebih sering kudengar ia mengasihani bulu yang rontok, atau wajah dan tingkahku yang murung. Ingin sekali kukatakan padanya, sungguh, aku tidak murung atau menderita, hanya saja aku tak tahu apa sebab pipi di wajahku menjadi turun dan menggelambir, seperti halnya aku tidak tahu awal mula tubuhku semakin membesar dan berat.
Segalanya berubah, bukan hanya aku, tuanku pun sudah tak seperti dulu padaku. Aku tidak yakin apa dia tidak cinta lagi padaku. Karena dia masih menciumku sebelum tidur malam, masih berpamitan padaku sebelum bepergian. Masih sesekali bercanda denganku saat dia butuh teman yang menghiburnya saat ia tenggelam dalam kesedihan. Namun genggamannya tak selembut dulu, kurasakan getaran saat dia berpetualang di tubuhku. Dia sudah tak terlalu bersemangat mengajakku berlari mengitari perumahan, sering kali waktu sorenya dia habiskan untuk pengajian. Katanya di penghujung usia akan lebih banyak waktu dia gunakan untuk beribadah. Aku tak keberatan, mengingat rasanya tubuhku pun mulai malas kutegakkan, meringkuk lebih nikmat untuk postur tubuhku.
Ah tapi semestinya tak perlu lah aku berkecil hati, Cermin tinggi di ruang keluarga rumah inipun sudah tak segagah dulu. Permukaannya retak dan direkatkan sekenanya hingga meninggalkan bekas disamping patahan kanan kirinya. Tuanku sudah memiliki cucu yang luar biasa lincah sekarang, sesekali ia mengunjungi rumah ini dan membuatnya seperti kapal pecah. Aku menyukainya, kurasa diapun menyukaiku, kami kerap kali bermain bersama. Tendangan dari kaki mungilnya itu lah yang membuat bola melambung tinggi dan menghantam cermin hingga retak. Sudah coba kutangkap bola yang dia lambungkan, namun tubuhku terlampau berat kugerakkan sekarang, hingga melesetlah bola sasaran dan mencelakai cermin kebanggaan. Sempat kudengar ayahnya memarahinya, katanya, itu cermin penuh kenangan peninggalan neneknya. Tapi tuanku tidak, ia hanya tertawa dan segera mengambil perekat untuk menempelnya kembali. Kudengar ia berbisik perlahan, dia rindu sekali pada istrinya. Mendengarnya, entah kenapa kurasa pipiku semakin melorot, wajahku bertambah murung.
Menurut tuanku, usiaku tak akan lebih lama lagi dari hitungan anak sekolah menengah pertama. Katanya, sudah luar biasa aku bisa bertahan hingga usia 10 tahun seperti saat ini. Tuanku termasuk yg percaya hitungan satu tahun usia anjing setara dengan tujuh tahun usia manusia. Meski aku tak suka mendengarnya, namun dia suka sekali bertaruh padaku tentang siapa yang akan lebih dulu meninggalkan siapa. Sering pula berseloroh, semoga dia tak harus ditinggal pergi untuk yang kesekian kali. Ah, itu sungguh menakutiku. Ketakutan yang masih sama yang menghinggapiku saat kupahami bahasa tubuhnya. Suatu pagi, pelan dia berbisik, berpesan pada anaknya untuk menjagaku meski apa terjadi. Sedikit meninggi nada suaranya, berkata tak tega bila harus melihatku mati di penghujung usianya, tak kuasa menyaksikan sendiri saat nanti mataku rusak dan bola mata mulai lepas, menggantung seperti air mata yang mengeras tak mau turun di tengah pipi. Dia tak akan sanggup katanya.. Dia ingin mati tanpa harus melihat wajahku yang murung, dia ingin mati lebih dulu hingga tak perlu menangisi kematianku. Kesedihan bagiku, saat rupanya harapannya mewujud nyata, tuanku berhasil.
Tinggalah disini aku sekarang, didepan cermin tinggi yang retak, menghitung ketukan menunggu kematian. Menikmati hidung yang meler terus berair, mata yang mulai redup dan nyaris jatuh di usia tua. Anak tuanku sering memelukku beberapa saat, namun tentu tak ada yang mampu menggantikan tangan hangatnya yang merenta bersamaku, tak sama tarikan nafas dan aroma keringat yang dihabiskan saat berlari bersamaku. Aku kesepian tuanku. Aku ingin kau memelukku seperti saat hujan sore itu dan kau kedinginan. saat buluku menggumpal dan aku meringkuk di kakimu.
Kulihat pendar bayang wajahku semakin melorot. Aku tak lebih dari seekor anjing buduk berwajah murung yang merindukan tuannya. Ya seperti itulah aku.
jogjakarta, 16 Maret 2011