Monday, September 20, 2010

Sepetak Mimpi dalam Toko

Astaga, ternyata cukup lama jemari ini tidak saya paksakan untuk menggoreskan rasa lewat kata-kata. Bukan apa-apa, hanya tampaknya kedua tangan saya sudah terlalu lelah setibanya di rumah. Melemah setelah seharian menjamu mimpi yang datang, membuatkannya kopi, menyiapkan setoples nastar bertutup plastik warna lembayung langit pagi. Harapan saya, Hei mimpi bersenang-senanglah disini, jangan lupa untuk tetap datang kembali. Namun saat memang ia harus pergi, saya pula yang melepasnya dengan lambaian tangan berulang kali. Harapan saya, agar sang mimpi menaruh perhatian lebih pada gerakan tangan yang bergoyang lebih cepat dari "wiper" penyeka air kaca depan, hingga tak sempatlah baginya melihat genangan di sudut mata kecil perempuan. Melepaskan mimpi tentu saja rasanya berat sekali, meski hanya berpisah ranjang dalam sehari. Sungguh..


Ya ya begitu.. Jadi baru lah saja saya sadari, lebih dari sebulan ini tumpukan kalimat hanya berhenti dalam hati. Sama tebal dengan ensiklopedi, hanya mungkin ceritanya jauh dari runtut, berlompatan sesuai dengan berkabung atau tidak, mendung atau cerah langit sang pemilik hati.


Sementara belakangan, waktu senggang saya habiskan khusyuk melumat hujan dari balik jendela toko kecil di Gejayan. Lagi-lagi tangan saya terlalu sibuk menjadi patung penyangga dagu, melihat percikan air yang muncrat dari genangan yang terlindas ban mobil yang melaju. Dari balik kaca, cipratan kobokan coklat itu melesak dan berpendar menjadi air mancur di Telaga Biru. Lalu rembesan air hujan yang menodai dinding sebelah utara sering memunculkan ragam liar warna warni. Tentang sosok pengantin bertutup kerudung putih yang serta merta berubah bentuk menjadi kubah masjid di sore esok hari. Pernah suatu ketika, saat angin tergesa-gesa menyerbu toko kami, pohon trembesi di pinggir jalan bergoyang seperti hendak menikam dengan dahan sebilah pisau, saya kehilangan nyali. Tapi lagi-lagi imaji berhasil menghibur diri, rembesan air di dinding mencandai, berbentuk kepala sapi. Hingga saya pun tak takut lagi. Bila hujan membanjiri, saya akan naik sampai ke atas kepala sapi. Ah, bilapun ternyata harus ternggelam, paling tidak ada si kepala sapi yang menemani.


Liar bukan kepalang, isi kepala bertukar tempat dengan sketsa masa depan, marah-marah dengan masa lalu, juga kelelahan adu argumen dengan nasib hidup hari ini. Saya habiskan semuanya di toko itu. Ruangan kecil yang dibuat sendiri oleh tangan sepasang kekasih. Tangan yang telapak kasarnya terbuka saat menampung cinta yang terluruh dari semua kemungkinan yang dunia sebut muskil. Kami berlindung disana, dari segala ketakutan, kekhawatiran, ketidakberdayaan. Kami berteduh, dari semua yang melegamkan harapan. Kadang kami gentar, menangis dengan kaki gemetar yang bahkan tak sanggup menyangga beban. Tapi pun kami, saya dan dia, berserah pada doa yang terlafalkan setiap malam. Sebelum terbujur dan bertanya apa-apa lagi yang akan terjadi saat esok pagi datang.



Akankah sama? Mencandai lagi genangan air dipinggir jalan, membebaskan ilusi liar atas rembesan air di dinding. Akankah sama? Berlindung di balik mimpi yang kita jamu dengan setulus hati.






Dibalik ruangan kecil itu, sepetak mimpi saya bebaskan melambung terpelanting sesuka hati. Dan kamu, rembesan bentuk kepala sapi. Ah...hanya imajinasi.



Santi's Shop, Gejayan, Jogjakarta. 19 September 2010