Friday, February 26, 2010

Rock Star

Sesaat petugas keamanan itu membukakan celah pintu barikadenya untukku, dengan cekatan aku menyelinap masuk dari arah samping. Berdesakan bersama kerumunan manusia lain yang menggemakan namanya. Bagian terdepan seolah sedang kerasukan, menggoyangkan kepala, tangan, bahkan nyaris seluruh tubuhnya bergerak. Sudah lama aku tak setakjub ini, hingga nyaris satu gerakan tangan perempuan di sampingku tadi menyentuh sisi kepalaku jika tadi aku tak buru-buru mengelak. Aku tersenyum geli dengan ulahku sendiri, iseng sekali aku ini, pikirku. Bukannya duduk tenang di belakang panggung, malah memilih berdiri di antara penonton lain yang terlanjur berbanjir peluh. Kurasakan pula udara yang cukup pengap disini, lagu-lagu yang mereka hafal betul itu diteriakkan sekencang-kencangnya, ya rasanya memang lebih pas bila disebut diteriakkan dibanding dinyanyikan. Belum lagi jeritan-jeritan tak beraturan di sela-selanya, tentu saja atmosfir ini jauh kurasakan berbeda dibanding dengan suasana dari panggung belakang.

Sorot lampu kekuningan yang ditembakkan tepat di tempatnya berdiri seolah menyulapnya seperti malaikat yang baru turun dari surga, keringat yang menganak sungai di tubuhnya membuat kulitnya berkilauan. Dia memang bintang cemerlang. Penonton yang berdiri di tribun dibuatnya terkesiap, terlebih perempuan-perempuan yang seperti tak ada lelahnya mengelu-elukan namanya. Mau tak mau aku hanyut terbawa suasana, meski hanya bisa melafalkan namanya dalam hati. “Lingga”. Sudah seminggu kita belum bertemu, tentu tak mungkin aku tak merindukanmu. Lebih dari itu, hari ini ada yang harus kusampaikan padamu.

***

“Lambang kesuburan” aku mendesis pelan.
“Apa kamu bilang?” Dia berhenti memainkan gitarnya, memutar badannya ke arahku.
“Ah tidak, bukan hal penting”, rasanya memang canggung bila kita tampak berlebihan memperhatikan sesorang.
“Kamu tahu arti namaku?” Dia benar-benar mengejar jawabanku, aku diam beberapa saat.
“Lingga. Sebuah arca pemujaan umat Hindu, berbentuk tegak dan tinggi yang melambangkan kesuburan. Itu lah sebabnya bentuknya serupa dengan… umm, u know...” aku memutar kepalaku, mendadak canggung menyebutkan organ vital lawan jenis di depan orang yang baru kutemui. Sesaat dia tercenung melihatku kesulitan melanjutkan penjelasanku sendiri, hingga lalu dia tertawa juga akhirnya.
“Hahaha.. Ya ya, seperti itulah bukan laki-laki seharusnya. Tegak, tinggi, subur dan dipuja.” Huh, tanggapan yang terlalu percaya diri, batinku. Aku menjadi diam dan salah tingkah.
“Jarang ada perempuan yang mengetahui arti namaku sebelum kuberi tahu” Kali ini dia meletakkan gitarnya, disandarkannya pada dinding ruang kesenian kampus kami yang mulai sepi.
“Ah, apalah arti sebuah nama” lanjutku.
“Kamu sependapat dengan Shakespeare?” Entah kenapa kurasakan wajahku mulai panas. Tak ada pilihan lain, aku pura pura sibuk mengeluarkan alat tulis dari tas ransel merah mudaku agar berkesempatan menundukkan wajah barang sebentar.
“Tidak juga. Dalam sebuah nama ada harapan, ada doa, ada kekuatan dan jati diri” jawabku sambil lalu meski masih terdengar tegas. “Jadi, bisa kita mulai interviewnya?” lanjutku. Berusaha mengembalikan makna pertemuan ini ke tujuan utamanya.
“Interview? Kamu dari majalah kampus?”. Reflek aku menganggukkan kepalaku.
“Kenapa tidak bilang, aku sudah menunggu dari tadi” katanya ringan setengah tertawa.
“Oh ya, Maaf. Namaku Delima, dari redaksi majalah kampus” Aku hanya mengulurkan tanganku, rasanya terlalu malu untuk memberitahu bahwa akupun sudah cukup lama berdiri di balik punggungnya, sesaat tadi tak sadar dibuat terkesima oleh suara beratnya saat menyanyikan Thank You For Loving Me kepunyaan Bon Jovi.
“Nama yang bagus” Pujinya. “Kalau batu delima itu simbol persahabatan dan kepercayaan. Semakin merah warnanya, harganya akan semakin mahal” katanya acuh sambil merapikan rambut sebahu yang sebagian jatuh menutupi wajahnya.
Air mukanya yang tenang malah membuatku agak kewalahan merapikan degup jantung yang mendadak sulit diatur. Sial. Grogi sangat diharamkan saat menginterview narasumber.

“Bagaimana rasanya dipuja fans?” pertanyaan iseng kulontarkan di akhir wawancara kami. Sedari tadi, baru kali ini dia tampak canggung menjawab pertanyaanku.
“Ah, kamu ini. Kalau kami manggung dan ada penonton yang bertepuk tangan senang dan ikut menyanyi saja rasanya sudah sangat luar biasa. Kami kan baru band pemula, mana mungkin ada banyak fans yang memuja. ” ujarnya diikuti tawanya yang terdengar lepas.
“Suatu saat nanti aku yakin itu akan terjadi” Ujarku mantap. Aku mendoakan kesuksesannya, lalu sempat kudengar dia mengamieni ucapanku. Entah apa pendapatnya tentangku saat itu. Namun setelah pertemuan pertama kami yang diikuti oleh kemunculan berita tentang bandnya di majalah kampus kami, dia mengirimkan pesan di ponselku. Dia bilang, dia senang membaca tulisanku, dan sangat berterimakasih untuk itu. Lalu semua seperti mengalir begitu saja, terlalu ringan hingga kami tak sadar banyak pertemuan-pertemuan setelahnya yang kami jadwalkan secara sengaja ataupun tidak sengaja. Banyak cerita di hari-hari selanjutnya.

***

Dan kali ini kubuktikan kebenaran ucapanku, namanya hidup dalam sosok yang benar-benar dipuja. Lingga. Lingga. Lingga. Perempuan-perempuan itu menangis melihatnya menyanyi. Sementara aku berubah seperti jasad renik yang sulit dilihat diantara penonton yang seolah tersulap menjadi hamba yang penurut, mereka mengacungkan tangan di udara, bertepuk sesuai irama. Keinginanku tak muluk-muluk. Aku hanya ingin memastikan dia mengetahui keberadaanku di ruangan ini. Bila beruntung, akan kusampaikan pesan dengan gerakan mulut yang semoga saja dia pahami. Sebuah ucapan yang sudah kusimpan sejak pagi tadi.

Satu nama menyimpan cerita.
Tentang mimpi dan cita-cita.
Perjalanan panjang jika akhirnya,
Kutemukan arti hidup dalam sebuah nama.


Ah, lagu ini. Lagu yang liriknya aku hafal di luar kepala. Sebuah Nama, judulnya. Lagu yang dia ciptakan untukku saat aku sempat marah dan nyaris meninggalkannya. Aku tertawa geli mengingat kilasan balik peristiwa itu. Ya ya ya seperti yang dikatakanya padaku dulu, lagu ini memang tercipta untukku. Sangking terharunya mengenang kenangan itu, rasanya ingin sekali kupamerkan pada seluruh penonton di ruangan ini. Hingga tak sadar aku ikut bernyanyi bersama penonton lainnya. Akupun ikut melambaikan tangan, berharap dia melihat ke arahku yang berada di barisan depan. Ayolah Lingga, ini aku. Kenapa susah sekali menemukanku disini. Aku mulai lelah menyampaikan sinyal yang tak juga ditangkapnya. Sementara dia semakin bersinar, lagu andalannya menggeber bersama aksi panggungnya, dia melompat, berlari dari ujung yang satu ke ujung panggung yang lain. Penonton bersorak mendengarnya menyanyi dengan lengkingan yang mencapai oktaf tinggi. Sesaat harmonica bluesnya ditiup mengisi interlude, histeria penggemarnya semakin menjadi-jadi. Aku semakin mengecil dan tidak terlihat. Aku menyerah, Lingga tak mungkin melihatku.

Aku menarik nafas panjang. Cukup melelahkan berada di barisan terdepan seperti ini. Bukankah semestinya kejutan kecil ini akan menyenangkan untuk kami berdua. Tak mungkin dia tak merindukanku, bila tak ada yang menyiapkan nasi goreng ikan teri kesukaannya selama seminggu ini. Lagi pula bukankah ini hari penting untuk kami. Tadinya aku pikir kepergianku ke kota ini tanpa memberitahunya terlebih dulu akan menjadi pertemuan dan hadiah yang manis. Kupandangi kotak kecil berwarna merah yang sudah kupersiapkan dari kemarin. Aku tak menyangka bila surprise ini akan menjadi cukup rumit dan menyita kesabaranku. Aku melangkah menjauh dari keramaian, baiklah bila memang harus menemuinya dari belakang panggang.

***

Dia melambaikan tangan kearahku, menggerakkan tangannya memberi tanda agar aku kearah yang sama dengannya.
“Delima, kok kamu disini? Lingga tahu?”. Aku menyalaminya, menghapus keringat yang membasahi dahiku.
“Tidak. Aku tak memberitahu Lingga” aku tersenyum cepat.
“Kenapa tak langsung menghubungiku?”
“Yaaah, namanya juga mau kasih surprise” “lagian biar ngerasain jadi penonton” lanjutku. Dia tertawa mendengar penjelasanku, lalu mengambilkan minuman soda dingin untukku. Untung aku bertemu Anton, road manager Lingga yang sudah mengenalku dengan cukup baik. Anton mengacungkan 3 jari kanannya, dia bilang 3 lagu lagi Lingga selesai. Wooow hatiku bersorak. Akhirnya penantianku akan terbayarkan. Jantungku mendadak berdegup seperti di awal pertemuanku dengannya. Ini akan menjadi kejutan yang manis untuknya.


Langkahnya panjang-panjang dan cepat, dari kejauhan terlihat rambutnya basah berkilau-kilau. Ah itu dia. Kedatangannya diikuti oleh beberapa orang lain dibelakangnya. Sesaat sosok itu mulai mendekat kearahku, langkahnya melambat. Dia tampak mengamatiku, lalu air mukanya tiba-tiba berubah menjadi sumringah. Langkahnya dipercepat berkali lipat, aku memberinya senyuman terbaik yang aku punya.
“Kenapa bisa disini?” Katanya sambil memelukku.
“I think u love ‘lil surprise” , Kataku pelan sambil merapikan rinduku yang nyaris tumpah. Lingga mengacak-acak rambutku. Kebiasaannya sejak dulu. Lalu kami baru menyadari ada banyak orang lain di ruangan ini, beberapa tampak melihatku dengan tatapan iri. Bukan yang pertama kalinya. Beberapa orang menyebut ini sebuah keberuntungan bila aku dekat dengannya. Dengan Lingga yang dipuja banyak orang, Lingga yang sempurna. Meski toh sesungguhnya tak ada kehidupan yang sempurna. Kenyataannya, bukankah aku harus membaginya dengan ribuan wanita yang mengelu-elukan namanya, bukankah aku juga harus bersedia menerima sisa waktunya diantara kesibukannya berpindah dari panggung di satu kota ke kota yang lain, bukankah cerita kami harus rela diintip oleh para penikmat berita. Dan bukankah juga aku harus menunggu lama untuk sekedar mengucapkan sesuatu untuknya. Seperti saat ini.

“Lingga, aku punya sesuatu untukmu” Kukeluarkan kotak kecil berwarna merah dari dalam tasku, kuberikan padanya. Dia tampak tersenyum lebar.
“Terimakasih ya” Diamatinya kotak persegi itu, dibolak balik dari satu sudut satu ke sudut lain. “Apa ini?” tanyanya lagi.
“Hadiah untukmu”.
“Aku buka nanti ya. Masih ada wartawan yang ingin interview” Dia tersenyum, mencium keningku sebentar. Lalu berjalan meninggalkanku sebelum sempat kuucapkan sepatah kata. Ya. Aku harus menunggu lagi.

Dari tempatku berdiri, kulihat Lingga melayani wartawan-wartawan itu dengan ramah. Sempat juga kulihat dia memamerkan kotak kecil yang kuberikan untuknya. Lalu mengeluarkan kertas kumal dari sakunya, entah kertas apa. Aku mulai merasakan punggungku pegal-pegal karena kegiatanku seharian ini saat wartawan-wartawan itu menghampiriku. Diluar dugaanku, satu persatu mereka mengucapkan selamat untukku. Hatiku bersorak, Puji Tuhan, Lingga mengingat hari ini. Lalu wartawan-wartawan itu berbincang basa basi denganku, sedikit bertanya tentang kehadiranku disitu. Sementara Lingga terus menggenggam tanganku hingga hanya ada kami di ruangan ini. Sepertinya mereka mengerti kami butuh waktu berdua sebentar.

“Delima, Boleh kubuka kadonya sekarang?”
“Tentu saja” aku pun tak sabar mengetahui reaksinya melihat hadiah dariku. Dibukanya kotak merah itu segera.
“Oh Tuhan. Ini kan..” kata-katanya terhenti. Wajahnya dibuat takjub, reaksi yang memang sangat kuharapkan. “Harmonica Blues Hohner limited edition” Tawanya lepas. “Dimana kamu mendapatkan ini?”
“Seorang temanku menemukannya saat liburan di Medan, aku titip sama dia”
“Duh. Terimakasih ya, Delima. Aku senang sekali” Wajahnya seperti anak kecil yang sedang kebanjiran hadiah. Lucu. Ditiupnya harmonica itu dengan semangat meski bunyinya tetap terdengar menyayat. Aku mengamatinya lekat-lekat, ya aku benar-benar mencintainya. Tiba-tiba dia menghentikan permainan harmonicanya, raut mukanya berubah sedih. Diraihnya tanganku.
“Tapi Delima, aku tak sempat membelikan hadiah untukmu” Lingga tampak benar-benar menyesal. “Selepas dari Samarinda, kami tak ada waktu untuk mampir ke Mall, aku tak punya hadiah untukmu”
Aku memandangi mata sayu itu, mata yang keletihan seusai melakukan perjalanan dan pekerjaan yang menguras energi dalam satu hari. Aku mengerti bila memang dia tak punya cukup waktu memikirkan hal-hal kecil seperti mencari hadiah untukku. Tapi bila dia melupakannya, itu yang aku takutkan. Tak adil rasanya bila dia melupakannya begitu saja, saat aku sudah mempersiapkan semuanya. Lebih baik bilang saja terus terang, bukankah lebih baik jujur meski akan lebih menyakitkan. Aku menarik nafas berat, menjaga emosiku yang seolah dipermainkan sejak awal hari ini.

Aku mencoba tersenyum meski masih berat. Tak ingin kurusak pertemuan kami ini dengan rasa kecewaku yang tidak bijaksana. “Ya sudah tak apa, yang penting kita sudah bersama-sama. Dan kali ini aku tak perlu membagimu dengan siapapun” Kataku akhirnya. Aku menggenggam tangannya. Lingga tiba-tiba seperti teringat sesuatu. Diambilnya kertas yang dilipat kecil dalam saku jaketnya.
“Eh, Delima, tapi aku membuatkanmu lagu ini saat tadi di pesawat” Dia memperlihatkan selembar kertas padaku. Sepertinya kertas itu juga yang ditunjukkannya pada para wartawan tadi. Kertas yang mulai kumal, di atasnya bertuliskan tulisan tangan Lingga, “Saat Kamu Tak Ada”. Aku mulai merasakan darah yang berdesir lembut di tubuhku, juga udara di seisi ruangan yang tiba-tiba beraroma wangi.

Diambilnya gitar yang masih tersandar di dinding ruangan.
“Akan coba kumainkan lagu ini pertama kalinya. Semoga kamu suka ya”. Aku tertegun, bukan hanya karena terpukau mendengar lirik lagu yang dia nyanyikan. Tapi karena aku salah menilainya. Oh Tuhan, terima kasih. Lingga juga mengingat hari ini.

“Kurasakan hampa derai tawa
Kurasakan kata bicara tanpa makna
Kurasakan rindu ini semakin menyiksa
Saat hari ini penuh cinta dan kau tak ada”
,

“Happy anniversary ya” katanya diakhir lagunya. Ah, indahnya suara berat itu.
Jantungku berdesir perlahan, tenang. Bulu mataku bergeletar sebelum menjatuhkan setetes bulir dari ujungnya.
“Happy anniversary, suamiku”. Kataku dengan suara bergetar. Dihapusnya airmataku dengan ujung jarinya. Kupeluk dia erat-erat, kali ini dia benar-benar milikku. Kali ini aku tak lagi harus membaginya. Dan kali ini aku tak lagi harus menunggu lama mengucapkan itu. Dia mengingatnya, dia mengingat hari pernikahan kami

***

“ Istri rocker jangan cengeng” katanya tersenyum sambil mengusap rambutku, aku juga ikut tersenyum.
“Aku tadi melihatmu dari depan panggung”
“Oh ya? Aku tidak melihatmu.”


With love,
Jogjakarta, 27 Februari 2010, from your biggest fan :)

Saturday, February 20, 2010

Kroket "penasaran" Keju

Kalau menyimak status saya di Facebook belakangan, sering sekali saya menuliskan aktivitas membuat kroket keju disana. Keluarga dan orang terdekat bisa menjadi saksi bagaimana semangat saya membuat makanan yang satu ini, sebenarnya si bisa juga dibilang dendam kalau bukan semangat. Berulang kali mengolah adonan demi membuat kroket yang sreg di mata dan juga di hati.

Memang benar apa yang dibilang pepatah lama “practice makes perfect”. Pertama kali membuat kroket keju dengan panduan resep internet, bahan dasar adonannya berasal dari tepung terigu. Karena panduan resepnya kurang detail *hehehe excuse banget, saya salah memasukkan takaran perbandingan susu dan tepung terigu. Alhasil adonannya jadi banyaaak sekali, sepertinya bisa untuk konsumsi orang kerja bakti 1 RW. Karena baru pertama kali membuat, dan adonannya dari tepung pula, kroket edisi pertama bentuknya kurang mengundang selera. Duh, lebih mirip perkedel daripada kroket, sangking absurdnya bentuk si kroket ini mengabadikan gambarnyapun saya tidak tega hehehe. Tapi untuk rasanya sih, enak :) sekian banyak kroket yang dibuat ternyata habis juga. Meski saya masih kurang puas karena kata pacar saya kroketnya masih terlalu keras. Walaupun harus berlapang dada menerima masukannya, tapi sepertinya sih memang begitu.

Dengan perbekalan pengetahuan menakar bahan-bahan dengan prosentase yang benar, saya makin percaya diri untuk membuat kroket keju edisi dua. Saya juga makin mahir membentuk kroket yang walaupun bahan dasarnya tepung dan susah sekali dibentuk, paling tidak bentuknya sudah jauh lebih bagus dan lebih lunak. Sedap dipandang mata. Tapi ternyata, setelah dicoba, huhuhu katanya kroket buatan saya terlalu asin :’( Katanya itu, maksudnya katanya keluarga dan pacar saya.
Hiks hiks sedih dan penasaran rasanya. Kok gagal maning gagal maning. Padahal menurut saya kroket saya itu sudah cukup pas rasanya dan tidak terlalu asin, lagi pula saya kan belum kebelet nikah juga. *hemm entah apa korelasinya masakan terlalu asin dengan hasrat menikah. Tapi yaaah mau gimana lagi, dibilang terlalu asin ya berarti memang begitu, saya kan memasak bukan untuk lidah saya sendiri.

Kali ini kroket tiga, nggak main-main. Saya bereksperimen dengan tambahan isian daging ayam cincang, wortel, dengan bahan dasar kentang. Saya lebih hati-hati memasukkan bumbu-bumbunya agar tidak terlalu asin seperti sebelumnya. Namun parahnya, saya lupa tidak memasukkan tepung. Alhasil, setelah di goreng, kroket keju saya lebih parah bentuknya dari edisi pertama. Menyerupai perkedelpun tidak. Lebur di penggorengan. Duh, rasanya hancur karier memasak saya. Hehehe *yang ini lebay.

Tapi saya serius, sedih sekali rasanya setelah berusaha memasak berulang kali, dengan keyakinan dan harapan akan lebih baik, tapi ternyata gagal maning gagal maning. Namun juga sebaliknya, pengalaman yang menyenangkan sekali ketika kita memasak, membuat sesuatu yang sesuai harapan dan berhasil. Keluarga dan sosok tersayang menyukainya, atau bahkan teman menggilainya.

Kemarin, beberapa adonan dari kroket edisi tiga yang beberapa sudah terlanjur digoreng dan gagal, coba saya olah lagi pada malam harinya. Jam 9 malam bayangpun! Niat abis deh hehehe. Setelah saya ngambek seharian, dan menetapkan musuhan dengan kroket keju, akhirnya saya merasa iba juga pada adonan yang sudah terbentuk rapi dalam kulkas namun belum saya goreng karena tahu nantinya akan hancur berantakan di penggorengan. Maka itu saya putuskan untuk mengolah kembali adonan yang sudah hampir jadi tersebut, saya hancurkan lagi, keju batangannya saya lepas kembali dengan rasa berkecamuk dan kurang ikhlas haha. Saya tambahkan pula tepung terigu dan susu, garam dan merica secukupnya.

Well, ya. Ternyata memang selalu ada jalannya kalau kita mau berusaha. Kroket keju saya jadi juga. Boleh lah saya berbangga dengan perjuangan saya. Dan tentu dengan pengorbanan orang-orang terdekat yang mau tak mau menjadi korban pencicip. Kalau saya datang dengan kotak tupperwear biru, itu tandanya, Wadooh, Makan kroket keju lagi, kroket keju lagi hehehe.

Beberapa orang mungkin sudah sangat ahli memasak, membaca tulisan saya dengan rasa kasihan, “kroket keju gitu loh.. masak nggak bisaaa sih???” Tapi kalau suatu saat nanti seorang teman bercerita tentang kegagalan demi kegagalan saat proses memasak, saya akan sangat mengerti bagaimana perasaannya. Memasak adalah proses dari sebuah kerja keras dimana hasil penilaian apapun harus kita terima. Dan bagi saya memasak bukan hanya urusan lidah dan perut, tapi juga sangat emotional :)

Jogjakarta, 21 Februari 2010

Friday, February 12, 2010

Peran Si Kembang Goyang

Sore tadi, saya sekeluarga sengaja menyempatkan diri melihat pementasan perdana, Naya, keponakan saya dari kakak laki-laki saya yang nomer dua. Keponakan saya itu dulunya terbilang pemaluuuu sekali, susah beradaptasi dengan situasi yang hiruk pikuk dan ramai. Biasanya bila dia di tempatkan disituasi seperti ini, dia akan memilih untuk menangis keras-keras, agar secara terpaksa bisa menghilang sementara dari pusat keramaian. Untunglah setelah dia beranjak besar, rasa percaya diri dan keberaniannya makin terpupuk, Naya makin sering tampil di berbagai pementasan di sekolahnya, beberapa kali juga sempat mewakili sekolahnya untuk perlombaan Fashion Show. Progress yang sangat baik memang, dan tentu saja mengharukan :) Saya pikir, itu juga berkat dukungan penuh dari kedua orang tuanya yang selalu mendukung setiap hal yang menjadi minat kakak Naya, mulai dari menggambar, ballet sampai fashion show.


Saat pentas sore tadi kak Naya kebagian peran sebagai little bird, mengenakan baju balet yang lucu dengan bulu-bulu warna hijau. Cantik deh :)

Namun ada satu hal yang saya catat dengan huruf tebal saat pentas itu dimulai. Sebelum anak-anak lincah dengan baju burung itu muncul, terlebih dahulu muncul di awal dua orang anak yang dengan kostum warna warni di bagian bawahnya dan memegang setangkai bunga cantik yang digenggam dengan kedua tangan. Kami yang duduk di bangku penonton sepakat, mengerti. Oooh, adik-adik itu yang kebagian peran menjadi bunga. Memang sepanjang pentas, saat burung-burung kecil itu menari lincah, berputar dan menggerakkan sayap kecilnya, dua tangkai bunga yang berdiri di depan tersebut hanya menggoyangkan kedua tangannya ke kanan dan ke kiri.


Kakak saya spontan berkomentar, "Kasian ya dek itu yang dua cuman goyang-goyangin tangan aja jadi bunga". "Ya tapi kalo nggak ada yang jadi bunga nggak keliatan kaya taman, Bun, pentasnya". Saya membalas tak kalah spontan. "Iya sih" kakak saya menyutujui.

Ya ya, peran kecil, peran pendukung, terkadang lantas berubah peran menjadi peran yang dikasihani karena dianggap tak ada dan tak penting. Coba sekarang dibalik, tanpa peran kecil itu, tanpa peran pendukung itu, tanpa kembang goyang itu, apa mungkin pementasan itu sebaik dan sesukses itu pula. Apa burung-burung kecil berkostum bulu itu akan terlihat cukup cantik tanpa dua tangkai bunga yang "hanya" bergoyang ke kanan dan ke kiri. Peran sekecil apa pun, tentu ada untuk memberi sebuah arti, asalkan kita mau menyadari.

Nanti, kalau Teratai kecil saya pentas dan "hanya" kebagian peran jadi bunga yang bergoyang di tiup angin, dia akan melihat ibunya menjadi orang yang bertepuk tangan paling keras di barisan penonton. Akan saya katakan padanya "Peran kecil bukan berarti peran tanpa arti. Dia memberi nafas dalam pertunjukan, dia melengkapi, dia menyempurnakan. Yang perlu kita lakukan adalah menjalani setiap peran yang diberikan dengan sebaik mungkin. Dan tentu saja dengan cinta. Bukan hanya di panggung pementasan, namun juga di panggung kehidupan".


Bagi saya, Tentu Tuhan tak mungkin lupa menyematkan alasan atas kehadiran kita di dunia, dan sama sekali kita tak punya hak untuk mengecilkan atau membesarkan arti sebuah peran dengan mata yang tentu melihat dengan segala keterbatasan. Catatan ini saya tuliskan agar nanti tak lupa saya sampaikan.

Peluk dan Cium Ibu untuk Teratai yang Masih Disimpan Di Surga,

Jogjakarta 12 Februari 2010

Wednesday, February 10, 2010

Mungkin Berhenti

Mungkin aku harus berhenti,

Sejenak merapikan emosi yang gelegarnya melebihi badai sore tadi.
Mencari kemana perginya perempuan yang selalu berselimutkan kelembutan hati.
Mengobati kaki kiri yang selamanya tertoreh bekas luka akibat paku yang kusebar di jalanku sendiri.
Memunguti kembali air mata yang jatuhnya berderai-derai dan tersebar hingga di sudut lantai.

Sepertinya aku harus berhenti,
Agar tersisakan jeda untuk menarik nafas dan mulai merangkai kalimat yang tak akan lagi menyakiti.

Ya. Aku akan berhenti di sini,
Agar tahu ini bukan tentang siapa yang paling cepat berlari,
Tapi siapa yang tinggal dan tetap bersama menyediakan hati.

Demi nyawa-nyawa kecil yang masih sembunyi di ruang imaji,
Aku berjanji,
Ini hanya sebentar membuatku mati suri, lalu hidup kembali.Tak lama segera kukejar ketertinggalanku dengan cinta yang akan lebih berenergi.

Kupastikan juga aku tak akan terlambat mengerti,
Bahwa hidup tak akan pernah mau menunggu selama aku berhenti.
Dia tetap pergi.


Jogjakarta, 11 Februari 2010

Tuesday, February 9, 2010

Sebersyukur Sujud Sesederhana Kendang

Namanya Sujud Sutrisno, lebih sering dikenal dengan nama Sujud Kendang. Nama yang cukup akrab di telinga kalangan seniman Jogjakarta, meski ternyata saya pun baru kemarin pertama kalinya melihat langsung aksi panggung "Mbah Sujud", nama panggung yang kerap disandangnya. Mengenai profesinya, beliau lebih suka menganggap dirinya sebagai "PPRT" atau "Pemungut Pajak Rumah Tangga" ketimbang pengamen, karena biasanya dia akan mendatangi satu rumah ke rumah lain untuk bernyanyi dan berharap kebaikan dari penghuni rumah :)

Beruntungnya setelah sepuluh tahun lebih tinggal di Jogjakarta, akhirnya kemarin di salah satu event Outbond teman-teman Sembilan Communication, saya tidak ketinggalan melihat penampilan icon seni yang berasal dari Klaten ini. Perawakan kecil mbah yang kelahiran tahun 1953 selalu dibarengi dengan senyum yang mengembang di wajah lucunya. Dia adalah sosok seniman yang saya acungi jempol karena kepiawaiannya bermain kendang tunggal, suaranya yang jernih dan juga kecintaannya pada dunia seni. Apa lagi yang harus kita ragukan tentang kecintaan beliau pada panggung kesenian, bila dia sudah mulai bermain kendang sejak tahun 1964 hingga sekarang. Mungkin saja kita berpikir, ah beliau begitu kan karena memang tak punya pilihan lain. Namun saya rasa tidak juga, dengan jam terbangnya yang sudah seperti sekarang, dengan namanya yang tidak lagi dipandang sebelah mata *setidaknya di kalangan seniman, untuk sekedar beralih profesi menjadi pemilik warung kecil misalnya, tentulah tidak akan sulit. Namun bahwa memainkan kendang bukan semata-mata karena uang, dan untuk sebuah alasan yang hanya mampu diukur dengan rasa. Mengingat bagi beliau bermain kendang juga mampu menjadi media untuk melepaskan tekanan jiwa, maka lantas bagi saya pribadi pilihannya untuk terus menekuni bidang kesenian terasa lebih manusiawi dan masuk akal.

Bukan semata karena penampilan Mbah Sujud yang sederhana, selalu setia dengan surjan, blangkon dan hiasan kumis ala Asmuni di wajahnya yang membuat saya terkesima, namun juga kepiawaiannya menyanyi beberapa lagu medley langsung, tanpa terputus. Wooow tentu membutuhkan kemampuan vokal yang tidak main-main dengan pengaturan nafas yang baik. Improvisasi lirik lagu yang beliau mainkan juga terdengar hidup, muncul secara spontan, mengandung parodi, lelucon, sindiran, kritik sosial, dan terkadang diselingi hal-hal yang agak "vulgar" memaksa penontonnya untuk terlibat dan menyumbang tawa.

Meski sudah acap kali ikut pentas di panggung-panggung besar, yang berlevel nasional ataupun internasional, mbah sujud tetap memegang teguh prinsip hidupnya, "nrimo ing pandum". Sebuah falsafah Jawa yang berarti menerima suratan takdir dengan kesabaran dan kerendahan hati. Menurut Mbah Sujud, takdir atas dirinya berada di tangan Tuhan. Itulah kenapa setiap kali mengakhiri permainan musiknya, dia tidak pernah berharap bayaran, namun menerima apa yang orang lain berikan secara ikhlas.

Sedikit mengganggu saya, ketika mengetahui fakta dari wikipedia, ternyata beliau bahkan juga pernah membuat sebuah album yang sudah di pasarkan di Amerika Serikat dan Eropa. Sebuah album yang bertajuk "Street Music of Java", musik orisinil, direkam tahun 1976-1978. Kenapa lantas fakta ini bukan hanya membuat saya ikut merasa bangga tapi juga sedikit terganggu, karena ternyata beliau dan beberapa musisi yang terlibat di album bertaraf internasional itu tidak mendapatkan sepeserpun royalti dari hasil album yang sudah terjual.

Oh oh oh, Beliau bahkan jelas-jelas sudah lebih dulu go Internasional di banding Agnes Monica yang gembar gembornya di infotainment sejak beberapa tahun yang lalu. Tapi masih saja kesederhanaan cara berpikir dan menyikapi hidup di letakkan di atas segalanya bahkan untuk sesuatu yang semestinya bisa diraba secara duniawi.

Kadang saya berpikir, semestinya Mbah Sujud harus lebih bisa memanage pekerjaannya secara profesional sebagai bentuk penghargaan atas dirinya sendiri, dan tentu saja untuk taraf hidup agar bisa lebih baik. Tapi lantas juga saya kebingungan dengan sebelah hati saya yang mengkonfontir, atau sebaiknya saya yang perlu belajar pada kemulian berpikir beliau. Belajar tentang kecintaan yang ikhlas Mbah Sujud pada dunia seni dengan falsafahnya "nrimo ing pandum". Sebuah hal yang tentu cukup langka ditemukan di jaman yang serba rupiah seperti sekarang.

Seperti penghargaan yang diberikan oleh pimpinan grup musik Kua Etnika, Djaduk Ferianto, yang memberi gelar Mbah Sujud dengan sebutan "Pengamen Agung", bagi saya Sujud Kendang adalah sosok pengamen agung yang dalam arti sebenarnya, meski kecil perawakannya, namun jelas agung batinnya, agung juga nama dan kontribusinya untuk dunia kesenian.

Jogjakarta, 10 Januari 2010


Monday, February 8, 2010

Puding Mangga

Saya dan keluarga serta seseorang terkasih sempat ngefans berat sama puding mangga yang dipesan pada teman sekantor kakak saya. Penasaraaaaan banget dengan rasanya yang manis, tidak eneg dan terutama pada tekstur pudingnya yang selembut sutra. Akhirnya saya putuskan untuk mencari-cari resepnya, dan mencoba membuat puding mangga yang selembut sutra tersebut. Akhirnya, dengan beberapa bahan sederhana, seperti susu kental manis, sirup mangga, buah kaleng dll, percobaan saya sangat berhasil! Rasa pudingnya benar-benar selembut sutra. Cihuy!

Jogjakarta, 9 Februari 2010

Saturday, February 6, 2010

Mereka yang Berdiri Seharian dan Membagikan Selebaran

Meski toh yang dilihat mewujud pada sesuatu yang sama, namun memang segalanya tetap tergantung dari bagaimana kita menilai. Contohnya saja, sebuah gelas dengan setengah cairan didalamnya. Apakah gelas itu setengah kosong atau setengah penuh, terserah kita lebih suka melihatnya seperti apa.

Terkadang pula, sudut pandang melihat sesuatupun hanya dari sebelah sisi saja, sering kali lupa bahwa bila dilihat dari sudut yang lain maka hasilnya akan berbeda. Misal yang lain, sebuah rumah bila dilihat dari belakang akan tampak biasa saja dan tidak istimewa, namun bila kita melihatnya dari depan tentulah akan jauh berbeda.

Saya bukan hendak bicara mengenai hal berat yang akan menguras pikiran, justru sebaliknya, ini hanya hal ringan yang meski terjadi dalam kehidupan sehari-hari, mungkin akan terlupakan begitu saja.

Tentu sering kita melihat, beberapa pekerja yang berdiri membagikan selebaran, entah itu di mall-mall ataupun di perempatan jalan. Ada yang hanya sekedar membagikan selebarannya tanpa bereaksi lebih lanjut, ada pula yang kemudian berusaha menawarkan produknya dengan menahan kita lalu mulai sedikit berpresentasi. Disaat kita ingin bersantai ataupun jalan-jalan di mall, mungkin saja penawarannya ini menjadi hal yang cukup mengganggu. Tapi apa mau dikata, mereka begitu karena mereka sedang bekerja. Ya memang begitulah resiko pekerjaan mereka, harus bekerja di saat yang lain sedang dalam misi bersantai dan ingin hiburan. Kalau bisa memilih, mungkin mereka ingin ikut bersantai tanpa harus berdiri seharian, membagikan selebaran lalu memikirkan target penjualannya sendiri seperti sedang dikejar setan. Mereka membutuhkan seseorang yang menerima selebaran, duduk mendengarkan lalu berbagi keuntungan. Untuk pembeli, produk unggulan yang sudah di tangan silahkan dibawa pulang, dan untuk mereka yang sudah berdiri seharian, paling tidak selebaran yang diberikan akhirnya berhasil menjadi sarana agar bulan ini tidak ditendang dari perusahaan.

Beberapa waktu yang lalu, saya sempat bekerja bareng dengan mereka yang saya sebut “berdiri seharian dan membagikan selebaran”. Sedikit lebih beruntung karena saya kebagian tugas yang lain berkat hobi mengoceh saya, tidak harus ngeMC di acara sebuah bank tersebut sambil membagikan selebaran ples berpikir tentang target bulanan. Pada saat itu saya berkesimpulan, pekerjaan mereka yang “berdiri seharian dan membagikan selebaran”, meski tidak dibebankan dengan tanggungjawab atas laju perusahaan yang harus berkembang dibandingkan tahun lalu, bukanlah lantas pula pekerjaan yang ringan.

Bukan saya tidak suka pada mereka karena menghalangi langkah saya yang sudah ngebet ingin jalan-jalan di mall bila saya sering menolak selebaran yang mereka berikan, alasan saya hanya sekedar sayang, eman-eman kalo orang jawa bilang. Selebaran itu hanya akan menjadi sampah yang saya buang tanpa terbaca. Bila itu diberikan pada orang yang benar-benar tertarik dan membacanya, maka paling tidak lembaran yang menggunakan kulit pohon dalam proses pembuatannya itu akan diurai lagi oleh tanah setelah memberi manfaat. Itulah sebabnya terkadang sering saya tolak pemberian gratis yang mereka berikan, karena bukan saya yang akan menjadikan lembaran itu hidup bermanfaat.

Namun lalu seharian bekerja bersama mereka yang “berdiri seharian dan membagikan selebaran”, memaksa saya melihat dari sudut yang tidak lagi berbeda, dari sudut yang sama dengan mereka. Di telinga saya, kekhawatiran mereka akan biaya pendidikan masuk SD untuk anak-anak mereka yang berbanding terbalik dengan pemenuhan target bulanannya seolah hanya berjarak setengah meter dari tempat duduk saya. Momok yang mengerikan bagi mereka itu seolah ikut menghantui saya pula. Kekesalan yang terkadang tersembunyikan lewat tawa kecut saat selebarannya ditolak meskipun gratis dan tak perlu bayar, entah kenapa lantas membuat saya berpikir, "Duuuuuh apa susahnya sih kalau diterima saja." Atau kekecewaan yang terpancar di wajah lelah mereka saat selebarannya dibuang sesaat ketika bahkan mereka belum juga hilang dari pandangan, membuat saya berjanji pada diri sendiri untuk menyimpan kertas itu di dalam tas sebelum akhirnya nanti terpaksa saya rumahkan di tempat sampah.

Lalu saya tersadar, betapa reaksi bisa menjadi berbeda ketika kita melihat dan berada di sudut yang berbeda pula. Bahkan untuk hal kecil sekalipun.



Jogjakarta, 7 Februari 2010

Thursday, February 4, 2010

Brownies

Seperti yang sempat saya ceritakan di postingan saya sebelumnya, saya memang sedang belajar memasak. Dan karena brownies adalah salah satu makanan yang termasuk gampang diolah, itu lah sebabnya saya memutuskan untuk belajar membuatnya.


Sedikit tentang sejarah Brownies yang pertama kali dipublikasikan tahun 1897 di Sears, Roebuck Catalogue, brownies awalnya dibuat secara tidak sengaja. Saat itu sang pembuatnya kelupaan memasukkan baking powder sehingga hasilnya tidak mengembang, namun yang terjadi justru kue bantat adonannya disukai dan menjadi populer hingga sekarang.

Oya, ternyata brownies hasil karya saya juga tidak mengecewakan, teman-teman kantor Cak Sari, kakak saya, memesan 3 loyang brownies buatan sang koki amatiran hehehe..

Jogjakarta, 5 Februari 2010

Wednesday, February 3, 2010

Musim Hujan yang Terlambat

Musim hujan kali ini datang terlambat, dan kalau menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sih, ini terjadi karena fenomena El Nino yang terjadi secara global. Sumber wikipedia menyebutkan, El Nino adalah sebuah kondisi abnormal iklim di mana suhu permukaan Samudra Pasifik di pantai Barat Ekuador dan Peru lebih tinggi dari rata-rata normalnya. Sekarang ini fenomena El nino semakin sering muncul yaitu setiap tiga hingga tujuh tahun, yang lantas berpengaruh pada perubahan iklim dunia selama lebih dari satu tahun. Para ahli bilang ini adalah salah satu dampak dari Global warming ;(

But anyway, it doesn't make me stop loving rain. Aku tetap suka bau legit tanah basah, aku suka melihat jendela yang mengalir butir hujan di permukaannya. Aku selalu jatuh cinta dengan hujan.

Oya, aku juga selalu suka perlengkapan musim hujan yang membuat sedikit lebih gaya hehehe Entah itu, coat, sweater ataupun payung. Tapi gawatnya, musim hujan kali ini suka datang dan pergi tak bisa diprediksi. Pagi hari bisa panas luar biasa, sorenya hujan deras dengan petir dan halilintar, bisa jadi juga sebaliknya. Kalo sudah begitu, alamat salah kostum deh.

Maunya pake coat biar hangat yang ada malah bikin bonus extra keringat. Fiuhhh.

Jogjakarta, 4 Februari 2010

Fiki's Wedding















Januari kemarin salah seorang teman terbaik saya, Fiki, melangsungkan pernikahannya yang tentu saja membuat saya dan teman-teman se-gank semasa SMA *ciiieh* ikut merasa berbahagia. Pernikahan dua budaya yang berbeda, Indonesia dan Australia masih cukup unik bagi saya, melihat para bule berpakaian jawa lengkap dan patuh pada adat istiadat Jawa yang terasa sakral, membuat pernikahan Fiki dan Sigi menjadi moment spesial yang saya kenang. Lebih-lebih saat sungkeman atau memohon doa restu orang tua yang berlangsung khusyuk meski dilakukan dalam 3 bahasa, bahasa Jawa, Indonesia dan Inggris. Benar-benar menguras air mata, sampai sepertinya maskara waterproof saya harus bekerja lebih ekstra dari biasanya hehe.















Well ya, ritual yang kami biasa kami lakukan bila teman satu gank kami menikah ini adalah membuat seragam kebaya untuk resepsi. Di pernikahan Fiki kemarin saya sendiri yang memilihkan kain warna merah Jreng yang banyak menerima komentar dan kritik pedas karena warnanya yang cukup bitchy hehe.


Humm anyhow, I LOVE my bloody a bit bitchy kebaya hahaha! Setelah ini siapa lagi ya bagian dari gank SMA yang akan kami buatkan seragam kebaya? really can't wait to see and come :)

Oya, I compiled all moments of Fiki's wedding on my facebook foto album, just check it if u want!

Spread Love all over the world, hug and kiss.


Jogjakarta, 3 Februari 2010

Sekelumit yang Aku Tahu Tentang Ibu

Tentu saja aku belum mengenalnya sebaik anak-anak dewasa yang dia besarkan sejak dalam rahimnya. Bila memang harus menyebutkan kurun waktu pertemuan, maka akan terasa belum terlalu istimewa, hanya dalam hitungan hari, bulan dan sedikit tahun.

Boleh dibilang, ini hanya sekelumit cerita dari semangat seorang wanita yang selalu kulihat di pancaran matanya. Tentang ketulusan mencurahkan perhatian untuk pekerjaan rumahnya yang nyaris tanpa cela dan keluhan. Tentang kekuatan hatinya yang dapat diandalkan saat mengarungi kehidupan, bahkan ketika terlanjur bergulir tanpa kuasa dan tak ada sedikitpun prediksi dalam genggaman. Dan tentu saja, tentang kecintaan luar biasa yang selalu memenuhi seisi ruangan saat ia bercerita tentang lelaki yang setia dia dampingi. Hingga akhirnya Tuhan meminta kekasihnya kembali dan harus melanjutkan perjalanan sendiri.

Tak banyak yang aku tahu, namun rasaku tak mungkin salah menilai ibu. Perempuan yang masih terlihat cantik meski wajahnya mulai berhiaskan kerutan, yang selalu berbagi perhatian dan kebaikan. Bagiku, tak ada yang salah padanya, tak pula ada yang keliru untuk niat baiknya. Namun bila masih harus ibu mengurut dada saat perih seolah tersayat sembilu, aku mohonkan agar malaikat menjaga tidurnya dan menyeka air matanya.

Ketika kadang terdengar di telinga, bahwa pola pikir perempuan yang sebagian besar rambutnya mulai berganti warna itu terlalu rumit dan mempersulit, sesungguhnya aku mengagumi ketelitian dan kepeduliannya pada hal-hal remeh dan sering terkecilkan. Ketika dia hanya tertawa saat bungsu kesayangannya berseloroh dengan tajam kata-kata, aku terkesiap dengan pemahamannya atas isi hati putranya. Dia tetap dapat mengartikan dengan benar kasih sayang yang diselipkan untuknya, sekalipun tergubah dalam bentuk sikap diam, dingin dan terkadang seolah tak peduli. Nanti, bila memang diizinkan, perkenan aku mewakili lidahnya yang selalu kesemutan bila harus mengucapkan sayang saat berhadapan. Perlahan akan didengar penggalan kalimat yang nyaris tak berani dia rindukan, betapa kami sangat menyayanginya :)

Untuk keikhlasannya menyiapkan masakan lezat setiap hari, untuk rasa kantuk yang selalu diusirnya bahkan ketika masih pukul empat pagi. Untuk kasih sayang yang tak putus-putus di setiap suapan untuk para cucu, sang buah hati. Untuk kesedihan yang harus disembunyikan saat niat baiknya lagi-lagi gagal dimengerti. Dan untuk keceriaan yang selalu dia tawarkan saat bercerita tentang koleksi batiknya sore tadi, semoga Tuhan selalu memuliakannya, dan menepati janji surga untuknya.

Jogjakarta, 2 Februari 2010 *Katanya, surga ada di bawah telapak kakimu. Namun bagiku, surga adalah jelmaan pengabdianmu setiap hari yang menjadi nafas bagi semua sifat baikku.

Berselisih Waktu

Saat aku sedang ingin menelponmu, kamu bilang tunggu dulu. Ada yang harus kamu persiapkan untuk pekerjaanmu.
Lalu malamku menunggu, sembari melahap puding mangga dan menonton film kartun milik keponakanku.

Sementara jalinan di otakku sepertinya mengikat terlalu kuat, berdenyut seolah sedang melagukan kamu. Kunikmati alunan di kepala sambil terus menunggu, kapan ya kamu selesai bekerja lalu bisa kudengar suaramu.

Ah, daripada resah ini memburu, iseng coba kuhitung ratusan domba di langit-langit yang lama-kelamaan tak lagi terlihat lucu. Hingga tak sengaja aku tertidur dan lupa janji menelponmu. Bagaimana ya kabarmu saat itu? Yang kutahu ada satu pesanmu di ponselku, tertinggal dan baru terbaca saat matahari munculnya masih malu-malu.

Hemmm, lantas sekarang haruskah aku menelponmu? Membangunkanmu untuk mendengarkan ceritaku yang tertunda sekian lalu. Ah, tapi kasihan juga kamu. Ya, sudahlah, sepertinya rindu ini memang sedang berselisih waktu.

Jogjakarta, 30 Januari 2010, dini hari

Pembagian Tugas Itu

Entah bagaimana awalnya, yang jelas kita sekarang sudah mahfum sekali dengan banyak pengklasifikasian karakter ataupun job description yang kita lekatkan pada gender tertentu. Seolah-olah hukumnya pun lantas menjadi saklek alias mutlak . Misalnya saja bahwa perempuan haruslah lembut dan telaten, sementara laki laki haruslah kuat dan tegas. Kalaupun tidak harus, maka kata yang disarankan untuk menggantinya adalah "seharusnya". Sering kita dengar; seharusnya laki-laki tidak boleh menangis. Kalau saya bilang sih, tak apa juga bila laki-laki ingin menangis. Menangis saja. Meski rasanya kok jadi aneh juga bila ada laki-laki yang gemar menangis. Akan beda tanggapannya bila itu perempuan yang terlihat sering menangis. Ah, beruntungnya jadi perempuan hehe :)

Seperti juga awalnya yang tak jelas bagaimana itu tadi, urusan akhirnyapun masih belum jelas akan seperti apa. Yang pasti soal pengklasifikasian sifat, tugas dan kewajiban yang dipasangkan pada gender tertentu, sampai sekarang masih menjadi yang kasat oleh mata, dan masih jelas terasa. Sangking jelas dan terasanya, batasannya pun menjadi berdampak sangat significant. Tak serupa dengan aturan tak tertulis kebanyakan, maka sama dengan melewati batas kewajaran.

Mau apa lagi, kalau ternyata sejak saya belum bisa berpikir sendiri (apa apa masih hasil pikiran dan buah karya orang tua), sampai sekarang (apa apa pokoknya maunya saya) saya sudah disuguhi oleh karakter perempuan yang harus saya telan dan tidak boleh dimuntahkan. Bahwa perempuan itu lembut, perempuan itu ya harus bisa melayani. Tentu saja saya pribadi tak ingin memuntahkan suguhan tadi, karena toh muntah itu menyisakan rasa sepa dan pahit di tenggorokan. Tak enak. Namun lalu alhasil di mata saya, lelaki pun haruslah menjadi seperti beberapa karakter yang tersisa dan tidak disuguhkan, bahwa laki-laki harus kuat, harus mampu melindungi. Tanpa peduli tak semua dari mereka berani berkelahi.

Ya benar, waktu selalu berputar dan berganti hari, otak saya tentulah terkontaminasi, entah karena melihat televisi ataupun membaca informasi di sana sini. Terkadang tersentil juga untuk berpikir tidak seragam seperti; bahwa perempuan akan tetap sewajarnya menjadi perempuan meskipun tidak lantas bertugas untuk melayani, tidak pula meladeni. Namun bila lalu di balik, berarti lelaki akan tetap menjadi lelaki meski dia tidak menjadi penanggung jawab yg menafkahi? Tiba-tiba saya kok rasanya jadi curang, kurang sreg dengan teori saya sendiri. Bukan juga lantas berarti laki-laki lah satu-satunya yang mutlak bekerja, sementara mutlak pula perempuan hanya mengerjakan tugas rumah tangga. Tidak sekaku itu, saya pribadi lebih suka bila nanti saya tidak sepenuhnya membebankan keuangan keluarga pada laki-laki, entah itu karena saya yang membantu bekerja di luar rumah atau di dalam rumah. Karena sampai saat ini, saya rasa saya bisa stres bila tak berkegiatan hehe.

Lalu saya anggap menjadi wajar pula bila laki-lakipun mengharapkan perempuan yang memang bisa melayani dan meladeni. Paling tidak yang teratur mengurus rumah tangga dan pandai memasak. Saya mengerti itu adalah hal wajar, sewajar harapan saya pada sosok lelaki yang nantinya sewajarnya pula dapat bertanggung jawab menjadi imam keluarga, melindungi dan menenangkan kami-kami si anak istri yang bersandar lahir batin.

Yang membuat saya panik adalah ketika satu pertanyaan saya lontarkan untuk diri saya sendiri, bisakah saya menjadi yang sewajarnya diharapkan? Oh oh oh, memasak saja saya kacau. Saya sering berharap bahwa suatu saat naluri mengurus rumah tangga itu akan tumbuh dengan sendirinya, seperti halnya naluri seorang ibu yang datang dengan sendirinya ketika mengandung dan melahirkan. Tapi saya pun sadar dari pada saya menyerahkan kredibilitas saya sebagai perempuan pada bentuk keajaiban yg datang dengan sendirinya, lebih baik saya mulai berusaha. Toh juga tidak ada buruknya. Akan lebih baik lagi jika saya melakukannya karena memang saya suka. Mulai dari satu hal kecil saja deh.

Saya putuskan, saya akan belajar menyukai memasak. Saya berusaha agar syukur-syukur nanti jadi hobi, meskipun hobi ini hasilnya sering pula gagal. Sedih sih, tapi kan yang penting usaha.

Seperti usaha laki-laki membetulkan kran kamar mandi, memperbaiki genting. Tidak selamanya kembali bisa seperti sedia kala, kadang meminta tukang yang ahli di bidangnya. Mungkin saya nantinya juga akan minta tolong penjual makanan-makanan lezat untuk menyelamatkan dan menyenangkan perut seisi rumah, namun toh itu tak membuat saya diam tanpa usaha, ya kan? Ya dong? Ya kan dong?


Jogjakarta, 30 Januari 2010 *Menu hari ini Makaroni Skutel, hati hati. Waspalah waspadalah X)

Bukan Milik Kita

Ya, tak satu pun mahluk di dunia ini sempurna, tanpa cacat tanpa cela. Namun saya juga percaya, ada saja kebaikan yang Tuhan berikan agar menjadi kekuatan, agar mampu bertahan.

Semisal yang sederhana. Harimau sang raja hutan memang diberi kekuatan sejak dia lahir, namun itu bukan lantas berarti hewan lain lemah dan tak mampu melindungi diri. Kalajengking memiliki alat penyengat yang dapat mengeluarkan racun untuk melindungi diri dari musuhnya. Cicak, mahluk yang terkadang diremehkan keberadaannya, pandai mengelabui pemangsanya. Akan diputuskan bagian ekornya jika ada pemangsa menyerang, bagian ekor yang terputus akan bergerak-gerak dalam hitungan menit dan mengalihkan perhatian si pemangsa, pada saat itulah cicak akan melarikan diri dan beberapa bulan kemudian ekor cicak akan tumbuh seperti semula. Satu lagi, perihal kupu-kupu. Hewan cantik kesayangan saya pun punya ajian untuk melindungi diri, sayapnya yang berwarna dan selalu saya kagumi ternyata bukan hanya sekedar keindahan yang membuai mata. Sayap kupu-kupu memiliki bentuk, pola, warna yang dapat meniru model atau hewan lain, fungsinya untuk menjauhkan perhatian pemangsa mereka. Dalam istilah biologi saat kita sekolah dulu, inilah yang disebut mimikri. Terkadang sayap kupu-kupu serupa dengan bentuk mata burung hantu, terkadang pula sewarna dengan batang pohon atau daun yang dihinggapinya. Aduh aduh, Tuhan memang pencipta yang luar biasa pintar ya :)

Dan bila manusia diciptakan sebagai mahluk Tuhan yang paling sempurna diantara mahluk lain karena dikaruniai akal budi untuk berpikir dan merasa, saya rasa sudah semestinya kita mensyukuri nikmat yang diberikan dan lebih bijak menyikapi kekurangan. Sekali waktu mungkin terbersit pertanyaan, kenapa ya kita tidak seberuntung si ini atau si itu. Kenapa Tuhan tidak adil pada kita. Namun seandainya saja kita lebih dalam dan jeli melihat dari sudut lain, mungkin kita akan balik bertanya, apanya yang Tuhan tidak adil :)

Saya pun terkadang merasa begitu, saya banyak cela. Bukan sekali dua kali saya dibuat jengkel dengan salah satu kekurangan saya. Masih ada pula beberapa sifat buruk yang cukup mengganggu keseharian dan sulit dihilangkan. Akibat kesalahan ataupun kekurangan saya, ketakutan yang luar biasa pun acap kali menghantui. Meresahkan benar, karena harga yang saya tebus tak akan cukup bila hanya dibayar dengan air mata, tapi juga sebuah kehilangan besar yang hanya hati ini sanggup menakar. Bukan saya tidak berusaha mengatasi kekurangan tersebut, namun sepertinya memang saya harus berusaha lebih keras dari sewajarnya. Ya ya, meski sangat sedih dan menyesal, boleh dibilang, kesalahan memang tetap ada pada saya, yang kurang keras berusaha. Sekalipun saya mohon toleransi sebagai manusia biasa yang selalu alpa disini dan disana, tentunya butuh cinta dan hati besar untuk menerima saya dan segala buruk yang ada pada saya. Tentu mudah menemukan sosok yang mampu menerima kelebihan dan kebaikan saya, namun yang bisa berlapang dada menerima kekurangan saya? Saya harap Tuhan menyisakan satu saja dia untuk saya.

Entah bila tak begitu bagi yang lain, namun bagi saya, meski tentu saja saya tak luput salah disana sini, saya tetap akan berarti. Paling tidak saya bisa memberi arti. Entah juga bila ini terdengar terlalu percaya diri, namun di mata saya, untuk sesuatu yang mengatas namakan cinta dalam nafasnya, semestinya kekurangan tak akan lagi menjadi sebuah alasan atas pantas atau tidak pantas kita dicintai.

Satu nasehat yang saya ucap berulang kali ketika bercermin di pagi hari dan masih melihat bayangan yang sama. Satu kekurangan, satu kesalahan jangan sampai membuat kita lupa pada banyak kebaikan yang diberikan. Karena sekali lagi, kesempurnaan sama sekali bukan milik kita…


Lalu yang bisa saya usahakan hanya berusaha menjadi lebih baik, semampunya.

Jogjakarta, 25 Januari 2010

Alhamdulillah

Manusia memang boleh berkehendak, berhak berusaha dengan kesungguhan yang sesungguh-sungguhnya, dengan kekuatan yang sekuat-kuatnya, namun lalu ya hanya itu saja. Tuhan tetap pemegang kuasa, atas jadi atau tidaknya, atas ada atau tiadanya. Cerita tentang sepasang kekasih yang gagal melangsungkan pernikahan karena kecelakaan naas menimpa meski tinggal esok hari akan menjadi pasangan sehidup semati toh bukan hanya isapan jempol belaka. Atau cerita tentang seorang kaya raya dengan harta melimpah lalu binasa di keesokan harinya karena gempa memporak porandakan lapisan tanah pun bukan hanya dongeng semata. Masih ada banyak bukti untuk menceritakan kuasaNya. Memang hanya Dia Sang pemilik jawaban. Entah yang itu kita artikan sebagai tidak, ya, atau memang terpaksa kita harus menunggu beberapa saat lebih lama untuk mencerna maksudNya.

Saya memang berusaha, impian saya masih sama, hanya saja saya membutuhkan Dia untuk meniupkan nafas dalam mimpi saya, menggetarkan jantung dalam harapan saya. Ya, semoga saja.

Kalaupun ternyata belum waktunya, atau memang Dia rasa bukan ini jalannya bagi saya, ya saya mau apa. Selain menerima dengan besar hati dan mensyukuri apa yang menjadi mauNya.

Terkadang saya memang kecewa, sering pula saya merasa putus asa, tapi seketika pula saya sadar, bahwa kesedihan saya, keputus asaan saya, tak membuatNya menghentikan perjalanan saya. Diberinya saya kesempatan untuk menangis dan larut dalam kesedihan, mungkin karena Dia pun tahu saya tak akan berlama-lama :). Saya yakin kok, bahagia itu adalah tentang bersahabat dengan yang menjadi kehendakNya. Dan tak akan aku dustakan nikmat yang Kau berikan padaku, ya Rabb..


Alhamdulillah…


Jakarta, 22 Januari 2010

Dengan Hafal

Walaupun aku sama diamnya, sama saja ketukan dan hampa diantara jedanya, dia tahu mana yang diam berarti karena sedang mengantuk mana yang sedang lapar.

Seperti dia juga tahu alasan sebenarnya ketika aku tak menyentuh sarapan di meja makan rumahnya. Kapan memang benar aku sudah kenyang atau sekedar malu bila terlihat porsi makanku banyak.

Meski aku bilang aku tak marah saat dia mengejutkanku dengan atraksi menyetirnya, dia bisa membedakan helaan pada tarikan nafasku. Memang sih, sama lirihnya bahkan nyaris tak terdengar, namun dia akan tetap meminta maafku karena tahu aku sedang menyabarkan rasa jengkelku. Walau tentu saja aku juga akan dengan cepat mengatakan "sudahlah".

Saat aku tetap tertawa kecil dan terus berceloteh yang kuanggap seperti biasa, aku tak siap ketika dia tiba-tiba memandangku lekat dan bersungguh-sungguh berkata, bahwa aku tak perlu khawatir. Biasanya, aku akan balik bertanya, Ah, siapa juga yang khawatir?. Dia bilang, dia hanya berusaha mencari pilihan lain untuk menukar kata cemburu. Huuh. Dalam hati aku akan merutuk, untuk apa juga aku mesti cemburu. Meski lantas setelah itu tanpa kusadari kueratkan tanganku yang melingkar di pinggangnya.

Sesaat bila aku selesai menangis, dia akan terus berusaha membuat lelucon untukku. Tetap bercerita ini itu meski selalu diakhiri pertanyaan yang juga selalu itu. Maukah aku melupakan sedihku, menghentikan marahku. Dan saat aku bilang, aku sudah baik-baik saja, dia akan mengatakan padaku, "Kamu boleh jika ingin menangis lagi. Tapi setelah itu, maafkan aku"

Terkadang aku heran bagaimana dia bisa mengetahui semuanya. Apakah ini aku yang terlalu mudah dibaca. Namun katanya, sederhana saja jawabnya. Dia mencintaiku dengan hafal. Humm ya, aku pikir itu benar. Dia memang menghafal segala tentangku setiap hari. Dengan benar.

Jogjakarta, 10 Januari 2010

Satu Pintu Akan Terbuka Lagi

Dear my dear,

Ini adalah tentang perjalan panjang sebelum sesuatu yang kita sebut sukses itu kita bisikkan lembut di telinga ibu. Tentang sesuatu yang makna dan definisinya sangat relatif dan tergantung pada isi kepala masing-masing pengharapan. Tentang perjalanan yang tak memberi kita kesempatan untuk menyingkirkan kerikil sebelum mulai melangkah. Sehingga yang bisa kulakukan hanya sekedar menggenggam tangan saat terkadang kesedihan membuat tanganmu gemetar dan langkahmu bergetar, atau mengusap keringatmu saat kegagalan terasa lebih menusuk dibanding terik yang menyengat.

Mimpiku yang mendoakanmu akan selalu berjalan mengiringi, meski bertemu tikungan tajam tak akan mau ia kembali.

Dear my dear,
Ada sedikit cerita. Soichiro Honda. Seorang tokoh dibalik nama besar brand otomotif dunia tidak serta mendadak sukses dan menguasai pasar kendaraan bermotor. Sebelum keberhasilannya yang membuat mata terkesiap seperti sekarang, dulu sosoknya pun sering diliputi kegagalan. Ia bukan seorang profesor, insinyurpun bukan. Ia sempat pula jatuh sakit, kehabisan uang, dikeluarkan dari kuliah. Percobaannya bukan percobaan yang seketika turun dari langit dan voila, ber-ha-sil. Pembuatan Ring Pinston, karya yang dihasilkan oleh bengkelnya sendiri pada tahun 1938 ditolak oleh Toyota, karena dianggap tidak memenuhi standar. Ring buatannya tidak lentur, dan tidak laku dijual. Namun kecintaannya pada mesin otomotif lah yang membuatnya terus bermimpi, lalu mewujudkannya. Membuktikan bahwa tak ada yang mustahil sepanjang manusia mau berusaha.

Kecintaanmu pada duniamu, pada sesuatu yang kau letakkan bahkan di atas kecintaanmu padaku, seperti saat sekali waktu kau berseloroh padaku, bagiku adalah hal terbaik yang kau jelajah atas apa yang kamu miliki. Seluruh kemampuan terbaik, seluruh kemauan dan doa yang kau gerakkan, aku yakin suatu saat akan menggugah mimpi. Meski tentu lalu tak akan terwujud begitu saja. Seperti halnya kita tak bisa memilih satu hari akan tentang bahagia saja.

Dear my dear,
Aku bukan ibu peri, yang bisa selalu tersenyum saat melihatmu sedih, walaupun tentu saja aku selalu berusaha sekuat tenaga agar tak nampak sedikitpun kesedihanku yang akan membebanimu. Tapi kau tahu, sosokmu adalah sosok yang terlanjur terlihat kuat, bahkan lebih kuat dari yang bisa kau bayangkan. Otakmu cerdas, jauh lebih tajam dari yang mereka pikirkan. Dan pribadimu, pribadimu lebih hebat dari yang orang lain bayangkan. Hehehe, jangan marah padaku jika aku berpikir begitu. Aku selalu percaya itu.

Bila di hadap ibu peri kau baru berani menangis, maka anggap lah saja aku perempuan bersayap itu. Yang akan menghapus air matamu tanpa tertinggal sedikitpun jejak seketika kau harus kembali menghadapi dunia. Kujelaskan lagi padamu, menangis itu bukan dosa. Apa bedanya air mata dengan tawa, bila sama-sama terhasil dari sebuah bentuk luapan emosi yang sejujurnya. Akan sama melegakannya. Sungguh.


"Jika satu pintu kebahagiaan tertutup, percayalah bahwa Tuhan akan membukakan pintu kebahagiaan yang lain. Namun sering kali, kita terlalu lama meratapi pintu yang terlanjur tertutup, hingga terlupa bahwa pintu lain sudah terbuka". Bersyukurnya, aku tahu kau tak akan begitu.

Dear my dear,
kamu memang kebanggaanku yang selalu tersenyum. Sembunyikan sedihmu padaku, sini. Sedihmu aman denganku.

Jogjakarta, 5 Januari 2009

Sedikit Saja Tentang Perbedaan

Entah apa yang salah pada saya, namun memang beginilah adanya garis lahir itu bicara. Terlahir dari keluarga yang sama sekali tak ada keturunan Cina, wajah saya persis seperti orang Cina totok ras Mongoloid. Duh. Tak terhitung berapa banyak orang yang menyangsikan “kepribumian” saya. Tak hanya itu, tercatat pula di akte kelahiran saya, sebuah nama depan yang sering kali mencirikan pilihan keyakinan pada sosok yang kita Esa-kan. Nama saya Maria Kumalasanti, satu nama depan yang cukup tak lazim bila dilekatkan pada seorang muslim, meski toh kenyataannya saya menjadi muslim sejak pertama kali ayah saya membisikkan adzan di telinga kanan dan iqomah di telinga kiri. Saat saya menuliskan ini, saya sepenuhnya sadar, bahwa yang terjadi pada saya bukanlah kesalahan, melainkan keistimewaan, yang menyentuh saya dengan indah perbedaan dalam keseharian.

Sebenarnya ada alasan logis kenapa wajah saya mirip sekali dengan orang Cina. Papa dan mama saya memang berdarah asli Palembang, dan menurut sejarahnya Palembang adalah sisa hidup peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang pernah berjaya di kawasan Asia. Pada abad ke 7 hingga 13 M, Sriwijaya mengalami zaman keemasan sebagai kerajaan maritim. Armada kapal milik Sriwijaya sanggup berlayar ke China dengan membawa banyak komoditas perkebunan, seperti cengkeh, pala, lada, timah, rempah-rempah, emas, dan perak. Lalu banyak pula pendatang dari mancanegara yang singgah ke Sriwijaya untuk sekedar berniaga. Mereka juga bermukim di kerajaan yang dulunya menjadi pusat pendidikan ajaran Budha dan ilmu pengetahuan itu, beberapa bangsawan dan orang kebanyakan menikah dengan pendatang dari China. Kalau diamati, kini mayoritas orang Palembang kebanyakan berkulit kuning langsat dan bermata sipit. Mungkin bila ditelisik, jangan-jangan saya masih ada hubungan darah sebagai cicit dari buyutnya cicit buyut Panglima perang Chengho. Hahaha, menghayal habis-habisan.

Kalau tentang nama Maria yang diberikan oleh papa saya, itu memang sempat menjadi pertanyaan yang saya ajukan padanya. Kenapa Maria? Bukan Maryam seperti nama kebanyakan muslim lain. Jawabnya singkat, Maria itu artinya perawan suci, lalu kenapa bukan Maryam, karena nama Maria juga bagus, sama saja. Begitu katanya :) Saya pikir benar juga apa yang papa saya bilang, nama saya bagus. Maria berarti perawan suci sedangkan Kumala dan santi diambil dari bahasa sansekerta yang berarti batu permata dan kedamaian. Walaupun rasanya kombinasi muka cina dan nama Maria tentu akan menjurus pada sebuah persepsi atau bahkan kesimpulan mudah bila tak lagi bertanya pada yang bersangkutan. Bahwa saya adalah seorang Cina yang beragama Kristen, atau seorang Cina yang akhirnya memeluk islam setelah menjadi mualaf. Well anyway, toh nyatanya saya memang sudah terlanjur hidup dengan persepsi semacam ini, hingga sangat mendarah daging , sudah 25 tahun lho :)

Beberapa teman-teman saya memanggil saya dengan sebutan “cik”, kalau saya sedang ke pasar, para pedagang disana memanggil saya “nonik”. Beberapa kemudahan memang terkadang bisa saya dapatkan, seperti ketika si empunya toko menjadi lebih cair dengan melihat wajah saya yang serupa dengan wajahnya. Sering kali saya mendapat privilege harga jadi lebih murah meski ibu lain disebelah saya diberi harga beberapa ribu diatas saya, atau bahkan setelah pegawainya berteriak kencang memohon ijin pada majikannya “ciiiiiiiik, cici’e boleh milih barang di dalem nggaaaak??”, saya bisa dengan santai melenggang masuk ke dalam gudang persediaannya. Olalaaaa. Asyik!!

Namun meski begitu, semasa saya SD sampai dengan SMP saya pun pernah menjadi bahan olokan karena wajah cina saya, bahkan pernah sekali waktu saya menangis mendengar hinaan kasar seorang teman yang mengata-ngatai saya. Katanya, Saya cina loling makan tai garing, saya haram karena saya makan babi, saya sipit maka saya pelit. Duuuh, saya sedih sekali. Bahkan saya tak punya kekuatan untuk sekedar berkata saya bukan cina. Hati kecil saya berkata, kenapa makan babi jadi permasalahan jika mereka bahkan tak merasa menjadi dosa bagi mereka. Semakin dewasa saya pun semakin menyadari bahwa cina yang bermata sipit dan dianggap pelit ternyata sangat dermawan bila bersedekah di gerejanya. Tahun 1998, saat kerusuhan Mei berlangsung dan banyak memakan korban etnis Tionghoa, saya pun menjadi salah seorang yang ketakutan membawa wajah seperti ini kemana-mana. Lalu tanpa saya sadari, saya mulai merasakan apa yang dirasakan kaum minoritas itu, bahwa diskriminasi dan streotipe yang dilekatkan pada ras mereka memang menyakitkan. Seseorang sungguh tak punya hak menjustifikasi sifat seluruh golongan hingga lupa bahwa di setiap manusia pasti juga tersimpan kebaikan.

Wajah Cina saya, nama Maria saya, membuat saya tersentuh oleh banyak hal yang menurut saya pribadi adalah tentang kelembutan dan ketulusan. Saya sering mendapat ucapan Gong Xi Fat Cai saat tahun baru Cina, meski sayang belum pernah juga ada yang memberi saya angpaw ;p. Begitu juga dengan nama Maria, sebuah sebutan yang dekat dengan keyakinan nasrani dan seolah membuat saya menjadi dekat dengan mereka. Meski saya tak sedikitpun meragukan keyakinan saya pada Allah S.W.T beserta Rasulnya, saya memang menyukai kemeriahan natal, saya mengaku tergila-gila dengan pernak-pernik natal yang menurut saya manis dan indah, dan saya hanya tersenyum bila dulu ada seorang teman yang mengucapkan “Merry Christmas!!” pada saya.

Saya berpikir, bila kita terbiasa hidup berdampingan dengan perbedaan, memberi nafas leluasa pada keanekaragaman sehingga tak perlu ada yang tersakiti dan merasa tertekan, saling menghormati pada keyakinan yang berbeda di setiap hati, bahwa apapun yang diyakini pun dilandasi dengan segala kemulian cinta dan kebaikan, saya rasa semestinya hidup akan jauh lebih berwarna dengan perbedaan. Dan bukankah segala yang berwarna itu lebih indah?

Three reasons problems are inevitable; first, we live in a world of diversity; second, we interact with people; and third, we cannot control all the situation we face.” (John C. Maxwell)

Muka saya yang bukan Cina hehehe


Jogjakarta, 31 Desember 2009 * Happy Nu Year, Everyone!!!! Mari lebih mengihormati indah perbedaan :)

My Greatest Thing

Hallo perempuan hebat dalam hidupku,

Aku bukannya sekedar ikut-ikutan latah mengingatmu di satu hari dimana semua orang mengagungkan peranmu. Tapi ya kerena memang tak ada yang lain yang kubayangkan selain kamu saat aku terjaga di pertengahan tidurku seperti sekarang.

Terbayang dengan jelas bagaimana kamu tetap membuatkan telur setengah matang untukku sarapan saat aku masih duduk di bangku sekolah dulu. Bagaimana pagi harimu disibukkan dengan menyiapkan air panas untukku, menyiapkan seragam merah putihku, sampai susah payah mengucir rambut tipisku menjadi 2, hingga mencuat seperti air mancur. Hehehe itupun aku masih sering merajuk bila garis yang membelah kulit kepala terlihat kurang simetris. Ah, padahal bisa jadi itu yang terbaik dari penglihatan yang berbingkai kacamata minus ya. Maafkan aku yang dulu kalau begitu ;)

Lalu kau juga selalu ingat makanan kesukaanku. Membagi kepala ikan menjadi beberapa bagian agar aku bisa ikut kebagian saat harus beradu cepat dengan suami dan anak laki-lakimu :)

Belum lagi kalau aku ketahuan sakit, kepanikanmu mungkin akan melebihi dokter pribadi sekalipun. Kalau kebetulan kita sedang berdekatan dan aku tak sedang berstatus anak rantau, pastilah dengan sigap akan kau usap badanku dengan minyak hangat. Eh, aku juga ingat dulu saat kepalaku berdarah terantuk keramik gajah. Bukan karena darah mengucur deras di kepala yang membuatku stress bukan kepalang, tapi karena kau yang mendadak lemas melihatku berbalur cairan amis merah itu. Pasti kau sedih sekali ya saat melihatku begitu? Tapi ngomong-ngomong, aku senang kau menemaniku saat kepalaku harus dijahit hingga sekarang tertinggal pitak di sudut kiri. Eh waktu itu aku sudah bilang terimakasih belum ya?

Hallo, perempuan yang sebelum pulang ke Jakarta selalu minta dibelikan hena untuk melapisi warna putih di rambutnya.
Sabar dulu ya kalau sekarang baru bisa belikan satu kotak hena, mana tahu nasib mujur aku belikan hena sepabriknya nanti beberapa tahun lagi hehe ;) Humm, perempuan beruban yang luar biasa aku kagumi, dini hari seperti ini, biasanya aku sering mengganggu tidurmu. Perempuan sebayamu mungkin seharusnya sudah tertidur pulas dan mengistirahatkan lelahnya seharian. Tapi maaf lagi ya, kalau kau malah harus terjaga mengkhawatirkan aku yang pulang malam karena tugas siaranku ;( Eh, btw, aku sudah mengurangi jadwal malamku lho. Meski tetap saja dalam seminggu ada satu kali jadwal malam yang selalu memaksa kita bersitegang :'( tapi aku tahu kok, tak ada yang lain alasannya kecuali rasa sayangmu padaku :)

Nenek dari banyak cucu perempuan yang jago memasak, rindu tidak sih denganku?
Aku juga acap kali mendadak rindu bila teringat petualangan kita menelusur pasar, hobi yang sama yang membuatku berkeringat sampai sekarat. Atau geli bila ingat kebiasaanmu yang tak bisa berhenti berkomentar saat menonton serial kesukaan. Dan ternyata menurun padaku! Kita sama-sama suka bicara, ngecipris, orang jawa bilang. Coba mama dulu juga jadi penyiar saja, mungkin mama juga akan kebagian jadwal siaran malam, sama sepertiku hehehe, sudah bukan itu intinya.

Intinya... Ah, aku kangen ah. Kangen obrolan ringan kita saat kita berbagi bantal. Rumpi sana-sani yang membuat kita tak kunjung tertidur, atau menutup mata tapi mulut tak juga rapat tertutup :)
Walaupun kadang setelah aku berbalik badan, aku sering menyimpan air mata. Betapa sesungguhnya rasa sayangmu yang besar ingin aku balas dengan menjadi si bungsu yang berbakti.

Hallo yang disana :)
Lama juga ya aku tak menelponmu, sepertinya sudah beberapa hari yang lalu. 3 hari yang lalu ya terakhir? Ah, aku jadi malu nih. Padahal kau kan pasti tak pernah absen menyebut namaku di sholat malammu setiap hari. Humm, besok pagi aku pastikan akan menelponmu, akan aku sampaikan betapa anak bandelmu ini menyayangimu. Biarlah bila terdengar agak sinetron sedikit. Biar juga bila dibilang sekedar ikut trend setahun sekali. Tapi tahu lah mama aku tidak begitu.

Mam, aku minta maaf ya. Kalau masih banyak harapan dan impian yang belum berhasil aku wujudkan. Tapi satu yang pasti, aku sayang luar biasa sama mama. Kalau sampai ada yang meragukan ini, Arrrrrgh sini, biar aku tendang pakai sandal wedges!

Aku sayang banget sama Mamah. Terimakasihku tak terhingga untuk semuanya ya, Mah. Hiks

Jogjakarta dini hari, 22 Desember 2009

*Mam, tahun ini Santi absen bikin insert radio hari ibu yang biasanya selalu aku persembahkan buat mama, tapi bukan karena Santi uda males bikin-bikin sesuatu buat mama, itu cuman karena keduluan temen sekantor yang lebih rajin aja, hehe. Eh, besok santi kirimin sms puisi kaya biasanya juga ya, Mah :)

Impian Lembayung

Kali ini dia tidak ikut mencicipi es buah segar bersamaku. Padahal semestinya saat terik matahari menyengat di atas ubun-ubun kepala seperti sekarang, melepas dahaga dengan beberapa potong buah dingin yang dilumuri pemanis dan susu akan serupa surga bagi kerongkongan yang kerontang. Awalnya aku pun enggan mampir di warung es buah langganan kami yang terletak di ujung gang dekat rumahnya, namun dia bersikeras memaksa, katanya dia pun nanti ingin berbuka puasa dengan es buah kesukaannya sebelum warung kecil itu menutup kiosnya tepat pukul tiga seperti biasa. Aku tak suka berdebat dengannya, nyaris selalu kuikuti keinginannya.

“Benar tak apa aku makan es buah di depanmu begini?” Kikuk rasanya memakan semangkuk es buah itu sendirian, sementara seorang perempuan manis disebelahku hanya asyik melahap kertas-kertas yang tak bisa tidak berceceran, sebentar-sebentar ditatanya kertas-kertas itu menjadi satu tumpukan.
“Sudahlah tak apa. Aku khawatir kalau aku pulang, tak akan selesai soal-soal ini aku kerjakan. Bisa bisa aku hanya pulang dan tertidur. Lagi pula aku sudah niat puasa, bertirakat untuk keinginanku” Ujarnya sambil terus menatap kertas dihadapannya. Aku melirik sebentar, ada beberapa butir pertanyaan sejarah diatas lembarannya.
“Itu, soal nomer 5, jawabannya D, persoalan adat” jawabku iseng sambil terus mengunyah potongan buah yang terasa manis. Dia melihat kearahku, alisnya berkerut.
“Penyebab perang Paderi tahun 1821-1837 di Sumatra Barat kan? Ya, persoalan adat” lanjutku tak acuh. Perempuan itu mengangguk cepat, melingkari huruf D dengan pensil birunya. Aku terus mengintip dari samping, menelusuri pertanyaan-pertanyaan sejarah yang menguji ingatan beliaku semasa duduk di bangku sekolah dulu. Ah, butir pertanyaan mengenai supersemar masih saja ditanyakan. Aku tergelak pelan, terbersit apa pentingnya mengujikan persoalan sejarah yang terkadang kebenarannya sudah dibelokkan, yang keabsahannya masih juga menjadi pertanyaan. Seolah semacam meneruskan mata rantai kebodohan yang tak putus-putus. Hingga tanpa kusengaja, aku semakin terjerat menjawab satu persatu soal-soal sejarah yang terkadang membuatku tak sadar mengucapkan jawabannya terlampau keras. Hingga perempuan yang selalu aku kagumi itu mulai menampakkan mimik muka terganggu, meski bagiku wajahnya tentu saja tetap terlihat lucu dan lugu.

“Kenapa tadi tidak kau beli saja sendiri kumpulan soal tes CPNS itu di depan gerbang sekolah tadi. Lagi pula, tak perlu kau beri tahu pun aku sudah tahu jawaban soal-soal itu” Ujarnya pelan sambil tak sedikitpun melihat kearahku. Seolah seperti sedang berbicara pada lembaran kertasnya yang sudah ditutup rapat dan dihantuk-hantukkan perlahan pada bidang datar hingga menimbulkan suara gesekan kertas dan kayu yang khas.
“Eh, maaf, jangan marah ya. Akan kukunci rapat-rapat mulut usilku ini” tak bisa kukaburkan rasa cemas bila dia bersungguh-sungguh marah padaku. Persoalanku satu, aku tak pandai merayu perempuan yang merajuk.
“Ummm, begini, kau kan sudah sering menghadapi pertanyaan-pertanyaan itu di sekolah. Tentu kau akan dengan mudah menjawabnya lagi besok saat ujian, ya kan? Tenanglah.” Aku bersunguh-sungguh dengan ucapanku. Sudah lebih dari dua tahun ini, dia mengabdikan dirinya dengan menjadi Guru Tidak Tetap (GTT) di Sekolah Dasar di salah satu kecamatan. Menghadapi murid-murid kelas 4 yang bandel dan sulit diajak berkonsentrasi karena mulai banyak keingintahuan yang harus dicukupi. Sekali waktu pula, dia sempat bercerita padaku tentang honornya yang ternyata tetap saja di bawah UMP (Upah Minimum Propinsi) di bulan pertama setelah keputusan itu ditandatangani Gubernur. Tapi aku yakin bukan itu alasan kenapa dia sangat menginginkan menjadi guru tetap dan mengikuti test CPNS, melainkan agar dia bisa membuat ayahnya bangga, agar bisa kembali dekat dengan ibunya yang semakin sering sakit-sakitan di usia tua, agar bisa kembali pulang ke kampung halaman di Sipora, salah satu kecamatan di Mentawai, Sumatra Barat dengan kepala tegak sebagai anak kebanggaan keluarga . Meski itu berarti pula aku harus dipaksa untuk tak lagi bisa melihat wajahnya yang cantik alami setiap hari. Tapi toh sudahlah, apa hak ku mencegahnya meraih kebahagiaannya sendiri, kekasihnya pun aku bukan. Sesaat nafasku terasa sesak. Hingga kudengar dia menarik nafas panjang, lalu menyelipkan beberapa helai rambutnya di balik telinga.
“Aku ingin sekali menjadi PNS” ucapannya lemah, namun tetap terdengar jelas olehku.
“Tak ada alasan yang membuatmu tidak diterima, Lembayung. Percayalah. Kamu mempelajari soal-soal itu setiap hari. Kamu menghadapi soal-soal itu di sekolah, kamu berdoa setiap waktu. Kamu pasti berhasil” Aku bersemangat, bahkan aku rasa mataku berbinar saat aku mengucapkannya. Bukan, bukan, aku bukan sedang membesarkan hatinya, tapi memang begitu kenyataannya. Bahkan saat itu ingin sekali kugenggam tangannya, menguatkan pijakannya hingga perempuan itu mampu melambung dan mendekat pada mimpinya. Namun tentu saja aku tak sanggup, seolah dia terlalu indah untuk tersentuh oleh tangan kasarku. Dia hanya tersenyum manis, menatapku sesaat, lalu kembali menekur. Kurasakan nafasnya lembut ditelinga.
“Kau tau, terkadang, keberuntungan malas mampir menghampiriku”
Aku terdiam, es buah yang terlanjur terkulum di mulutku terasa hambar. Lalu aku meratap pelan-pelan, tak ingin didengar yang lain kecuali Dia yang kusebut Tuhan. Bisakah kuminta seluruh persediaan kesedihan, agar perempuan ini tak lagi mengenalnya dalam kehidupannya. Atau paling tidak, akan kupenuhi tempayanku dengan kesedihannya hingga porsi miliknya berkurang.

Namanya Lembayung. Hanya Lembayung, tak ada tambahan nama yang lain. Namun bagiku kebahagiaannya berarti ribuan kali lipat dari satu kata jumlah namanya.

***

Kutelusuri satu persatu ruas jalan yang entah dimana ujungnya, berkelebat bayangan Lembayung berlarian mengejarku dari trotoar disebelah kiri. Sengaja kukemudikan perlahan laju sepeda motorku, agar sempurna kenangan akan Lembayung yang terekam dari awal pertemuan hinggaaa, hinggaa, hingga entahlah. Aku bahkan tak tahu sampai kapan kenangan indah tentangnya akan bertahan, yang pasti semua ingatan itu kurapikan setiap hari hingga tak ada yang tercecer, lalu kuagungkan sebagai milikku yang berharga, meski hanya dalam ingatan. Lembayung. Perempuan yang kutahu menggenggam perasaanku dengan kuat, namun terlalu takut aku akui cinta.

Kami bertemu saat sama-sama menempuh pendidikan di IKIP Karangmalang, ketika itu kami sering dipertemukan di beberapa kuliah umum. Kami memang mengambil bidang yang berbeda, aku mengambil jurusan bahasa inggris dan dia matematika. Selepas bergelar sarjana strata 1, rupanya aku lebih beruntung, mendaftar menjadi guru bahasa inggris di sebuah STM Negeri dan langsung diangkat menjadi guru tetap setelah baru hampir setahun mengajar. Sementara Lembayung memutuskan untuk memulai kariernya dengan menjadi guru Sekolah Dasar. Sayangnya setelah dua tahun mengabdi, belum juga ada pengangkatan guru honorer menjadi guru tetap. Tapi aku tahu, dia sangat menikmati profesinya, terlihat dari matanya saat bercerita tentang murid-muridnya. Dia bilang, sebenarnya dia ingin sekali mendaftar tes CPNS untuk guru Sekolah Dasar, namun sayangnya persyaratan bahwa guru tetap Sekolah Dasar haruslah lulusan PGSD (pendidikan guru SD) membuat Lembayung harus mengurungkan niatnya dan mengikuti test CPNS untuk menjadi guru SMK. Katanya lagi, asalkan bisa jadi PNS dan dekat dengan orang tua pasti lah orang tuanya akan senang. Kebahagiaan orang tuanya adalah kebahagiaannya juga, katanya berulang-ulang hingga aku menghafal kalimat itu bahkan dengan intonasi yang benar.
Tak akan sulit untuk membuatku mengerti. Apa bedanya dengan ketika aku meriaki cermin didepanku yang memantulkan gambar wajah murung dengan banyak lipatan menurun saat tahu dia akan pulang kembali ke tanah kelahirannya dan meninggalkan aku. Berulang kali kukatakan pada diriku, tak ada yang lebih indah dari membiarkanmu meraih kebahagiaanmu, Lembayung. Mengenai imbasnya pada kesedihanku, itu bukan masalah besar.

Kutelusuri satu persatu bangunan yang tak bergerak namun berceloteh banyak. Itu dia, warung bercat hijau dengan banyak kalender terpasang di dindingnya. Menjual sop ayam yang sering kami kunjungi bila sesekali ingin makan siang bersama. Makan disana biasanya akan membuatnya berkeringat, lalu kulit yang melekat di tubuhnya akan tampak makin bersinar. Kerap pada akhirnya aku akan mati-matian merutuki hatiku yang meneriakinya cantik, karena khawatir akan terdengar. Tak jauh dari situ, satu kios tambal ban pernah menjadi penyelamat rinduku. Saat di suatu sore aku menghabiskan waktu bersamanya lebih lama dari semestinya karena harus menambalkan ban sepeda motorku yang kempes diluar agenda. Aku tergelak mengingat satu persatu peristiwa. Lalu terpaksa diam manakala sepeda motorku mendekati toko buku yang terletak di sudut perempatan tempat kami sering meluangkan waktu di akhir minggu. Nyeri rasanya bila membanyangkan beberapa akhir pekan nanti, aku hanya akan melangkahkan kaki kesana seorang diri. Tak ada lagi sosok yang biasa membuatku kesulitan mencarinya saat hendak mengajak pulang setelah kita berpencar mencari buku kesukaan. Ya. Terlalu banyak bangunan yang sudah kutelusur bersamamu, Lembayung, terlalu lama juga kupendam perasaan yang kubiarkan tumbuh dan sebentar lagi kukhawatirkan ledakannya mampu membuat organ-organ dalam tubuhku berceceran.

Ah, lembayung, apa kau tahu perasaan takut kehilanganmu, sesorang yang bahkan bukan milikku itu terus menghantui hingga nyaris membuatku celaka. Aku berdarah saat mencukur kumisku terlalu sering meski sudah tak satupun bulu menempel di atas bibirku. Motorku nyaris tersenggol angkutan kota saat lupa tak menyalakan sein kiri saat berbelok di jalan raya. Aku terlalu berlebihan memikirkanmu belakangan ini, Lembayung. Memikirkan kebahagianmu.

Sudah kuputuskan. Akan kuungkap perasaanku padanya saat penguman keberhasilan tesnya nanti. Sebelum ia kembali pulang mencium tangan ibunya, meraih mimpi dan kebahagiaannya, lalu perlahan beringsut melupakan lelaki yang mengaguminya disetiap hentakan kaki.

***

Mataku terus menelusur satu persatu ribuan nama yang tercantum di website Pusat Pengumuman CPNS Indonesia. Sungguh tak ada yang lebih kuinginkan dari menemukan namanya diantara barisan nama-nama itu. Terbayang ceria wajahnya saat kusampaikan berita bahagia yang mendekatkannya pada impiannya. Betapa akhirnya segala yang kusampaikan padanya adalah benar, perjuangannya tak akan berujung pada satu yang sia-sia. Meski lalu sesaat pula perasaan aneh itu datang, perasaan sepi saat membayangkan hari-hari yang kehilangan kebersamaan yang selalu aku nantikan.

Tanganku berkeringat, Kipas angin di ruang laboratorium sekolah ini tak mampu menghentikan kerja kelenjar keringat yang terus mengucur hingga baju dinas warna colatku basah. Wajah bahagia Lembayung dan hari-hari sepiku esok hari berganti-gantian melintas, hingga aku harus mengerjapkan mata sesekali agar pandanganku terlihat lebih jelas. Berulang kali pula layar komputer itu kupandang lekat-lekat. Namun sayang, tetap saja tak ada, tak kutemukan satupun nama Lembayung di situ. Lalu perlahan yang nampak hanya kesedihan dimatanya yang menggelayutiku hingga terasa berat saat bulu mataku bergeletar meski sedikit. Yang kutahu, rasanya kesedihan Lembayung yang menyakitiku ini ingin kutukar dengan hari-hari sepiku esok hari.

-a short story-

Jogjakarta, 18 Desember 2009