Sunday, May 23, 2010

Sayangnya Tak Mungkin

Saat saya menuliskan ini, saya sedang bersama teman-teman seperjuangan menunggu giliran bekerja. Di ruang transit talent yang dipersiapkan panitia, seusai makan malam yang berlaukkan ayam goreng, bihun pedas dan berbagai menu lain yang menggugah selera. Beberapa di antara kami, asyik tenggelam mengikuti tingkah polah Upin Ipin yang lucu dari balik layar televisi. Kekasih saya memilih untuk membunuh waktu dengan memetik senar gitar dan meneriakkan suara serakknya dalam lagu balad yang terdengar menyanyat. Terlontar begitu saja dari mulut seorang teman, tak terlalu ingat suara siapa, mengeluhkan betapa lama harus membuang waktu menunggu. Rasanya percuma. Saya pun sempat membenarkan, sebelum saya mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.

Kami duduk, makan enak, menonton televisi, lalu menyumpah serapahi waktu yang seolah tak tahu bila sedang dinanti. Namun sadarkah bila seisi ruangan ini bukan hanya tentang kita yang kelelahan dan nyaris mati berdiri menanti. Ada dia, ada mereka. Yang sebelum kita datang dan duduk, sudah tegak di samping pintu sejak tadi, menunggu seseorang di antara kita melambaikan tangan, menghampiri, lalu membersihkan sisa-sisa makanan. Selebihnya, waktu kembali dihabiskan untuk berdiri lagi, menunggu kapan waktu memunguti piring-piring kotor agar bisa berdiri lagi, di samping pintu sudut yang situ-situ lagi.

Seandainya bisa, tentu dia lebih ingin berbagi tempat dengan kita, duduk menunggu giliran bekerja, menghibur lalu dielu-elukan. Hanya sekedar berbagi tempat, merasakan nyamannya lokasi yang biasa mereka tinggali. Bukan untuk melayani, tapi menikmati. Menikmati hidup yang kata sebagian orang ringan, yang kata sebagian orang santai. Kata sebagian orang yang tentu saja bukan mereka.

Bila semua di bumi ini dapat duduk sama rata, bila semua yang bernafas saat ini adalah tentang sama-sama berdirinya, tak peduli yang melayani ataupun yang dilayani. Seandainya di ruangan ini tak ada yang menahan segala kelu di persendian kaki, seandainya seluruh yang berdegup jantungnya di tempat persegi ini tak ada yang sedang berandai-andai menjadi orang lain. Seandainya semua peran bisa rata bahagia, sama ringan tanpa beban, tentu saya tak akan memaksakan diri menghabiskan waktu menuliskan satu persatu kegundahan saya.

Namun saya tahu, sayangnya itu tak mungkin. Ini yang mereka sebut hidup, tak bisa hanya tentang sama lega sama rasa.

Hanya bertukar-tukar saja. Hari ini mungkin mereka yang menghela nafas, menyeka keringat, menahan tangis. Esoknya, bisa jadi itu cerita tentang saya. Yang meski mungkin untuk alasan berbeda, namun tetap mengalah pada lelah dan menangis diam-diam. Ya, sayangnya, semua hanya jejak yang selalu terlacak sebatas misteri.

Dan seandainya saja saya tahu apa yang menjadi rahasia waktu nanti.. Ah, tentu saja sayangnya tak mungkin.

Jogjakarta, 23 Mei 2010

Wednesday, May 19, 2010

Mengubur Sajak

Menuliskan sebuah nama di atas dinding dengan warna senada.
Tiap goresannya menyisakan bebunyian yang miris mengiris telinga.
Tak terlihat?
Tak tampak?
Tentu saja.

Lalu kamu terus berteriak itu sia-sia,
Sementara aku berkata biarlah teruskan saja.
Ada banyak lengan bergantian memangku jemari dan menyelipkan semburat tinta.

Hingga sore ini saat hujan turun tepat diatas ubun-ubun kepala,
Barisan nada yang terlanjur kulukis mulai meleber tak berbentuk rupa semula.
Ubin menyisakan dingin hingga gerahamku menyatu dan bergemeletak seolah kerikil batu.
Bagaimana dengan kamu?
Juga kedinginan dan merasakan ngilu?
Sayang, kenapa tak ada suara?

Sayang?
Aku meraba, dan hanya bertatap senyap udara.
Oh. Kamu tak ada.
Tapi kemana?
Ingatanku lalu lalang mengejar sisa-sisa pengharapan.
Damn.
Kamu berlari terlalu cepat.
Maksudku, aku berjalan terlalu lambat.
Ya, begitu juga boleh.
Tak penting..

Yang jelas, kurasakan hanya tinggal aku sendiri,
Saat mengubur sajak-sajak yang tanah itu terus tangisi.








Jogjakarta, 18 mei 2010.

Saturday, May 8, 2010

Tentang Dunia Lelaki yang Kutitipi Sepasang Mata di Hatinya

Saat kamu datang di siang itu, bisa kurasakan lengket dan pekatnya kulitmu karena terbakar panas matahari. Meskipun begitu, aku tahu, kamu tak akan suka bila aku menghantar kesejukan dari pergerakan tanganku yang konstan bergerak naik turun di sampingmu, seperti juga halnya kamu tak suka bila aku menyeka keringatmu di depan teman-temanmu. Ya, tentu akan menjadi senjata maut untuk memperolokmu. Itulah kenapa kubiarkan hembusan angin mengitarimu perlahan hingga lalu keringat itu kering dengan sendirinya. Perkecualian bila memang hanya ada kita di sudut sini, sudah pasti kamu akan bergulung di pangkuanku, lalu aku akan memanjakanmu seolah kamu malaikat kecilku yang baru pulang berkeliling sepeda di usiamu puluhan tahun lalu. Perasaan ini memang besar, hingga kadang terlalu sulit untuk kubendung sendirian. Tapi tenanglah, itu tak akan menjadi pembenaran atas sikapku bila nantinya hanya akan membuatmu malu. Memang, sering kali aku merasa butuh berbagi, meski akupun jauh lebih mengerti bahwa aku harus tahu diri. Bukankah waktu dan keinginan tak selalu datang bersamaan? Ah, laki-laki.. kadang memang sulit dimengerti, entah gengsimu yang terlalu tinggi atau memang perasaanku yang sulit aku atasi.

Lihat duniamu lelaki, banyak hal yang sulit aku pahami. Tentang kesenangan yang kamu temukan saat terjaga hingga larut untuk melihat kesebelasan favoritmu berlaga dengan baju merahnya. Untuk teriakan dan decak kagum yang kamu teriakkan saat si kulit bundar itu akhirnya berhasil merobek gawang pertahanan lawan. Well ya, semisal pada saat itu aku menemanimu, sudah pasti adegannya aku sedang menahan diri untuk tidak terlalu sering menguap atau memilih melahap pizza tanpa jeda agar tidak terlalu terlihat mati gaya. Tapi memang begitu adanya dua manusia yang jenis identitasnya tak sama, memiliki keasyikan sendiri dan berbeda-beda. Seperi keasyikan yang tak berhasil kamu temui saat aku betah berlama-lama berselancar di sebuah fashion blog dunia maya. Bagimu itu mungkin entah apa ada manfaatnya, jauh lebih menyenangkan bermain Football Manager yang belum juga membuatmu bosan meski sudah dimainkan sejak kamu duduk di bangku Sekolah Dasar. Hebatnya, tak sekalipun kamu menyatakan keberatan atas segala macam hobi yang aku sukai, meski terkadang masih saja sepasang alis itu berkerut bila urusannya sudah bukan lagi hobi, melainkan pemborosan. Yah, aku pun begitu, sama saja. Bagaimana lantas perbedaan itu akhirnya sanggup hidup berdampingan dan saling membutuhkan, itu dia istimewanya.

Ya, lelaki..perempuan ini lantas terlanjur habis mencintaimu. Dengan cara bicaramu yang jauh berbeda dengan cara bicaraku, dengan cara berpikirmu yang melengkapi kekuranganku, dan tentu saja dengan rengkuhanmu yang selalu mampu menenangkan dan melindungiku. Aih aih, lalu tiba-tiba saja aku sudah bermimpi macam-macam tentang masa depan. Tapi lihat, dunia ini tak selalu indah di setiap sudutnya. Terkadang bahkan kita tak bisa terlalu larut menikmati suasana. Beban itu memaksa kita berlari tanpa henti. Seperti kuda yang tak seharipun libur dan tetap ditarik pedati. Benar, hidup memang terkadang susah, terkadang kejam, terkadang menyakitkan, dan aku tahu kamu tahu itu. Bukankah kamu yang sering kali membuka mataku :)

Di salah satu gang tengah kota kita berpapasan dengan lelaki paruh baya yang menarik gerobak sampahnya. Dan meski banyak bulir keringat menghiasi dahinya, tak sekalipun dia lupa tersenyum pada kita. Lalu kamu selalu membalas kebaikan itu tak hanya padanya, tapi juga pada tukang parkir yang membantu kita menyeberang, pada ibu-ibu penjual donat keliling, pada pengamen di warung seafood. Walaupun di lain waktu tak akan aku menyalahkan emosimu yang terlepas dari kendali, di suatu ketika pengendara lain membuatmu jengkel karena menyerobot jalanmu dengan seenaknya. Jendela mobil kamu buka setengahnya, matamu membelalak dua kali lebih besar dari sebelumnya, namun tajam ucapanmu terhenti dan tak sempat terlontar. Bisa jadi karena tanganku terlanjur menahanmu kencang-kencang atau gejolakmu yang dengan sendirinya tertahan saat sadari tak ada yang lebih baik dari menghindari masalah. Atau masih ingat ketika kamu begitu marah pada seorang lelaki yang bertengkar dengan tukang parkir di jalan utama kota? Aku paham itu karena kamu tak tahan melihat seorang pekerja kecil tersebut masih harus berhadapan dengan kejadian yang merendahkan dan menyesakkan untuknya. Kamu tak tega, kamu ikut terluka, namun cara kita memang berbeda. Bila kamu meledakkannya, aku hanya bisa mengusap punggungmu dan berharap amarah itu masih sanggup diredam. Ya kerana memang begitulah dunia, selalu ada yang tak ingin kita lihat tapi lantas tiba-tiba saja tersaji di depan mata. Ada yang tak ingin kita lakukan, tapi entah kenapa ada banyak hal juga yang membuat kita sanggup untuk berdiskusi dan penuh kompromi.

Aku mencintaimu lelaki, tapi memang tak bisa kupilihkan yang indah-indah saja untuk penglihatanmu atau hanya yang baik-baik saja untuk perasaanmu. Tentu saja itu tak mungkin. Karena itu, kuat dan tegarlah seperti karang, meski terkadang dingin, sepi, dan sakit tak mungkin kamu hindari. Menangislah saat ombak besar menerjang, atau saat angin bertiup berputar cepat. Tak apa. Paling tidak tangismu hanya akan sayup saja terdengar.

Buka matamu lebar-lebar, sayang. Ada banyak keanggunan yang bisa kamu decakkan, bukan hanya tentang panorama tapi juga tentang betapa cantiknya kaum hawa. Aku? Tentu hanyalah debu yang langsung habis dalam sekali tiupan. Tak usah kamu pungkiri lelaki, binar mata itu tak bisa dipaksa sembunyi, saat pesona wanita membuatmu malas untuk berkedip meski sepersekian detik :D Tenang, tak akan menjadi masalah untukku, meski memang terkadang aku masih saja tak bisa lari dari kejaran cemburu. Tapi memang ini yang harus aku hadapi, sepasang mata yang tak mungkin kupaksa terpejam, keindahan lain yang tak mungkin tak melenakan. Itu bukan ancaman, meski bisa dibilang godaan. Dalam hatiku yang paling jujur selalu ada harapan, agar hanya sepasang mata itu yang terpuaskan, namun tidak sepotong hatimu. Hanya padaku hatimu berdenyut manja, hanya padaku ia puas dan bebas bercerita. Jadi tak apa, diam-diam selalu kuselipkan sepasang mata di hatimu. Agar tak hilang arah pandang dan tak lupa pada siapa kamu akan kembali pulang.

Lelaki, aku ini hanya satu partikel kecil dari alam semesta, yang hanya bisa mengikuti dan menghadapi apa saja yang menjadi kehendak dunia. Namun bersamamu, aku tenang..



Jakarta Kota, 9 Mei 2010

Wednesday, May 5, 2010

Mimpi

“Semalam dia datang lagi. Dengan gunting yang saaangat besar di tangan kanannya” Suaranya bergetar, lirih meski tetap dapat terdengar. Kutatap setiap inci tubuh mungilnya, kulit langsatnya terlihat makin pucat, warna putih yang melingkari iris matanya tampak semakin buram. Ya, sepertinya dia memang terlihat kurang sehat. Duduk dengan kedua lutut terlipat, kedua tangannya mendekap erat, punggungnya yang melengkung bergoyang-goyang cepat, ke depan ke belakang ke depan ke belakang, begitu seterusnya. Sementara seperti biasa aku hanya diam, mendengarkan setiap suara yang dia ciptakan.
”Kamu tahu apa yang dia lakukan kali ini?”. tak sempat berpikir lebih lama lagi, dia menghardikku dengan suara yang lebih lantang ”Tahu apa yang dia lakukan???” aku tak kuasa memberi jawaban, hanya menggeleng perlahan.
”Dia menggunting habis rambutku!!” ”Habis.. benar benar habis” gadis itu menangis histeris, rambutnya yang panjang jatuh tersurai burai, menutup hampir keseluruhan wajahnya, oh si cantik yang berantakan.
”Seruni, tenang sayang, tenangkan dirimu” kuusap punggungnya yang terus bergoyang, wajahnya makin terbenam diantara kedua lututnya. Dia terus menangis seolah sedang terluka, oh tidak tidak, yang ini lebih menyedihkan, tangisan itu terdengar seperti tangisan sakit menghadapi kematian. Ya itu baru benar, tangis sakit menghadapi kematian.
”Kulit kepalaku terluka, dia memaksa menggunting rambutku dengan kasar, tuas tuas guntingnya yang besar itu terasa panas, hingga menggores kulit kepalaku sampai melepuh merah dan berdarah”, suaranya terbata-bata. Tetes air matanya yang jatuh menimbulkan bercak basah di lantai, saat dia menganggkat wajahnya, kulihat cairan bening menggenang di bawah hidungnya. Kupeluk dia erat-erat, ”Sabar Seruni, sabar ya.. Cuma mimpi..” Sayang sekali, usahaku untuk menenangkannya ternyata tak membuahkan hasil sedikitpun, dia malah melepaskan dekapanku dengan kasar, emosinya makin meledak ledak.
”Setiap malam dia datang dengan sebelah matanya yang bernanah dan mengeluarkan bau anyir! Semalam dia sudah menggunting habis rambutku, melukai kulit kepalaku hingga berdarah, malam yang lain dia mencabuti kuku jariku hingga aku berteriak dan kehabisan suara, saat yang lain dia mencucuki lubang hidungku dengan garpu panas hingga aku tersedak dan memuntahkan seluruh isi perutku, lalu apa kau ingat saat aku terbangun menangis meminta tolong seminggu yang lalu?? Itu karena dalam mimpiku dia menjatuhkan setrika di punggungku . Kamu bilang itu Cuma???” Cerita apa lagi yang kamu tunggu??? Hingga dia membongkar isi kepalaku, lalu melahap habis jalinan otakku???” Dia makin tak terkendali, tangisnya semakin hebat, aku yakin penghuni dua rumah di sebelah kami bahkan bisa mendengar suaranya. Ah, Seruni, aku sungguh benar-benar mengasihanimu, namun mungkin saat ini lebih baik jika kutinggalkan kamu sendiri.
Kututup pintu kamarnya perlahan ”Tenangkan dirimu sebentar, sayang” . Kurasa aku butuh waktu menghisap tembakauku sebentar, kusadari menghadapinya membuatku menghabiskan nikotin semakin cepat.

Ya, akhir-akhir ini hampir selalu hari-hari kami diwarnai dengan tangisan histerisnya. Dan aku memang tak punya daya apa-apa, selain mendengarkan jeritan di setiap cerita tragisnya. Tak ada yang bisa menghentikan mimpinya sampai sejauh ini, tentang perempuan bermata penuh nanah yang selalu menyiksanya. Obat penenang yang selalu ia tenggak sebelum tidur bahkan tak juga mampu membuat perempuan berbau anyir itu berhenti hadir di mimpi-mimpi Seruni. Dan percayalah, akupun tak pernah berhenti berpikir, apa yang bisa kulakukan untuk membantu kekasihku itu.

***
Kurasakan pundak kananku ditepuk perlahan, jika tak bisa dibilang tenang, berarti wajahnya sudah tampak lumayan datar. Rambutnya di gulung ke atas, hingga aku bisa melihat komposisi sempurna isi wajahnya, alis mata yang alami, matanya yang besar, hidung yang mancung, bibirnya yang tipis dan rahangnya yang kecil. Andai saja tak ada kabut suram yang melingkupi wajahnya, kecantikannya sempurna.
”Kopi?” disodorkannya cangkir hitam itu tepat di depan dadaku, uap panasnya mengepul di udara, bergeliat seolah meregangkan suasana tegang yang baru terjadi. Tentu saja tawaran secangkir kopi itu aku terima dengan suka cita, dengan harapan itu adalah pertanda baik untuk keadaannya sekaligus kelangsungan hubungan kami.
”Terima kasih. Sudah tenang, Seruni?” dia diam sejenak.
”Tergantung dari jawabanmu nanti”
”Maksudmu?” aku mengernyitkan alisku hingga mempetrmukan masing-masing.pangkalnya
” Jawab pertanyaanku, Sunan. Apa kau mencintaiku?” aku tergelak, lalu menjawab cepat.
”Tentu saja, Seruni, kekasihku. Aku mencintaimu”
”Bagaimana aku mempercayainya?”
”Kenapa tidak? Semua yang kukatakan itu benar, sayang”
”Apa buktinya?” Dia menatapku tajam, jauh menembus dalam-dalam mataku.
”Apa tak cukup terlihat serius caraku mencintaimu:
Dia melemparkan pandangannya ke langit, mega mendung membuat sore ini terlihat gelap dan suram.
Dia menjawab perlahan, ”Bukan jawaban seperti itu yang aku inginkan”
Aku benar-benar tak mengehrti lagi bagaimana menghadapi pertanyaannya, hubungan kami sudah cukup lama, berlangsung dalam hitungan tahun tanpa ada sekalipun kata putus meluncur dari mulutku, lalu masih juga dia mempertanyakan pertanyaan semacam itu padaku. Tentu saja aneh bagiku.
”Ah Seruni, jika aku tidak mencintaimu, tentu aku tak akan melamarmu menjadi istriku bukan. Malah seharusnya, aku yang mempertanyakan keseriusanmu, sejak aku melamarmu, belum ada jawaban satupun yang keluar untukku” Nada bicaraku mulai tinggi, secangkir kopi yang belum juga kuminum kuhempaskan keras diatas meja kayu di depan kamar kosnya, hingga permukaan cairan kental itu bergulung keras dan sedikit memuntahkan isinya mengotori meja.
”Kau tahu kenapa aku belum menjawabnya Sunan? Karena begitu ganjil hadirnya mimpi-mimpi yang mengerikan itu disetiap tidurku. Perempuan yang sama, dengan perlakuan yang selalu sama sadisnya”
”Aku tahu Seruni, itu pasti berat untuk kau hadapi setiap hari. Tapi lalu apakah itu menjadi salahku? Memangnya itu mauku setiap malam kamu bermimpi begitu” aku coba meredam emosiku, permasalahan mimpi ini memang sudah menjadi topik yang terlalu rutin aku hadapi, nyaris terbiasa rasanya. Namunrupanya kali ini jawabannya mengejutkanku,
”Tentu saja salahmu”. Dia berkata tegas hingga aku terhenyak sesaat.
”Apanya yang salahku?”
”Salahmu tidak sekalipun muncul dalam mimpiku, tak sekalipun kamu hadir saat perempuan bermata penuh nanah itu menyakitiku. Setidaknya seharusnya kamu muncul untuk menyelamatkanku, tapi bahkan numpang lewat di mimpiku pun kamu tidak, Sunan” Seperti dihujam panah jantungku mendengarnya. Kesalahanku adalah karena aku tidak hadir dalam mimpinya. Oh non sense, dimana letak logikanya.
”Dengar Sunan, bila kau memang benar mencintaiku, memikirkanku setiap hari, dan begitu juga aku yang selalu merasa sudah mencintaimu dengan sepenuh hati. Sangat ganjil rasanya bila, tak ada kamu dalam mimpiku. Kamu tahukan, aku bermimpi setiap hari, dan mestinya setidaknya tersisip kamu di situ. Tapi mana? Tak ada Sunan, tak ada. Jadi aku rasa, aku membutuhkan kehadiranmu untuk menyelamatkanku dalam mimpi. Ya, aku membutuhkanmu, untuk menjawab pertanda di mimpi-mimpiku” Suaranya terdengar tenang, seperti ombak saat surut dia bahkan tak menampakkan nada nada tinggi.
”Menurutmu, mimpi-mimpimu itu pertanda buruk akan hubungan kita?”
”Bisa jadi” Ujarnya pendek.
”Lalu sampai kapan aku harus menunggumu mendapat jawaban dari pertanda di mimpimu”
”Sampai aku melihat kehadiranmu di mimpiku”
”Ah, Seruni, yang benar saja..” aku sungguh belum bisa mencerna penjelasannya.
”Benar. Aku bersungguh-sungguh Sunan. Hanya jika aku melihat kehadiranmu di mimpiku. ” Dia tersenyum sebentar, sekarang keadaan seolah berbalik, giliran aku yang tidak tenang. Diam diam aku sepakat dengan keganjilan yang Seruni rasakan, kenapa aku tak sekalipun hadir di mimpinya. Apa memang karena dia tak mencintaiku. Ah, damn, aku tak suka saat gundah seperti ini.
”Sunan?” panggilan Seruni mengagetkanku.
”Ya?”
”Sekarang kamu pulang lah saja dulu. Aku ingin istirahat. Mimpi-mimpi itu terlalu melelahkanku” Tanpa menunggu jawabanku dia menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Lalu persis seperti adegan film India, aku pulang saat hujan deras mengguyur lapisan bumi. Di sepanjang perjalanan pulang, badanku terasa ngilu dan kaku.

***

Langit-langit kamarku yang berwarna biru muda itu seolah berganti menjadi arsir tegas abu-abu tua yang berantakan. Poster Jon bon jovi dengan bandana merahnya seperti menertawakan keterpurukanku yang belum juga menjumpai solusi dari masalahku. Oh Tuhan, bagaimana ini. Bagaimana mungkin bisa aku memilih mimpiku sendiri, apa lagi menentukan di mimpi siapa aku akan hadir. Memangnya bisa... Memikirkan ini seolah membuatku kehilangan kewarasanku.

Namun sudah kuputuskan, akan kucoba bermimpi tentang seruni. Yang penting bertemu dia, syukur-syukur bila bisa bertemu saat dia sedang dicelakai oleh si monster perempuan sial itu. Setidaknya begitulah strategiku. Siapa tahu saat aku bermimpi itu, Serunipun sedang memimpikan hal yang sama, lalu kami akan bertemu. Aku merasa sangat menyedihkan dengan berpikir sedangkal itu, namun apa boleh buat, aku sungguh tak mampu berpikir lebih baik dari itu. Aku makin gelisah, boro-boro bermimpi, tidurpun mata ini sulit sekali terpejam. Posisi tidur macam apapun seolah salah, terlentang salah, telungkup salah, miring kanan salah, miring kiri juga salah. Memang belum bisa masuk nalarku, bila nasib masa depan kisah asmaraku ditentukan oleh mimpi. Tapi ya apa boleh buat.

”Tok tok tok” Sial, belum juga bisa tidur pintu kamar kosku diketuk keras dan cepat, kupejamkan mataku rapat-rapat, berharap seseorang di balik daun pintu itu pergi bila aku menghiraukannya. Arrrgh, ingin marah rasanya. Bukannya menghentikan ketukannya, suara itu malahan semakin cepat dan keras. ”TOK TOK TOK!”
Tak ada pilihan, harus kutemui si pengetuk pintu itu sebelum usahaku bermimpi menjadi semakin berantakan. Dengan gusar aku berjalan ke arah depan kamar dan membuka pintu dengan terpaksa. Ya Tuhan, gadis itu!
”Seruni???? Apa yang kau lakukan disini??? Malam-malam begini???” Aku sungguh terkejut melihat kehadirannya, malam itu dia tampak berantakan, jauh lebih berantakan dari sebelumnya. Bajunya tampak dekil, rambutnyaaaa.. rambutnya terpangkas tidak rata, sebelah bagian malah sudah tampak pitak. Oh Tuhan, bukankah ini seperti yang Seruni ceritakan di mimpinya. Aku bergidik. Wajahnya sungguh pucat, bibirnya ungu. Matanya merah. Kugenggam tangannya, tangannya dingin seperti es. Aku tiba-tiba merasa ketakutan dan hancur.
”Seruni!! Apa yang terjadi??? Katakan Seruni!!” dia hanya menggeleng keras-keras. Tak sepatah katapun dia keluarkan, hanya berulang kali menoleh ke belakang, lalu menangis tanpa suara. Aku masih tak mengerti, ada apa lagi ini.
”Ada apa Seruni??? Aku masih tidak mengerti!!” tak ada satupun jawaban yang dia berikan. Seruni malah melepaskan genggamanku dengan paksa, lalu berlari tergesa-gesa.
”Seruni, tunggu Seruni.” Tanpa sedikitpun menghiraukan perkataanku, Seruni berlari melesat, melewati pagar rumah kost-ku dengan kakinya yang tak terbalut alas kaki. Aku mengejarnya, namun semuanya terjadi terlampau cepat, tahu-tahu sudah kulihat Seruni berlari tertatih diujung tikungan jalan. Lalu hilang, tak kutemukan lagi Seruni.

Rasanya dadaku penuh amarah. Marah pada kakiku yang tak bisa berlari lebih kencang dari yang aku mampu, aku ingin marah pada Seruni yang tidak sedikitpun memberi sandi atas kejadian apa yang menimpanya dan membuatku khawatir, aku juga ingin marah pada keanehan demi keanehan yang terjadi pada hidupku. Kepalaku berdenyut-denyut, sakit sekali, hingga aku harus memeganginya dengan kedua tanganku. Lama-lama kudengar suara tangis yang lembut namun menyayat hati. Aku segera tersadar, itu suara Seruni.

Kuedarkan pandanganku di sepanajang jalan, betapa sepinya, tak tampak satupun kendaraan bahkan juga manusia. Sungguh tak biasanya. Aku masih mendengar tangisan Seruni, makin sedih, makin menyayat, sungguh tak tega aku mendengarnya. Tapi tak kulihat sedikitpun tanda-tanda kehadirannya, aku nyaris putus asa, saat berjalan tak tentu arah. Namun suara itangis Seruni semakin lama semakin keras, hingga aku yakin aku sudah berada di arah yang benar, di tempat asing yang bahkan belum pernah kukunjungi. Jerit tangis yang pilu itu membimbingku, aku terus berlari hingga tak peduli ke mana arah tujuanku, tak peduli pula pada telapak kakiku yang mulai lecet dan berair, aku terus berlari.

Hingga tertegun saat suara tangis seruni terdengar makin menyedihkan, jeritan itu memanggil namaku ”Sunaaaannn”. Ya. Aku mendengarnya, aku mendengarnya, dia menyebut namaku. Untuk pertama kalinya aku merasakan sakit yang luar biasa dari air mataku, aku berlari hingga kurasakan tak hanya keringat yang membanjiri tubuhku, namun juga cairan bening yang tak berhenti keluar dari lubang hidungku. Aku tak peduli pada kondisi tubuhku yang mulai limbung, yang kutahu hanya berlari secepat mungkin hingga menemukan Seruni. Aku begitu mengkhawatirkannya.

Sayang, langkahku terpaksa terhenti tiba-tiba, kabut di depanku menghalangi pandanganku. Aku tak mampu berlari bila melihatpun sulit sekali. Aku hanya berjalan perlahan sambil membiarkan tanganku meraba, kosong tak ada apa-apa. Pandanganku mulai sedikit jernih meski malam tetap temaram dan suara tangis Seruni terdengar semakin nyata. Kabut tebal itu perlahan mulai turun, berganti bau anyir busuk yang menusuk hidung. Tak kuasa, kututupi juga akhirnya hidungku. Bau ini, seperti bau nanah yang membusuk.

Mulutku menganga lebar, pemandangan di depanku membuatku gentar. Bau busuk itu.. Bau busuk itu ternyata berasal dari wanita di hadapanku. Wanita ini yang sering dibicarakan Seruni, wanita yang sebelah matanya bernanah dan mengeluarkan bau busuk. Kukunya panjang hitam dan mengenakan gaun putih panjang, yang lebih mengerikan, dibalik rambutnya tersibak ulat yang menggeliat-geliat. Memang mengerikan dan membuatku kehilangan sedikit keberanian.
”Siapa kamu sebenarnya?” aku menghardiknya dengan sisa-sisa keberanian yang kukumpulkan. Namun perempuan itu malah tertawa dengan lengkingan yang membuat telingaku berdengung kesakitan.
”Dimana Seruni?”
”Ahahahaaa!!” Tatapannya seolah menyepelekanku, lagi-lagi dia tertawa dengan lengkingannya yang tajam. ”Kamu mencari Seruni?” bau busuk yang keluar dari nanah di matanya semakin menjadi-jadi, rasanya aku ingin muntah.
”Ya, cepat lah katakan Perempuan busuk. Dimana Seruni?”
Belum sempat dia menjawab aku mendengar suara Seruni merintih memanggilku, ”Sunan....”
Aku mendekati tempat perempuan itu berdiri, lalu betapa terkejutnya aku. Ternyata tempatnya berdiri adalah ujung jurang yang terjal dan curam. Dan lebih mengagetkanku lagi, saat menemukan Seruni yang sedang bergelayut di ujung pijakan jurang. Seruni hampir terjatuh!
”Seruniiii.. bertahanlah” teriakku. Tampak olehku jari-jari mungil Seruni bertahan diantara ujung jurang, separuhnya lecet oleh pijakan perempuan busuk yang sengaja berdiri di atas tangan Seruni. Oh Seruni, kasihan sekali kekasihku itu, akan kuselamatkan, meski harus mengorbankan diriku.

Kuhantam perempuan itu dengan pukulanku sekuat tenaga, namun entah kenapa dia bisa menahannya dengan mudah. Lalu seolah ringan tubuh ini tak sebanding dengan kekuatannya, dia mendorongku dengan sekali hentakan jarinya. Sesaat kudengar teriakan Seruni, ”Sunan, awassss!”. Namun terlambat, aku terpelanting begitu saja. Sempat kulihat dasar jurang yang berbatu-batu, ku pikir aku akan mati hancur terbentur karang. Namun beruntung, jari-jari tanganku masih sanggup menggapai pijakan di sisi-sisi Jurang.

”Maafkan aku Seruni” hanya itu yang bisa aku katakan, sekarang posisi kami sama saja, aku tak lebih baik, aku bahkan berada lebih jauh dari landasan tanah. Sementara seruni makin mengaduh karena perempuan busuk itu masih terus berdiri sambil menginjak tangan Seruni. Aku khawatir Seruni kehabisan tenaga, terlalu kesakitan hingga melepaskan genggamannya pada pijakan. Bertahanlah Seruni, aku terus berdoa dalam hati.

Dari bawah sini, ku amati perempuan yang matanya bernanah itu, sebelah mata yang sehat itu mengingatkanku pada seseorang, lalu bentuk lekuk bibirnya yang hitam tiba-tiba mulai memucat, berubah warna. Pipinya yang banjir nanah perlahan tersingkap bersih. Rambutnya yang panjang tak lagi menampakkan ulat-ulat menjijikkan. Sosok itu benar-benar mengingatkanku pada seseorang. Ya, perempuan itu..

”Seruniiii..apa kamu mendengarku??” teriakku dengan suaraku yang hampir habis. Kurasakan cengkeramanku pada batu yang menahanku semakin lemah.
”Sunan..” Suaranya semakin lirih, sebelah genggamannya sudah terlepas. Kudengar perempuan berbau busuk itu tertawa semakin keras.
”Seruni, kamu harus bertahan Seruni. Ini harus kamu hadapi sendiri. Perempuan yang berdiri di atasmu itu, yang menginjak jari-jarimu, dia adalah dirimu sendiri. Perhatikan baik-baik Seruni, wajahnya tanpa nanah, bibirnya bila tak hitam, rambut itu bila tak berantakan. Kesemuanya itu adalah kamu, Seruni!!!” aku hanya mendengar Seruni menangis tersedu-sedu, suaranya makin pilu.
”Seruni, sadari itu Seruni! Perempuan yang menghantuimu itu adalah dirimu sendiri, ketakutanku, kesalahanmu, kegagalanmu di masa lalu, itu adalah tentangmu sendiri. Jadi hadapilah itu sendiri Seruni. Jangan hindari”. Sesaat setelah aku meneriakkan ucapanku, kurasakan genggaman kedua tanganku semakin sulit bertahan, aku tak lagi memiliki daya, aku semakin lemah, lalu menyerah. Kulepaskan genggamanku, kurasakan ringan tubuhku terhempas lepas hingga ke dasar. Lalu dari kejauhan kulihat bayangan perempuan itu semakin jelas, ada dua Seruni di atas permukaan itu. Sementara kurasakan tubuhku terhempas bebas, lepas. Sempat pula kurasakan dingin angin memelukku mulai dari tengkuk hingga ujung jemari. Saat itu pula tangis Seruni semakin hebat, kudengar dia menyebut namaku sesaat sebelum gaungnya perlahan benar-benar hilang.

***

Kutepuk-tepuk lembutnya pipinya, kuseka bulir-bulir keringat yang mengalir di kening dan di pangkal rambutnya.
”Seruni, bangun Seruni.. Kamu pasti bermimpi buruk lagi”
Perempuan itu tergagap, tampak terkejut dan panik ketakutan. Diraihnya pipiku cepat.
”Sunan kau sudah ada disini. ” Tentu saja dia terkejut menyadari kehadiranku yang tiba-tiba ada di ruangannya.
”Ya, aku mengkhawatirkanmu, sejak tadi aku menelponmu tapi tak ada jawaban”
”Aku bermimpi buruk lagi”
”Sudah kuduga. Mungkin sebaiknya kamu tidak usah terlalu sering tidur haha” Aku mencoba berkelakar.
”Tapi kali ini ada kamu di mimpiku Sunan” dia tetap serius, tidak sedikitpun tertawa
”Oh ya? Apa aku menyelamatkanmu?”
”Tidak persis begitu”
”Ah sayang sekali” Aku kecewa dengan jawabannya. Kulepaskan tangannya dari pipiku.
”Tapi kamu mengatakan sesuatu”.
”Apa itu?”
”Bahwa aku harus menghadapi mimpiku dan mengatasi ketakutanku”
”Oh ya? Jadi apa kau sepakat?”
Dia mengangguk perlahan, lalu mlai beringsut dari tempat tidurnya. Diraihnya coffe mix yang terbungkus rapi dalam wadah di atas meja.
”Kopi?” dia bertanya membelakangiku yang ada di balik punggungnya.
”Tidak”
”Sunan?”
”Ya?”
”Aku rasa aku mau menikah denganmu”
”Hah?? Apa kau serius?”
”Ya. Akan aku hadapi” Ujarnya ringan masih membelakangiku. Ah, aku tak peduli hendak menghadap mana wajahnya ketika Seruni mengucapkan itu. Harapanku hanya satu, semoga ini bukan mimpi. Kucubit lengan kiriku, sakit.

Jogjakarta, 5 Mei 2010