Wednesday, March 24, 2010

Waduk Sermo Membentang di Barat Jogja

Sudah pernah mengunjungi Waduk Sermo saat berlibur ke Jogja? Entah kenapa sejak diresmikan oleh Presiden Soeharto di tahun 1996, saya yang sudah puluhan tahun tinggal di Jogja malah baru beberapa waktu yang lalu mengunjungi tempat ini. Padahal lokasinya tidak terlalu jauh dari pusat kota Jogja, Waduk Sermo ini terletak kurang lebih 7 km di sebelah barat kota Wates atau 36 km di arah barat kota Yogyakarta. Saya rasa, bisa jadi memang kurangnya promosi dan informasi yang menyebabkan ketidakpopuleran lokasi wisata yang satu ini.


Waduk Sermo ini merupakan satu-satunya waduk yang berada di kabupaten Kulon Progo. Terbuat dari hasil membendung sungai yang mengalir di pegunungan Menoreh, fungsi utama dari waduk ini adalah sebagai penampung air yang disalurkan PDAM untuk air bersih, irigasi atau pengairan, serta untuk mencegah banjir. Namun pemandangannya yang indah dengan yang view pegunungan menoreh yang menjulang hijau dengan hutan-hutannya yang membentang, sangatlah sayang bila tempat wisata ini hanya sekedar menjalankan peran pengairannya namun lalu dilewatkan begitu saja.

Informasi yang saya ambil dari sumber sana sini, bendungan yang menghubungkan dua bukit ini berukuran lebar atas 8 meter, lebar bawah 250 meter, panjang 190 meter dan tinggi bendungan 56 meter. Waduk ini juga dapat menampung air 25 juta meter kubik dengan genangan seluas 157 hektar. Wow!! luas sekali ya:D Air hijaunya jadi terlihat seperti hamparan agar-agar raksasa yang dipagari oleh pohon pohon hijau. Kalau ingin berkeliling menelusuri waduk sambil memanjakan diri bersama angin yang bertiup sepoi-sepoi, mudah saja, tinggal memanfaatkan jasa persewaan perahu yang akan berkeliling selama 30 menit. Dan itupun hanya memakan biaya 5000 rupiah per orang. Jogjaaa jogjaaa.. Bahkan soal biayapun sangat-sangat ramah bukan :) This is one of the reason why i do love this city so much. Yay!

Selayaknya tempat yang tidak terlalu populer (maksudnya tidak sepopuler tempat wisata lain yang ada di Jogja) waduk ini tidak terlalu ramai oleh pengunjung. Hanya nampak beberapa aktivitas berwisata seperti sekumpulan anak muda yang memancing atau nongkrong. Sayangnya, berulang kali permasalahan akan kesadaran untuk menjaga lingkungan masih saja kurang. Sedih sekali bila melihat ada yang memancing, nongkrong, ngerumpi atau apapun namanya sembari ngemil kacang yang kulitnya tersebar begitu saja di tanah. Memang sih sampah organik, tapi kan tetap saja mengotori sekitar tempat wisata yang indah ini.

Menurut saya, amat lah sayang bila tempat wisata yang potensial ini tidak dioptimalkan fungsinya. Apalagi mengingat biaya pembangunannya yang memakan dana Rp 22 miliar dan dibutuhkan waktu penyelesaian yang tidak sebentar, dua tahun delapan bulan, sejak 1 Maret 1994 hingga Oktober 1996. Bukan hanya itu, untuk pembangunan waduk ini, Pemda Kulon Progo pun harus memindahkan 107 KK untuk ditransmigrasikan ke Tak Toi Bengkulu dan tujuh kepala keluarga ditransmigrasikan ke PIR kelapa sawit Riau. Membayangkan betapa banyaknya pengorbanan masyarakat kulon progo yang merelakan lahannya, sepatutnya kita yang sudah sangat termudahkan akses berwisatanya menghormati tempat ini dan lebih bijaksana dalam bersikap. Yang paling sederhana saja, tidak membuang sampah disembarang tempat :)


Nothing more can say, Just come and see. Let's have some fun. Enjoy :)


Jogjakarta, 25 Maret 2010

Monday, March 22, 2010

Camar yang Tersedu

Keringat di wajahnya seperti titik-titik yang berbaris di pangkal dahi. Kuseka buliran itu dengan punggung tanganku, lalu sesaat kucium belakang lehernya, menelusuri kembali tubuhnya. Seperti biasa kubenamkan wajahku di sela-sela ketiaknya, tempat persembunyian paling aman dan nyaman yang pernah kurasakan. Hmmm.. aroma khas citrus dari parfumnya sempurna berbaur dengan lembab keringatnya. Aneh, mau cuaca dingin, mau dalam ruangan AC tetap saja dia berkeringat. Satu lagi kebiasaannya, seingatku tak pernah sekalipun dia terbangun lebih dulu dariku, pun tidak saat ini.

***

”Camar, permainan apa lagi yang kamu punya untukku hari ini?” Tanpa menunggu izin dariku lagi, sudah dihempaskan tubuh tegapnya di kursi malas depan televisi, tangan kanannya sibuk mencari saluran yang hanya menyiarkan berita petang ini. Aku duduk di sampingnya, kuamati wajahnya. Sepasang mata miliknya tampak bergelayut sayu, mungkin terlalu letih, mungkin terlalu sedih, mungkin juga terlalu sepi. Berat dugaanku, kemungkinan terakhirlah yang menjadi sebabnya.
”Mari kita bermain dengan undian yang sudah kusiapkan. Aturannya masih sama kalau jawabanmu benar kau dapatkan hadiahnya, tapi kalau salah, maka aku yang akan dapat hadiahnya darimu”, seketika aku menyulutkan semangat. Di kedua tanganku dua mangkuk kaca yang kubawa kugoyang-goyangkannya hingga bergelonjotan kertas yang kugulung kecil-kecil di dalamnya. Dia mengalihkan pandangannya dari layar datar itu ke dalam wadah di tanganku.
”Gimana?”.
”Tentu saja setuju. Yang mana yang berisi hadiah?”
Aku menyodorkan mangkuk di sebelah kananku, dia mengambil satu gulungan kecil di dalamnya. ”Akan kubaca nanti biar seru. Lalu beri aku pertanyaannya” diraihnya secarik kertas dari mangkuk di tangan kiriku. Dibukanya cepat-cepat, alisnya berkerut hingga pangkalnya hampir menyambung. Diperlihatkannya kertas itu padaku. Terbaca tulisan tanganku disitu ”BLACK THURSDAY”. Aku tersenyum, menganggukkan kepalaku.
”Katakan, apa yang kamu ketahui tentang peristiwa itu, sayang” ujarku ringan sambil melipatkan lengan kemeja panjangnya hingga sebatas siku. Kurasakan ia sempat menghirup wangi segar rambutku saat wajahku merapat dekat di dadanya.
”Ah, Camar. Yang benar saja, ini terlalu mudah” Ujarnya sambil tertawa ringan. Uh, sombong sekali, dumalku dalam hati.
”Sudahlah.. jawab saja” wajahku cemberut, pura-pura merajuk.
”Ok, itu terjadi di tahun...” dia tampak berpikir sebentar, ”1929” lanjutnya, ”sebuah peristiwa kehancuran bursa terbesar dalam sejarah Amerika yang menandai era depresi besar. Lima hari yang diawali pada hari kamis dan diakhiri di hari selasa saat harga saham mencapai titik terendah yang mengakibatkan kepanikan dimana semua orang menjual saham yang dimilikinya. Peristiwa itu lantas dikenal dengan nama Black Thursday dan Black Tuesday. Bagaimana?” dia tampak puas, senyumnya terkembang di wajahnya. Sementara aku cukup kecewa karena permainanku terselesaikan tanpa kesulitan yang berarti.
“Ya ya ya, tentu saja kamu boleh mendapatkan hadiahmu”. Wajahnya seketika sumringah, kali ini dibukanya gulungan lain yang tertinggal di tangan kirinya,
“Hahaha. Cepatlah, buatkan untukku. My favorite!!”, dia tertawa lebar, suaranya meninggi. Dikembalikan kertas kecil itu ditanganku, terbaca olehku “AYAM GORENG MENTEGA, CAP CAY SEA FOOD, SIRUP LECI” Sudah kuduga, reaksinya akan begitu, aku tau itu kesukaannya. Aku tersenyum senang.
“Hahahaha kelaparan rupanya kamu. Tunggu sebentar ya” aku mengusap rambutnya sesaat sebelum melangkah ke arah dapur..

Kubuka pintu lemari pendingin, di dalamnya sudah sengaja kusediakan bahan-bahan masakan yang dibutuhkan. Terasa suhu dingin meniupi permukaan tubuhku yang berhadapan dengan benda persegi itu, saat tiba-tiba kurasakan sepasang tangan kokohnya mendekapku dari belakang. Kubiarkan saja dia begitu, tak kubalikkan wajahku. Sementara dia terus merapatkan pelukannya.
”Malam ini aku tak ingin pulang. Bolehkah?” dia membisikkan permintaannya persis di telingaku, entah apa sebabnya, namun itu membuat bulu romaku berdiri.
”Kenapa begitu? Bukankah permainan kita sebentar lagi akan selesai.”
”Tidakkah kau ingin mendengar ceritaku tentang usaha Roosevelt saat memulihkan depresi besar di Amerika itu terjadi?”
”Nanti kau bisa menceritakannya sambil makan malam” masih belum juga kupalingkan wajahku, terlalu berdebar-debar rasanya jantungku.
”Apa kau masih punya pertanyaan lagi di wadah undianmu?” ucapnya lirih sambil menghirup udara dari telingaku.
”Ya, masih banyak.” aku semakin tak berdaya, suaraku nyaris tak terdengar.
”Kalau begitu akan kumainkan semuanya malam ini, bolehkan? Aku mohon..” Aku tetap tak berani memutar wajahku, saat aku menyerah dan memutuskan untuk menganggukkan kepalaku.

Malam itu dia mendapatkan semua hadiah yang kutuliskan di gulungan kertas kecil itu, semua pertanyaan bisa dijawabnya. Mungkin aku yang salah, pertanyaanku terlalu mudah. Namun permainan itu terlalu meriah untuk kami berdua, terlalu seru untuk kami hentikan, hingga lupa waktu. Perlahan aku melihat matanya berbinar, sorot sepi itu meredup. Tak dihiraukan ponselnya yang berulang kali berbunyi, tak satupun panggilan itu dijawab. Saat terbangun keesokan paginya, untuk pertama kalinya kudapati sebelah tangannya melingkar di pinggangku. Tangan hangat milik Raja.

***

Akhirnya dia terbangun juga, sembari mengerjap-ngerjapkan mata seolah takjub melihatku yang ada disampingnya. Oh apa kau hilang ingatan sayang, tak ada ciuman yang kau daratkan di keningku seperti biasanya. Dia melihat ke arah jam dinding kamarku lalu memastikannya lagi dengan meraih jam tangannya yang tergeletak di atas meja samping kanan tempat tidur. Tak ada satupun kata yang dia ucapkan padaku, dan itu sama saja dengan mengasingkanku. Tak ada obrolan hangat pagi hari kami seperti biasanya, sebaliknya dia beranjak dari tempat tidur dengan cepat, kudengar ia memercikkan air dari dalam kamar mandi lalu keluar dengan wajah setengah kering. Aku sengaja membalikkan badanku, agar dia tak melihat wajah anehku yang keheranan.
"Aku pulang ya.." kata-katanya mengagetkanku, aku mencubit lenganku. Aw... Sakit, aku tidak sedang bermimpi. Ini ganjil, dia aneh. Kupaksa tubuhku berbalik menghadapinya, "makanlah dulu, Raja, aku sudah menyiapkannya untukmu"
"Baiklah, tapi aku tak bisa lama-lama ya"

Aku mengikutinya dari belakang, Raja melangkah ke meja makan dengan langkah seperti robot, berat dan menyeret. Entah ada apa.

Dia tampak terburu-buru menelan roti bakar yang kubuatkan untuk sarapannya. Koran pagi yang kusiapkan hari ini bahkan hanya diliriknya. Oh demi Tuhan, maafkan aku, tapi itu menggangguku. Tak biasanya dia begini.
”Ada apa, Raja? Akhir-akhir ini kamu selalu terburu-buru? Sepertinya tidak tenang” tak tahan juga untuk tak menanyakan ini padanya.
”Tak ada apa-apa” dia seperti tersadar dari ketergesaannya, sesaat diperlambat kecepatannya mengunyah.
”Tapi semalam tidurmu tak tenang. Kamu mengigau.”
”Oh ya? Apa kataku?” Raja tampak terkejut.
”Umm tak jelas juga, hanya menggumam, demi Tuhan, demi Tuhan. Begitu terus berulang-ulang”. Raja seolah tak bereaksi, hanya kemudian mulai membuka koran yang sejak tadi dibiarkannya tergeletak begitu saja. Namun entah kenapa sorot sepi itu muncul lagi, menembus hingga mampu kurasakan dari balik lembaran korannya.
”Raja, aku mohon. Bicaralah. Ada apa denganmu?”
Aku mendengarnya menarik nafas berat, diturunkan bentangan surat kabar hingga aku bisa melihat wajahnya kembali. Betapa terkejutnya aku, aku melihat Raja dengan banyak sorot kesedihan, matanya sayu, wajahnya kuyu, aku kehilangan binar matanya yang selalu kurawat seperti bayi. Sudah lama tak kulihat sendu yang meluap seperti itu di wajahnya.
”Aku mencintaimu, Camar” tiba-tiba dia menangis tersedu-sedu, memecah keheningan. Dibenamkan wajahnya pada kedua telapak tangannya. Aku luar biasa sedih melihatnya, kuusap punggungnya berulang kali.
”Ya aku tahu, Raja. Akupun mencintaimu lebih dari siapapun”
Seolah sedang mengumpulkan kekuatan, ditariknya nafas dalam-dalam, terdengar berat, ”Sayangnya, aku tidak begitu, Camar. Bukan kamu yang paling aku cintai” ujarnya lirih. Jantungku seperti terhunus saat mendengarnya. Aku tak mengerti, apa maksudnya.
”Ada apa raja? Apa ini karena hubungan kita yang sudah tak seantusias dulu, apa karena manisnya gula-gula sudah habis terhisap. Raja, aku bisa menyiapkan permainan-permainan yang menarik seperti dulu, kalau kau mau” Oh, menghibalah, perempuan. Hanya ini yang aku takutkan akan terjadi. Kutundukkan kepalaku sama rata dengan meja bulat tempat biasa kami berkeluh dan berkesah. Ngilu yang menyekap kepalaku membuatku tak sanggup mengangkat kepala.
”Camar.. tentu saja bukan itu masalahnya. Aku berhenti mencintai siapapun selain kamu untuk menjadi pendampingku”
”Lalu apa Raja?” Suaraku melemah, aku mulai putus asa.
”Bintang...” Kata-katanya menggantung, suaranya bergetar. Kedua mata itu semakin meredup, binar itu benar-benar padam. Aku mulai meraba gelap dalam jiwanya. Kucoba meredakan emosiku yang seperti letupan gunung berapi.
”Aku mengerti, Raja. Tapi tak ada satupun yang mampu memisahkan ikatan ayah dan anaknya.”
”Tentu kau tak akan mengerti, Camar” dia mendesah pelan.
” Tenangkan dirimu, Raja. Tak akan ada yang bisa membuatmu berhenti mencintai Bintang, bahkan tidak juga aku. Kamu tak perlu bercerai, kamu tetap akan menjadi ayahnya yang sah”
”Tidak sesederhana itu!” Suaranya setengah teriak. Dia menutupi wajahnya yang merah dengan kedua tangannya. Aku benar-benar terperanjat, baru kali ini aku melihatnya begitu. Ya, sebelah hatiku yang terlanjur memar ini semakin berdenyut nyeri.
”Dengar Camar, ayahku itu berpoligami. Aku tahu bagaimana terlukanya menjadi Bintang!!” Suaranya menggelegar. Sakit yang bertubi-tubi menghunusku membungkam mulutku. Aku tak bisa menangis lagi, hanya pahit diseputar tenggorokan yang kurasakan ingin kumuntahkan.

Ponselnya berdering, nyaringnya sumbang ditelingaku. Tak biasanya Raja begitu bergegas menjawab panggilannya. Sesaat dia melangkah menjauh dariku, wajahnya tampak cemas, beberapa kali dia mengusap wajahnya dengan tangan kanannya. Sayup- sayup kudengar nama Bintang disebut berulang kali setelah nama sebuah Rumah Sakit di kota ini. Selebihnya pembicaraan itu terdengar seperti suara serangga yang berdenging menyakitkan.

Binar itu benar-benar padam, sorot kesepian menguasai setiap celah di wajahnya, matanya semakin sayu, seolah kesedihan terlampau berat menggelayutinya. Tatapannya membuat mataku semakin nanar. Untuk terakhir kalinya dia menggenggam tanganku, kurasakan dingin yang luar biasa menjalar hingga menyengat syaraf di kepalaku. ”Camar, maafkan aku. Aku benar-benar harus pergi. Bintang membutuhkanku”.

Seolah melepas kematian suami, aku benar-benar dirundung duka. Namun tak ada air lagi air mata, sepertinya kelenjarku bahkan tak mampu lagi bekerja, aku benar-benar tak berdaya. Hanya lambungku yang mengirimkan asam hingga sampai di kerongkongan, aku ingin muntah. Sekujur tubuhku terasa dingin namun aku berkeringat. Kesedihan ini menghanyutkanku hingga aku ketakutan. Aku mengingat-ingat kalender reproduksiku dengan jantung yang berdentum keras. Tolong cukupkan Tuhan, jangan buat kemalanganku bertambah runyam.

Jogjakarta, 22 Maret 2010

Monday, March 15, 2010

Makam Seniman Giri Sapto

Beberapa orang mungkin sangat menghindari topik kematian. Mengerikan tentu saja. Bayangan tentang pemakanan yang akan dipenuhi dengan nuansa kesedihan, kesendirian, belum lagi tentang alam lain yang akan kita kunjungi dengan penuh misteri, seolah menjadi momok yang sebaiknya tidak dibicarakan.


Namun bagi seniman mungkin akan berbeda, mereka yang terbiasa membebaskan cara berpikirnya, terbiasa mewujudkan impiannya dalam sebuah konsep nyata, ternyata benar-benar menghayatinya hingga di liang lahat.


Lihat bagaimana indahnya Makam Seniman Giri Sapto yang ada di Imogiri, Jogjakarta. Jauh dari kesan angker. Dikelilingi pepohonan rindang yang tertata apik, dengan ukiran-ukiran terpahat di patung-patung dan arca yang tersebar di tempat-tertentu, belum lagi sebuah tangga panjang menjuntai yang saya namai sendiri "way to heaven", benar-benar suasana yang malahan eksotis untuk dikunjungi. Berseberangan dengan hamparan hutan kayu putih, tempat ini bisa jadi alternatif pilihan bila ingin melihat pemandangan alam yang indah dan objek wisata yang unik. Sedikit saja pesan saya, bila kita selalu mengagumi karya-karya cipta dan dedikasi mereka, sudah selayaknyalah juga kita turut menjaga dan tidak mengotori tempat peristirahatannya sebagai bentuk penghormatan terhadap pengabdian mereka semasa hidup.


Bagi saya pribadi adalah sebuah keindahan yang luar biasa ketika mereka yang dalam hidupnya di dunia memuja pada kesenian, lalu akhir hayatnya diabadikan dalam sebuah persemayaman yang sangat artistik. Dirumah terakhir inilah para seniman dan budayawan besar seperti L. Manik, Sapto Hoedojo, menasbihkan kecintaan mereka pada dunia seni.


Jogjakarta, 15 Maret 1010

Sebuah Alasan

Saya sedih, ketika kamu bertanya kenapa dan saya tidak bisa menjawab. Dan saat kamu terus mengulang pertanyaan yang sama, rasanya saya hanya ingin menutup telinga rapat-rapat lalu berlari cepat-cepat. Bukan tak menghargai pertanyaanmu, tapi karena memang harus saya akui, saya tak mampu lagi berpikir yang lebih baik dari sekenanya.

Saya paham, bahwa sesuatu pasti hadir untuk sebuah misi dan tujuan. Mungkin tidak bisa kita mengerti sekarang, tapi nanti setelah itu berakhir, setelah berganti cerita, baru kita akan mengerti untuk alasan apa itu terjadi. Sekalipun alasannya hanya sederhana, sekedar suka.

Seperti jika kamu bertanya pada saya. Kenapa saya lebih suka warna merah muda dari pada putih. Atau ketika kamu bertanya kenapa saya selalu menyukai wewangian beraroma manis seperti coklat atau vanila. Saya memang sungguh tak punya alasan ilmiah. Jawaban sekedarnya yang bisa saya berikan adalah karena merah muda terlihat lebih lembut dan ceria. Atau jawaban lain tentang wangi vanila kesukaan. Saya pikir saya menyukainya karena bukankah kamu pernah bilang kalau kamu suka. Umm, tidak-tidak. Bahkan sejak sebelum bertemu kamu rasanya saya sudah menyukainya. Kalau begitu, mungkin itu karena aroma vanila yang melekat pada saya itu bisa membuat saya merasa menjadi perempuan paling manis dan menyenangkan. Persis seperti kue yang bertabur gula-gula. Tapi jangan heran ya, bila di lain waktu kamu melontarkan pertanyaan yang sama lagi pada saya mungkin sekali jawaban saya berubah, meski masih tetap sekenanya.

Sekarang ini saya tak ubahnya dengan kamu. Hanya bisa menjawab semuanya dengan ketidakpastian sembari erat-erat merapatkan genggaman. Memberi cukup janji agar tetap bersama menunggu pagi, tentu saja dengan tak lupa menuliskan banyak cerita hari ini. Namun di atas semuanya, saya selalu yakin, Tuhan tidak pernah lupa memberikan kebaikan, sekalipun saat kita menjalani pilihan hidup yang tidak selalu dianggap tepat. Tapi tepat tidak tepat itu menurut siapa sih, bukankah nanti kita baru akan menemukan alasan sebenarnya setelah menyelesaikan babak sampai pada titiknya. Termasuk untuk pertemuan dalam hidup kita :)

Dan bila saya bilang saya tidak sedang membutuhkan alasan dan hanya mengharapkan kamu disini untuk menyeka air mata saya, lalu menunggumu mengatakan bahwa kamu sungguh menginginkan saya, semua itu benar adanya.


Jogjakarta, 15 Maret 2010

Monday, March 8, 2010

Pujian Untuk Semesta

Tentu dapat kau lihat, tanda yang meninggalkan bekas di permukaan kulit kami, tergambar serupa garis melingkar yang membelah. Sekalipun seberat itu tanggungan kami, kami masih sangat yakin mampu menggenggam cita-cita. Kami cukup percaya diri dengan usaha berlipat-lipat ganda dan keringat yang mengalir sampai di sela-sela. Hingga sayangnya, terkadang kami lalai dan lupa menundukkan kepala.

Langkah angkuh kami perlu istirahat sejenak. Beban berat di pundak kami perlu kami letakkan sebentar. Kami bukan menyerah. Kami hanya membaca jiwa yang membutuhkan naungan untuk ditenangkan tanpa banyak bicara. Agar nafas tak lagi terengah-engah, agar keringat mampu terseka, agar airmata tak lagi asin terasa.













Kami terduduk di keheningan malam. Mendengarkan suara angin yang melantunkan puji-pujian bagi semesta raya. Melihat dahan-dahan rindang yang saling berayun berpelukan. Langit gelap itu tiba-tiba bersemu seperti gincu, merah menggelegar-gelegar. Serangga-serangga itu berdesis tanpa lelah, membisikkan rindu di telinga, beberapa mecium ujungnya. Kami merasakan selimut dingin itu membekap sekujur tubuh kami. Namun aneh, hembusannya adalah hangat yang mampu menggetarkan sukma yang tak berdaya. Kami merinding, kami ketakutan. Kami hanya hamba kecil serupa debu, habis seketika dalam sekali saja tiupan.

Kami tak lagi mampu menengadahkan kepala kami. Hanya mampu melekatkannya dengan ubin dan menasbihkan nama-nama indah.

Jogjakarta, 8 Maret 2010

Puding Leci













Akhir-akhir ini, cuaca kota kecil yang sangat aku cintai ini memang sangat susah untuk diprediksi. Katanya sih, ini memang salah satu dampak dari global warming yang menyebabkan siklus normal musim dan cuaca terganggu. Kalau siang hari panasnya luar biasa, gerah dan membuat lengket badan, malam hari bisa mendadak turun hujan meskipun gerah masih juga melanda. Karena itu, sepertinya puding leci yang masih selembut sutra (sama dengan resep puding mangga buatan saya) bisa mengobati dahaga. Bayangkan, rasa pudingnya yang tidak terlalu manis, dengan takaran susu dan air 1:3 akan tercampur dengan rasa leci dari sirupnya, masih ditambah dengan gigitan longan yang dipotong-potong dan ditabur di atasnya. Oh Wooow! So Yummy! Dan sudah pasti segar :)

Jogjakarta, 8 Maret 2010

Friday, March 5, 2010

Baked Potato Broccoli and Cheese














Yang namanya keju, rasanya memang selalu menarik untuk diolah. Setelah kemarin sempat suka banget sama baked potato yang ada di Salah satu pusat perbelanjaan di kota Jogja, saya jadi tertarik untuk tahu resep lengkapnya. Setelah browsing sana sini, saya berhasil juga mendapatkannya.

Bahannya: Kentang yang besar, brokoli, beef, atau sosis, atau apa saja sesuai selera dan yang ada, bawang bombay dicincang, bawang putih dikeprek lalu dicincang kecil, garam, merica, mentega. Untuk sausnya: susu cair, keju, tepung terigu, sedikit gula.

Cara membuatnya: Kentang dikukus kurang lebih 20 menit, dibelah menjadi 4 bagian, oleskan mentega, merica dan garam secukupnya. Buat isiannya, brokoli, beef, bawang digongso dengan mentega, beri merica dan garam secukupnya. Untuk sausnya: masukkan susu cair, keju, tepung terigu, sedikit gula, masak sampai mendidih dan mengental.Setelah kentang matang dan cukup empuk, lapisi dengan alumunium foil, panggang selama kurang lebih 10 menit. setelah itu, siram dengan saus keju, masukkan isian brokoli dkk, taburkan keju diatasnya. Panggang selama 5 menit.

Hasilnya, Arla, keponakan saya yang berumur 3 tahun suka sekali dengan kudapan ini. Satu kentang besar dengan isian penuh brokoli dan keju dilahapnya sendirian dan bersih Cling!. Pacar saya apalagi, saya sampai nggak boleh minta hehe. Ya, dikasih sih, tapi cuman satu suapan doang. Enak katanya. Yah, walopun terkadang bedanya lapar dengan doyan itu tipis, tapi bagi saya, kalo dia bilang enak, itu sudah berarti compliment. Dia bukan tipe orang yang suka menyenangkan hati pacar dengan berbohong demi kebaikan dan keselamatan hehe.

Boleh dicoba untuk cemilan saat sedang iseng :)

Tuesday, March 2, 2010

Seperti Bercermin

Lihat betapa miripnya kami. Sama-sama jatuh hati pada barisan melodi. Terkagum-kagum pada tangan para penulis yang mampu menyulap kata menjadi rangkaian bahasa sarat makna. Perut kami tidak lah rata, lapisannya makin bertambah tebal akibat hobi makan kami yang menggila. Untuk alasan yang sama, terkadang berapapun jarak yang harus ditempuh tak akan kami ambil peduli. Boleh dipastikan setiap perjalanan akan selalu kami nikmati. Bila sedang terlalu bersemangat, entah itu karena rindu yang menggebu atau sekedar ingin mengumbar cerita, sepasang mata kami akan berbinar-binar ceria. Ya, kami memang senang sekali berbicara, berbincang tentang apa saja. Sejujurnya, tak ada yang lebih menyenangkan dari mendengar leluconnya lalu saya yang akan menertawakannya.












Melihatnya seolah saya sedang bercermin dan melihat bayangan diri. Keras pendiriannya adalah kerasnya si kepala batu ini. Benturan keras diantara kami akan saling melukai. Apa saya bilang, kami memang mirip sekali, meski bukan juga berarti tak ada perbedaan diantara kami. Haha, tentu saja ada banyaaaak sekali. Namun rasanya itu tak lagi berarti, saat cinta itu sama-sama kami miliki dan dibiarkan tumbuh dewasa dalam hati. Lalu masalah perbedaan itu, dia masih disitu. Biarkan saja bila tak mau pergi, dibalik bijaksana yang menghormati dia rela sembunyi.

Lihat betapa serasinya kami. Saat dia menyanyi dan saya yang menari dalam hati. Hihi :)

Jogjakata, 3 Maret 2010