Saturday, December 11, 2010

Gula-Gula

Katamu, dulu aku sangat tahu bagaimana cara paling tepat menikmati gula-gula. Melumerkan lapisan padatnya di lidah lalu diam-diam manisnya kubawa sampai ke mimpi. Kamu pula yang sering kali terheran-heran, apa sebab aku betah berlama-lama menyimpannya dibawah dinding mulut. Ancaman bahwa ia akan melubangi gigiku seperti yg sering kau ucapkan tak berhasil menakutiku. Gula-gulaku seperti candu yang tak bisa kulepaskan. Nikmatnya mengikat, sumpah mati aku terpikat.

Namun itu dulu. Saat sore terlalu manja bila dilewatkan tanpa cerita.

Sekarang, ujung dan pangkal indraku seperti kehilangan fungsi. Aku tak mampu membedakan warna, tak mampu pula merasakan manis atau masam. Aku kebingungan, sementara gula-gulaku seperti semula sama saja. Masih terbungkus plastik bening warna merah muda. Lalu apa yang beda, mungkin racikan tangan yang tak lagi sama. Mungkin aku yang mulai menua, tak lagi selera pada gula-gula.

Ah, mana mungkin. Bukankah aku membutuhkannya seperti sungai membutuhkan air mengalir. Karena sungai bukanlah sungai tanpa ada isi yang dibendungnya. Bahkan sempat kutuliskan dalam jurnal hidupku, betapa istimewa artinya satu kesukaanku itu.

Analisamu, pilihan yang bercabanglah yang mengganggu curahan perhatianku. Aku diam, tak bisa membenarkan. Ingin kusalahkan, tapi takut bila jangan-jangan memang benar seperti yang kamu sebutkan. Ya Tuhan, apa yang salah pada pengecapku. Kuteguk air putih banyak-banyak, kugosok lidahku dengan sabut kelapa. Kesat. Aku ingin ia kembali seperti sedia kala. Agar rindu ini tersampaikan bila nanti bertemu lagi dengan gula-gula.

Kutelusuri sepanjang jalan, kuingat benar beberapa penjual memamerkan gula-gula terbaiknya dibalik etalase kaca satu meteran. Biasanya selepas kerja, aku selalu melewatinya dengan wajah tergiur bersemu-semu. Namun apa mau dikata, tak satupun gula-gula dapat kusapa. Kotak pajangan itu melompong tanpa dagangan.

Aku pulang dengan tangan hampa. Penuh sesak cerita betapa kecewa tak bertemu gula-gula. Namun wajahmu datar, hanya sempat mengernyitkan dahi di detik ke sepersekian. Katamu, memang kamu yang membuang semua gula-gula di dunia, saat tahu ternyata aku tak lagi pandai menikmatinya.

Tak mungkin sanggup tak menangis, saat menyadari kegagalanku ini sempurna.

Menuju Semarang, 10 Desember 2010