Monday, November 22, 2010

Pulang

Aku ingin pulang, ke padang luas yg mereka sebut gersang. Penuh debu dan tercetuslah kotaku tersayang kota tuaku yang usang. Namun apapun kata mereka, tak terbendung langkah ingin kembali memeluk cerita di peraduan lama. Bergelut bersama harapan di kursi rotan buatan tangan. Merengkuh roda kehidupan yang kukayuh dengan cinta sepenuh jiwa. Aku tetap ingin pulang.

Kudewasakan mimpi di sana, tumbuh bersama benturan yang mememarkan di kiri dan kanan, besar bersama goncangan yg membuat isinya berantakan. Kurapikan lagi, berantakan lagi. Kurapikan lagi, tentu saja sesaat lagipun akan berantakan lagi. Begitu seterusnya, belum berhenti hingga ia tumbuh menjalar seolah hanya 3 centi lagi tergapai. Aku melompat, belum juga kudapat. Kudengar sorakan, menyemangati dan mencemoohi. Aku tutup telinga, 3 centi lagi jarak pandangnya, lompatanku akan melambung lebih tinggi, aku berjanji. Sesaat lagi, saat aku pulang ke padang yg mereka sebut gersang.

Bukan aku tak betah disini, tentu saja aku akan selalu kerasan kembali. Padamu doa kebahagiaan kulafalkan sepanjang malam. Namun mengertilah, ada satu janji yang harus kutepati. Bukan hanya soal hati, namun juga perkara kenapa aku belum mau mati. Ini alasan kenapa aku selalu ingin bergegas pagi. Ini gairah yang selalu mencuatkan senyum saat lelah menguasai. Ini tentang keikhlasan yang melegakan saat air mata menyungai tak terbendung lagi. Aku yakin kau mengerti, setidaknya aku yakin sesungguhnya kau akan mengerti.

Maka biarlah dulu aku pulang. Lalu untukmu, akan kubawakan bingkisan sebagai buah tangan saat lebaran haji tahun depan. Tenangkan hatimu. Tak lain dan tak bukan, kembaliku selalu padamu, jalanku menuju surgaku.

Sungguh. Aku hanya ingin pulang, dalam simpuh pada kuasa tuhan.


Ciputat, 20 November 2010

Thursday, November 4, 2010

Menghitung Usia

Saya termasuk yang tidak pernah menghitung usia. Malah tak jarang, orang lain yg mengingatkan jika saya merasa beberapa tahun lebih muda. Hehe..

Entahlah. Namun saya tidak sepakat jika usia dijadikan batasan untuk mengukur pencapaian keberhasilan seseorang. Seolah itu adalah garis mutlak yang bila tidak terlampaui, maka celakalah hidup manusia. Kata "seharusnya" yang dilekatkan setelah usia tertentu, terkadang membuat saya sedikit murka. Usia sekian seharusnya sudah mapan, bekerja, menikah punya anak, punya rumah dst. Siapa yg mengharuskan? Bukankah itu hanyalah aturan yang tidak pernah tertulis namun lalu disama ratakan fungsinya, dipukul rata. Dan bukankah kita tidak pernah tahu ketetapan masing-masing hati. Datangnya tidak mungkin seragam sama sesuai jadwal.

Ini bukan pembelaan saya atas apa-apa yang belum terlampaui di usia ini. Sama sekali bukan. Sebaliknya, ini adalah bentuk suka cita saya terhadap apa yang sudah saya lampaui. Saya merasa terberkati, di usia ini banyak hal yang sudah saya kerjakan dan saya yakini bukan sia-sia. Beberapa melihat saya terlambat, beberapa juga melihat saya tidak maksimal. Namun siapa yg mampu membaca puasnya hati jika melakukan sesuatu dgn cinta.

Sebaik-baiknya manusia adalah yang memberi manfaat bagi orang lain. Satu kalimat sederhana yang berarti luar biasa bagi saya. Menjadi motivasi bagi hidup saya. Biarlah jika beberapa pendapat memarginalkan pilihan saya, namun saya meyakini hidup saya menghidupi orang lain, dan itu membuat saya bernafas dengan lega. Saya merasa tangan dan langkah ini berarti.

Diusia ini saya tidak akan bertanya kenapa, kapan dan bagaimana padaNya. Saya mengerti bahwa Tuhan telah atur semua, tidak mungkin ada yang terlupa. Saya akan menjadi hamba yang sabar dan banyak berdoa. Tentang usaha, dalam setiap nafas ia akan selalu ada. Saya bukan yang pendiam dalam bekerja. Tidak :)












Saya tidak menghitung usia, namun bukan berarti saya lupa, 26 tahun perjalanan kehidupan saya. Cinta luar biasa saya dapatkan, mama papa yang tidak berhenti berdoa dan menyayangi saya, apapun untuk kebaikan saya. Saya yakin itu. Saudara dan keponakan-keponakan lucu yang menghujani dengan peluk cium dan kata sayang. Sahabat yang tidak pernah lupa berbagi doa dan ceria. Pekerjaan yang selalu saya syukuri karena beberapa tangan tergenggam dan tercukupi. Saya bersyukur.














Juga untuk kekasih yang rela memetik kebahagiaan hingga ke ujung dunia hanya untuk diberikannya kepada saya. Ini sungguhan. Betapa usahanya untuk membahagiakan saya selalu membuat saya bertekuk lutut pada cintanya. Tepat saat 26 tahun usia saya. Saya meneteskan banyak air mata melihat perjuangannya. Kebahagiaan memang tidak bisa dibeli, namun dia membelikannya untuk saya dengan besar perjuangannya. Lebih dari sekedar kado hebat yang saya terima, sebuah pensil warna lengkap, dengan ukiran nama saya di ujung kayunya. Lebih dari kejutan manis di malam hari, butik kecil tersulap penuh lampion warna-warni. Lebih dari itu. Dia mengajari saya, bahwa mencintai adalah melakukan segalanya untuk seulas senyum bahagia, tidak berhenti meski terkadang nyeri terasa diujung hati. Besar harapan saya agar saya bukan sekedar membalas dengan rasa haru semata, namun dengan pengabdian pada cinta yang tidak menghitung usia.







26 tahun, dan saya tahu Tuhan selalu baik hati. Hidup saya terberkati. Matur nuwun, Gusti.






13 Oktober 2010