Thursday, February 24, 2011

Hitungan Itu Tak Bisa Dinamakan Cinta

Kau kibaskan perlahan dua lembaran berwarna merah di depan hidungku, aku acuh. Tak menarik bagiku. Sungguh.Kutaksir semestinya bahkan bila isi dompetmu habis terkuras, tetap tak terjinjing tak bisa kau bawa pulang. Aku mengasihanimu dalam hati. Kenapa harus aku lawanmu. Harga diri yang kujunjung tinggi tak akan kubiarkan terbeli, bahkan tak peduli habis ditinggal pembeli. Jika memang kau anggap aku terlalu percaya diri, bukan perkara, aku akan tetap melambung melintasi mega mendung. Jika aku lupa kembali, sepucuk tulisan tangan kusembunyikan di meja belajar laci kiri. Tanda dulu aku pernah mati-matian mencintaimu. Ya, teramat mencintaimu maksudku, bahkan melebihi cintaku pada takdirku.

Siang tadi kukenakan batik terbaikku, harapanku agar kau persis benar mengingatku. Tapi kau membongkar isi kepalaku, kau bedah dgn teliti ruas per ruas hingga kau temukan kesalahanku. Mempresentasikannya di hadapanku, menganalisa satu persatu lalu menelurkan formula untuk penelitian terindahmu. Aku.

Kau hargai berapa aku? Teori yg membuat aku ingin berbalik menyerangmu dengan hitungan-hitunganku, mengukur lompatanmu dengan takaran yang sempit dan melukai. Oh maafkan, tak semestinya aku memistari panjang lintasan yang sudah kita lewati, tak semestinya aku menimbang berapa liter keringat terkuras saat kita berlari. Tak semestinya aku, senyeri apapun nafasku. Aku menyesal..

Namun maaf jika harus kututup telingaku, bukan aku tak ingin mendengarmu, memotivasiku dengan kata-katamu, yang tentang pendek langkahku, tentang pelan kecepatanku. Sungguh bukan aku tak mengamini mantramu. Aku hanya ingin terus melaju. Tanpa ada penilaian yang menggelayut di pergelangan kakiku. Ringan seperti kapas, aku akan terus melaju. Sudah terlanjur kuputuskan ini pilihanku.

Demi Tuhan yg baik hati, maukah kita simpan hitungan di kepala? Tak kulihat cinta pada hapalan. Tak kudengar sayang saat nyaring melengking suara. Tak kutemukan masa depan saat saling menyakiti menjadi semacam audisi.

Jika tak terkejar larimu, terlampau melesat tak tergapai lagi olehku, tak bersediakah kau menungguku? Jika tak banyak waktumu, akupun tak tahu berapa sisa umurku. Dan maaf jika harus kuulang sekali lagi. Bisakah kita, kamu dan aku, mencukupkan hitungan tersimpan kepala? Karena bukankah semestinya kita saling menyemangati agar garis tujuan itu terasa tinggal sebentar lagi. Bukan sebaliknya.

Saat amarah meluncur tak tersaring lepas bebas begitu saja, tak terlihat cinta dari mata merah yang bicara. Sayang, hitungan itu tak bisa dinamakan cinta.



Jogjakarta, 25 Februari 2011