Wednesday, June 30, 2010

Di Usianya

Terkadang manusia memang tak bisa berbuat banyak atas jalan hidup yang dipilihkan Tuhan untuk mereka. Sama halnya dengan "mbak-mbak" yang membantu beberapa pekerjaan di keluarga saya. Mbak Anis dan mbak Shiroh namanya, dua orang yang tentu saja sangat berjasa dalam kelancaran dan kerapian seisi rumah. Saat ini usianya baru belasan tahun,Mbak Anis 18 thn, mbak Shiroh 17 thn, usia yang sama saat saya dulu masih duduk di bangku sekolah, bermain bersama teman-teman, tak berpikir terlalu keras selain tentang pelajaran dan ujian. Namun demikian saya yakin, pasti inilah pilihan yang mereka rasa terbaik untuk dijalani, bekerja keras jauh dari keluarga, merelakan masa mudanya terbatasi oleh tanggungjawab yang mereka pertaruhkan untuk pekerjaannya.

Mereka manusia biasa di usianya, yang seperti halnya remaja lain, mereka senang mengekspresikan diri, senang berpenampilan menarik, berhasrat dan ingin tahu tentang hubungan lawan jenis. Saya ingat sekali betapa centilnya saya semasa remaja (well ok, pun masih berlangsung hingga saat ini :D ) selalu mengikuti perkembangan mode terbaru, mengikuti apa kata majalah, dan bila saya ketinggalan lagu-lagu terbaru dari band-band papan atas, itu artinya saya ketinggalan jaman. Maka saya pun tidak heran jika mbak-mbak saya itu lebih hafal dengan nama-nama band yang bahkan lagunya tidak di putar di radio saya bekerja. Mereka menyimpan mp3nya di handphone, lalu mereka putar saat mereka menyetrika atau memasak. Ya sudahlah, apa lagi hiburan mereka.. Jalan-jalan, shopping atau makan di mall seenaknya? jangan bercanda..

Kemarin ketika saya pulang ke rumah lebih cepat dari biasanya, rupanya itu cukup mengagetkan kedua "mbak" saya. Saya pulang di saat yang tidak tepat bagi mereka. Persis saat saya memarkir kendaraan di depan pagar, mbak-mbak saya sedang asyik berfoto dengan kamera handphonenya. Mungkin bukan hanya sekedar alasan itu saja yang membuat mereka tunggang langgang melihat saya, tapi bando milik saya dengan bunga merekah putih yang masih melekat di kepalanya dan tidak lagi sempat disembunyikan.

Oh Tuhan saya sungguh tidak keberatan sebenarnya. Saya bahkan sungguh mengerti, bahwa diusianya, mendekomentasikan diri dalam potret-potret yang disimpan di handphone mereka adalah hal yang lumrah. Bukankah nyaris remaja-remaja sekarang melakukannya, lalu apa salahnya? bukankah mereka juga masih remaja. Miris hati ini melihat mereka yang lari tunggang langgang menahan malu karena ketahuan hiasan bunga milik saya masih terselip di rambutnya. Saya malahan sedih, menyadari bahwa mereka adalah gadis-gadis biasa yang terpaksa menahan hasrat mudanya yang meledak-ledak. Seolah sayapun merasa patut dipersalahkan karena menjadi pemicu yang membuat keinginan-keinginan mereka semakin sulit dikendalikan. Adalah saya, yang membuat kesenjangan itu semakin terasa seperti jurang yang menyakitkan. Karena itu, maafkan saya ya..

Mbak-Mbakku sayang, mbak-mbak yang masih sempat tertawa dan memuja cinta ditengah beratnya tempaan kehidupan. Untuk pilihan sulit yang sudah berani kau buat, untuk pilihan yang lebih dari sekedar keterpaksaan namun juga sebuah pengorbanan, saya angkat topi tinggi-tinggi. Padamu, saya belajar untuk lebih berkaca memandang diri dengan rendah hati, lalu mensyukuri nikmat Tuhan yang terkadang saya alpakan.

Bukankah sesungguhnya setiap kita adalah manusia yang selalu dihadapkan dengan pilihan. Bersyukur bila tanggungjawabnya berjalan beriringan dengan hasrat alamiah manusia, namun bila ternyata berseberangan, maka hanya manusia-manusia hebat yang pada akhirnya tetap bisa konsisten dan bertahan.

Buat saya, mbak-mbak saya itu tetap sama saja dengan gadis remaja lainnya, keinginan mereka lumrah dan tak bersalah. Toh itu tak membuat mereka berhenti membantu saya, keluarga saya dan keluarganya.

Barbados, Jogjakarta, 30 Juni 2010

Tuesday, June 15, 2010

Catatan Doa

Ya Allah, tepat hari ini lelaki yang kukasihi sedang bertambah usia, dan aku sangat mengerti, bila itu berarti semakin berkurang pula jatah kehidupan yang telah Kau tuliskan untuknya.

Dia teman terbaik yang hadir di setiap nafasku,karena itu ya Allah, mudahkanlah jalannya.
Kuatkanlah hatinya.
Sabarkanlah marahnya.
Peluklah sedihnya.
Ceriakan tawanya.
Temani hari-harinya.
Biarkan dia mewujudkan impiannya..

Lalu bila memang menjadi ijinMu, biarkan aku mencintainya selamanya, ya Allah.
Tak akan sesempurna penghambaanku padaMu, namun biarlah aku mempersembahkan cinta terbaik yang aku punya.

Ya Allah, aku tahu Engkau tak pernah pergi, karena nya lah kupercayakan semua padaMu.. Dan bila dia menemuiMu hari ini, mohon sampaikan padanya, perempuan ini sangat mencintainya, dan berbahagia untuknya.

Jogjakarta, 16 Juni 2010 "Happy birthday, sayang"

Thursday, June 10, 2010

Caramu Merindukanku

Malam ini aku terpukau pada angan yang membeku, tak bisa bergerak hanya merapat saja di sudut-sudut situ. Berpikir tentang kamu dan hanya selalu tentang kamu. Wangimu, cara berjalanmu, cara tertawamu, cara bersenandungmu. Dan yang paling membuat ngilu, semua seolah berkelebat pasti di depan mataku. Lalu mendadak mencair. Nyes! Berubah menjadi cairan dingin yang menjalar hingga ke ujung kuku. Bukan hanya dingin malam, ini dingin kesepian.

Lalu aku ketakutan. Takut bila rindu ini akan berkepanjangan. Padahal kebiasaanmu terlanjur kuhafal sudah seperti asupan nutrisi yang berkecukupan, dan kehadiranmu? kehadiranmu bagiku adalah keseharian.

Caramu memanggilku dengan teriakan "Cenoooong" selalu kujawab dengan cengiran bersama mata menyipit tinggal sebatas garis, terkadang sembari tanpa ragu kamu usapkan telapak tanganmu dijidatku, tentu saja aku sering tersulut dan kesal, walaupun hanya dalam hitungan detik aku akan kembali jatuh di pundakmu. Lalu kebiasaanmu menggoda jurus rahasia berdandanku biasanya kubalas dengan raut pura-pura marah sambil mendaratkan cubitan di pinggangmu. Lalu segala gurauan kita yang tak pernah kita batasi, kita lepaskan bebas tanpa ada beban. Denganmu aku bahkan tak pernah malu, tak peduli bila akan terlihat jelek dan tak perlu terkekang oleh norma yang kaku. Juga caramu bernyanyi yang selalu membuatku yakin, bahwa pesona itu memang menjadi berkah, potensi dan harapan yang harus diwujudkan di masa depan. Belum lagi cerita-ceritamu tentang sejarah Cina, diskusi kita tentang cerpen kompas minggu, tentang headline surat kabar yang membuatmu gemas bila mata berputar-putar yang menjadi reaksiku. Tenang sayang, sudah banyak yang kuserap saat kamu bercerita dengan berapi-api saat itu, ya walaupun terkadang aku mencuri-curi waktu sesaat untuk membuka google agar bisa sedikit mengimbangimu. Lumayan lah agar ada bahan untuk mengomentari materi diskusi kita di saat itu. Yaya, Aku curang katamu, tapi kamu tak kalah curang. Kamu membuatku terbiasa dengan semua tentangmu, lalu aku terikat, tak bisa lepas dan bergantung padamu untuk menyentuh bahagiaku. Caramu mencintaiku yang sempurna, caramu merindukanku yang selalu terasa istimewa, semua lakumu yang jenaka dan menyebalkan, hingga setiap kebersamaan kita yang sederhana, tergubah menjadi alasan utama kerinduanku yang terasa terlalu lama. Oh Tuhan, air mataku terasa pahit meski tak tertelan barang sedikit. Entah kenapa aku pun yakin kamu pun merasakan hal yang sama, mungkin terdengar dari getirnya lagu sendu yang kamu bawakan dan hanya bisa kudengar lewat streaming radio malam ini.

Hidupku, keseharianku tanpa aku sadari adalah segala tentangmu. Tak heran bila malam ini aku terbujur layu, saat udara menyeruak di ruang yang menggemakan namamu. Sejak pagi tadi, belum kutemukan kamu.

Esok hari, aku harap rindu ini berbaik hati mempertemukanku dengan penawarnya.


Ciputat, 10 Juni 2010

Wednesday, June 2, 2010

When I'm Sick

Rezeki itu bentuknya bisa macam-macam, tergantung bagaimana kita melihat dan menyikapinya, begitu pula halnya dengan ujian. Orang naik pangkat, dapat jabatan tinggi, naik gaji dibilang rezeki. Padahal bisa jadi itu adalah ujian, bila lantas menyalah-artikan kedudukan, menyalah-gunakan jabatan, memboncengi status dengan segala hal yang bermuatan kepentingan pribadi. Terkadang memang sulit melihat dengan jernih, sekedar menempatkan posisi berdiri agar tak salah perspektif, lalu mengambil sikap bijak untuk mensyukuri rezeki atau ujian. Saya pun hampir salah, ketika saya mendapati diri jatuh sakit di tengah padatnya aktivitas saya.

Sejak awal minggu kemarin, alhamdulillah, agenda saya lumayan seru, kalender saya pun lumayan ramai dengan tanda merah yang saya bubuhkan bila saya menerima pekerjaan disamping siaran harian saya. Tentu saja jatuh sakit bukanlah hal yang diminta siapapun orangnya di dunia, saya mengcancel 2 jadwal yang tak memungkinkan saya lakoni dengan kondisi penuh bercak dan demam. Belum lagi GERONIMO, Radio tercinta saya yang sedang meriah-meriahnya merayakan ulang tahunnya yang 39. Banyak acara saya lewatkan dengan rasa kecewa yang besar, “Duh gusti, kenapa mesti sekarang sih sakitnya, dan kok ya kenapa mesti cacar air”. Beberapa teman saya memberi respon meledek ketika tahu saya sakit cacar, “Ya ampunnn.. segede ini baru cacar?? Dulu kecil ngapain aja San, belum kena cacar??” Hahaha.. semestinya sih wajar saja, karena setelah saya crossed check dengan mama saya, katanya dulu semasa kecil saya memang belum sempat kena cacar air.

Ya. Awalnya, saya menganggap sakit saya ini adalah sebuah ujian, badan tak enak, muka jadi penuh bercak oh jeleknya, pekerjaan tertunda, aktivitas terganggu. Tapi lalu saya teringat pengalaman saya persis seminggu sebelum saya terkena cacar. Saya kedatangan tamu pasien penderita Lupus di radio tempat saya bekerja. Kami ngobrol banyak tentang penyakit seribu wajah ini. Penyakit yang bahkan dokter sekalipun akan kesulitan untuk mendiagnosa penyakitnya, mengingat symptom-nya mirip dengan banyak penyakit berbahaya lain. Ini penyakit yang obatnya tidak bisa dengan mudah kita tebus begitu saja di apotik. Penyakit yang mengharuskan mereka hidup bersama pengobatan dalam kurun waktu hitungan tahun, bukan hanya semingguan seperti penyakit cacar saya. Penyakit yang bahkan resikonya adalah kebutaan dan lumpuh, bukan sekedar bekas yang sulit hilang seperti resiko cacar yang saya alami. Mereka saja kuat, mereka saja tegar. Lha kok saya yang Cuma dikasih cacar saja mengeluh. Ini kan cuma cacar..

Masih lekat dan segar juga dalam ingatan saya. Dua hari sebelumnya, saya sempat melihat berita dari televisi, tentang pak Iksan, seorang bapak yang berusia 61 tahun di Surabaya, Jawa Timur. Beliau berencana menjual ginjalnya untuk membayar hutang dan pengobatan sang istri. Duh, mirisnya perasaan saya saat melihatnya, sehari-hari beliau hanya menyuapi istrinya yang sakit dengan nasi aking –nasi basi yang dikeringkan-, di rumahnya yang luasnya 3x4 meter, tak lebih luas dari setengah lapangan badminton. Benar-benar kehabisan cara, beliau berniat menjual ginjalnya untuk mengobati sang istri yang sedang sakit. Gusti Allah, mungkin memang benar ya, di negara ini orang miskin nggak boleh sakit, akan makin repot urusannya nanti. Saya bersyukur, masih bisa menanggung biaya pengobatan saya tanpa harus menjual ini itu. Tapi sayangnya tidak semua orang seberuntung saya. Banyak sekali manusia di luar sana, di tempat yang bahkan di luar batas jangkauan saya, mesti berpacu dengan kematian sekaligus melawan kemiskinan.













Bila memang sakit saya ini adalah ujian, maka ini hanya ujian kecil yang harus saya jalani. Ada ribuan ujian yang dihadapkan pada manusia dan itu ribuan kali lebih berat dari yang saya jalani. Saya sendiri pada akhirnya lebih suka mensyukuri sakit ini sebagai rezeki. Karena setelah saya renungi, cacar saya ini memaksa saya banyak berdiam di rumah, berpikir tentang ini-itu yang sebelumnya mana sempat saya pikirkan, saya menyelesaikan buku bacaan saya, saya berkumpul dengan keluarga -mama saya pulang, saudara-saudara saya mendoakan, pacar saya terus menyemangati dan rajin menjenguk ke rumah, teman-teman saya perhatian, saya punya banyak waktu untuk browsing banyak hal sesuka saya. Alhamdulillah.. Meskipun kalau dikasih cacar sekali lagi, rasanya saya lebih baik di hukum lari keliling lapangan 10 kali.. hehehe

Memang, pada akhirnya sama saja, dalam sebuah ujian sekalipun, selalu ada yang bisa direnungi dan dipelajari, agar masing-masing menjadi pribadi yang lebih baik lagi, baik akal maupun budi. Dan ini lah yang harus kita syukuri. Saya percaya dalam setiap ujian, Tuhan selalu punya maksud baik. Ikhlaskan saja..

Oh ya satu lagi, masalah waktu kedatangan cacar juga sudah saya ikhlaskan. Ya mungkin dipilihkan waktunya memang paling pas sekarang, ketika saya sembarangan saja mengatur waktu istirahat. Lagi pula saya anggap cacar sebagai satu lagi fase yang pasti dialami manusia, sama seperti akil baligh, menstruasi dan menopause pada wanita, seperti peristiwa ujian sekolah, kelulusan, kegagalan, bahkan juga seperti perkawinan dan kematian. Semua orang akan merasakannya, hanya saja datangnya di waktu yang tidak bersamaan..


Cheers,

Jogjakarta, 2 Juni 2010