Saturday, January 1, 2011

Keranjang Tua

Dipenghujung tahun, kuamati kesayanganku yang berdebu, terbuat dari anyaman bambu. Dahulu ia kesayangan ibu, lalu diwariskannya padaku. Keranjangku yang tak lagi muda, kulitmu mengelupas disini dan sana, teringat dulu kubawa serta kemanapun langkahku mengudara. Teman setia, menghibur setiap luka dan derita. Gagang kayunya yang dahulu kokoh terkadang sekarang terlepas begitu saja, kurasa karena dimakan usia. Demi tuhan sedihnya, kutahu kau tak ada duanya.

Saat bilal mengumandangkan pujian untuk Sang pemilik nama indah, kuletakkan mukenaku disana. selepas bercumbu dalam doa yang kadang teringat kadang tidak. Tapi setelan putih, penutup aurat penghuni setia keranjang anyaman pemberian ibu yang bertuliskan namaku.














Kali ini, lagi-lagi aku datang membawa banyak gelap. Lebih tebal dari kelamnya malam pekat. Tak cukup bila hanya tergenggam dalam jemari perempuan kecil yang larut dalam timang pangkuan kanak-kanak.

Pendamping adam sebagaimanapun terdidik untuk tegar, sanggup menyelimuti segala pedih dengan kelembutan. Namun sayang, bagaimana harus kusembunyikan kesedihan. Saat keranjang tua sudah terlanjur penuh menampung semua. Tak kutemukan sedikit sela untuk meletakkan kepedihan. Kudesak, kutekan, kurapatkan semua isi di dalamnya. Tak juga kutemukan sela. Lalu dimana harus kuletakkan setetes air mata, bila sudah tak ada tempat untuk perempuan menangis dan kelelahan..

No comments:

Post a Comment