Saturday, January 15, 2011

Sarang

Teringat seperti saat pertama laba-laba bersarang di pojok langit-langit rumahku. mengejutkan dan sedikit menakutkan. Tergesa coba ku hilangkan, kucari semacam sapu setinggi 2 meter, lantas kubersihkan. Selalu begitu. Setiap hari kuamati, apa muncul lagi rangkaian benang di sudut yang sama. Memang terkadang tempatnya berganti, namun tetap saja mampu membuatku bersorak hati. Diatas semuanya sebelum memulai hari, pekerjaanku adalah mengenyahkan penumpang hidup yang membangun singgasana di atas kerajaanku sendiri.

Ritme keseharianku, tanpa kusadari adalah menjadi pengawas yang sejati, menengadahkan kepala, lalu mencari-cari. Siapa yang bilang aku mulai menanti? kemarilah, kuberi dia lembaran biru gambar pemimpin edisi lalu, ya, terima kasih untuk sebuah jawaban jitu. Aku bukan hanya mulai menanti, aku keasyikan tenggelam dalam hingar bingar penyambutan. Langkahku riang menuju tempat pertemuan. Sebuah siulan aku dendangkan dalam perjalanan.

Sekali waktu kujenguk persemayamannya tepat saat sinar matahari terbit menelusup dari celah atas jendela. Wow. Susunan benang berkilau keemasan, kemilaunya lembut menyinari sisi suram hati sebelah kiri. Sontak kusimpan galah yang biasa membasminya tanpa ampun. Siapa yang tega menghancurkan tempat tinggal yang begitu indahnya. Tidak juga aku.

Pemandangan yang kuduga Tuhan kirimkan untuk menghiasi kejenuhanku, cita rasa tak biasa yang mendekorasi stagnancy-ku. Aku bukan hanya terkesima, tak bisa tidur aku menerka siapa pemilik rumah mempesona di langit-langit petak yang tak lebih luas dari mushola kampungku. Pastilah sang penunggu sama anggunnya dengan rumah tinggalnya. Bukankah dia sendiri yang melilit setiap helainya hingga menjadi bangunan ajaib. Pasti keahliannya muncul dari pemahaman luar biasa akan seni yang menjadi nafasnya.

Aku berselancar di dunia maya, kutelusuri segalanya tentang sarang laba-laba. Orang-orang bilang kewarasanku terampas sia-sia. kubalas hanya dengan seulas senyum biasa. Tak apa, biarlah ini menjadi rahasiaku dengan semesta, apa sebab aku begitu memujanya. Seuntai talinya akan membuatmu kesulitan jika kau ukur dengan mistar, hanya 0,001 lebarnya, apalah artinya mereka pikir. Namun siapa menyangka, terbukti kekuatannya 5 kali lebih kuat dari baja yang berukuran sama. Para ahli menelurkan terobasan menggunakan kekuatan tak terbayangkan tersebut, sebuah rompi anti peluru dibuat dengan material yg sering termarginalkan kehadirannya. Sebuah bangunan anti gempa terinspirasi oleh bentuk bangunan sarang laba-laba. Lalu bagiku, pesonanya membuatku jatuh lebih dalam, pantas tak terbantahkan.

Aku mulai melukis tentang laba-laba, menuliskan lirik untuk sarangnya. Aku habiskan waktu menunggu datangnya serangga 4 pasang kaki, sekedar mengucap selamat malam lalu tertidur dalam mimpi berselimutkan benang-benang kemilau. Begitu seterusnya hingga kusadari mimpiku terasa begitu nyata. Saat aku tertidur dalam kesedihan dan bantalku lembab oleh air mata, kurasakan pelukan mungil menggelitik dari belakang. Kupikir aku tak sekedar bermain dalam imaji, sungguh kurasakan ujung-ujung jari kaki mungil itu benar-berar ada. Aku merasakan kehangatan dari dalam ketulusan. Kurasakan tubuhku tenang, tak merasakan gelombang, tak ada getaran. Benar-benar tenang seperti bayi yang dibedong dalam balutan jarik lurik.

Ya tuhan, kekuatan apa ini yang begitu melenakan.. Kuintip dengan sebelah mataku, tubuhku terbalut penuh benang. Berkilau keemasan. Aku seperti kepompong, hanya tinggal tersisa kepala saja yang tidak terbungkus. Aku berayun diatas sarang yang megah serupa permadani. "Tenanglah, kamu akan aman.." sebuah bisikan menenangkan. Aku pasrahkan, aku leburkan ketakutan..

Tidurlah aku lebih lama.. dalam usapan meneduhkan, dalam bisikan mendayu kalbu. Jangan terbangun, jangan pernah terbangun.

Sarang ini mencengkeramku, keindahannya membuatku tak sanggup berpindah. Sementara sang serangga tampak bersiap, beranjak pergi meninggalkanku di kediamannya yang agung. Tak ada masalah, di teduh sorot matanya, dia melangkah dengan pesona dan kegagahan yang tak sombong. Entah langit-langit mana lagi yang akan dia sambangi.

Aku masih berbalut untaian benang berkilau-kilau, terbungkus diam yang kokoh, tak tembus dan tak robek. Entah karena tak mampu atau entah tak mau. Hingga aku mematung dan kerikil berjatuhan menetes dari mataku. Tak lagi bisa kutemukan. Laba-laba itu menghilang dalam gelap sudut jalan.

Lalu itu lah kali terakhir aku melihatnya di hidupku, serangga delapan kaki yang meninggalkanku di sarangnya.

Jogjakarta, 16 Januari 2011

No comments:

Post a Comment