Wednesday, May 19, 2010

Mengubur Sajak

Menuliskan sebuah nama di atas dinding dengan warna senada.
Tiap goresannya menyisakan bebunyian yang miris mengiris telinga.
Tak terlihat?
Tak tampak?
Tentu saja.

Lalu kamu terus berteriak itu sia-sia,
Sementara aku berkata biarlah teruskan saja.
Ada banyak lengan bergantian memangku jemari dan menyelipkan semburat tinta.

Hingga sore ini saat hujan turun tepat diatas ubun-ubun kepala,
Barisan nada yang terlanjur kulukis mulai meleber tak berbentuk rupa semula.
Ubin menyisakan dingin hingga gerahamku menyatu dan bergemeletak seolah kerikil batu.
Bagaimana dengan kamu?
Juga kedinginan dan merasakan ngilu?
Sayang, kenapa tak ada suara?

Sayang?
Aku meraba, dan hanya bertatap senyap udara.
Oh. Kamu tak ada.
Tapi kemana?
Ingatanku lalu lalang mengejar sisa-sisa pengharapan.
Damn.
Kamu berlari terlalu cepat.
Maksudku, aku berjalan terlalu lambat.
Ya, begitu juga boleh.
Tak penting..

Yang jelas, kurasakan hanya tinggal aku sendiri,
Saat mengubur sajak-sajak yang tanah itu terus tangisi.








Jogjakarta, 18 mei 2010.

2 comments: