Sunday, May 23, 2010

Sayangnya Tak Mungkin

Saat saya menuliskan ini, saya sedang bersama teman-teman seperjuangan menunggu giliran bekerja. Di ruang transit talent yang dipersiapkan panitia, seusai makan malam yang berlaukkan ayam goreng, bihun pedas dan berbagai menu lain yang menggugah selera. Beberapa di antara kami, asyik tenggelam mengikuti tingkah polah Upin Ipin yang lucu dari balik layar televisi. Kekasih saya memilih untuk membunuh waktu dengan memetik senar gitar dan meneriakkan suara serakknya dalam lagu balad yang terdengar menyanyat. Terlontar begitu saja dari mulut seorang teman, tak terlalu ingat suara siapa, mengeluhkan betapa lama harus membuang waktu menunggu. Rasanya percuma. Saya pun sempat membenarkan, sebelum saya mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.

Kami duduk, makan enak, menonton televisi, lalu menyumpah serapahi waktu yang seolah tak tahu bila sedang dinanti. Namun sadarkah bila seisi ruangan ini bukan hanya tentang kita yang kelelahan dan nyaris mati berdiri menanti. Ada dia, ada mereka. Yang sebelum kita datang dan duduk, sudah tegak di samping pintu sejak tadi, menunggu seseorang di antara kita melambaikan tangan, menghampiri, lalu membersihkan sisa-sisa makanan. Selebihnya, waktu kembali dihabiskan untuk berdiri lagi, menunggu kapan waktu memunguti piring-piring kotor agar bisa berdiri lagi, di samping pintu sudut yang situ-situ lagi.

Seandainya bisa, tentu dia lebih ingin berbagi tempat dengan kita, duduk menunggu giliran bekerja, menghibur lalu dielu-elukan. Hanya sekedar berbagi tempat, merasakan nyamannya lokasi yang biasa mereka tinggali. Bukan untuk melayani, tapi menikmati. Menikmati hidup yang kata sebagian orang ringan, yang kata sebagian orang santai. Kata sebagian orang yang tentu saja bukan mereka.

Bila semua di bumi ini dapat duduk sama rata, bila semua yang bernafas saat ini adalah tentang sama-sama berdirinya, tak peduli yang melayani ataupun yang dilayani. Seandainya di ruangan ini tak ada yang menahan segala kelu di persendian kaki, seandainya seluruh yang berdegup jantungnya di tempat persegi ini tak ada yang sedang berandai-andai menjadi orang lain. Seandainya semua peran bisa rata bahagia, sama ringan tanpa beban, tentu saya tak akan memaksakan diri menghabiskan waktu menuliskan satu persatu kegundahan saya.

Namun saya tahu, sayangnya itu tak mungkin. Ini yang mereka sebut hidup, tak bisa hanya tentang sama lega sama rasa.

Hanya bertukar-tukar saja. Hari ini mungkin mereka yang menghela nafas, menyeka keringat, menahan tangis. Esoknya, bisa jadi itu cerita tentang saya. Yang meski mungkin untuk alasan berbeda, namun tetap mengalah pada lelah dan menangis diam-diam. Ya, sayangnya, semua hanya jejak yang selalu terlacak sebatas misteri.

Dan seandainya saja saya tahu apa yang menjadi rahasia waktu nanti.. Ah, tentu saja sayangnya tak mungkin.

Jogjakarta, 23 Mei 2010

2 comments:

  1. mbak santi aku ajari menulis seperti mu dong..
    tulisan2 mu bagus mbak..

    ReplyDelete
  2. waduuuh, lha aku juga masih belajar nulis :D
    wes rajin-rajin belajar nulis aja ya.. yuk ya..

    ReplyDelete