Wednesday, June 2, 2010

When I'm Sick

Rezeki itu bentuknya bisa macam-macam, tergantung bagaimana kita melihat dan menyikapinya, begitu pula halnya dengan ujian. Orang naik pangkat, dapat jabatan tinggi, naik gaji dibilang rezeki. Padahal bisa jadi itu adalah ujian, bila lantas menyalah-artikan kedudukan, menyalah-gunakan jabatan, memboncengi status dengan segala hal yang bermuatan kepentingan pribadi. Terkadang memang sulit melihat dengan jernih, sekedar menempatkan posisi berdiri agar tak salah perspektif, lalu mengambil sikap bijak untuk mensyukuri rezeki atau ujian. Saya pun hampir salah, ketika saya mendapati diri jatuh sakit di tengah padatnya aktivitas saya.

Sejak awal minggu kemarin, alhamdulillah, agenda saya lumayan seru, kalender saya pun lumayan ramai dengan tanda merah yang saya bubuhkan bila saya menerima pekerjaan disamping siaran harian saya. Tentu saja jatuh sakit bukanlah hal yang diminta siapapun orangnya di dunia, saya mengcancel 2 jadwal yang tak memungkinkan saya lakoni dengan kondisi penuh bercak dan demam. Belum lagi GERONIMO, Radio tercinta saya yang sedang meriah-meriahnya merayakan ulang tahunnya yang 39. Banyak acara saya lewatkan dengan rasa kecewa yang besar, “Duh gusti, kenapa mesti sekarang sih sakitnya, dan kok ya kenapa mesti cacar air”. Beberapa teman saya memberi respon meledek ketika tahu saya sakit cacar, “Ya ampunnn.. segede ini baru cacar?? Dulu kecil ngapain aja San, belum kena cacar??” Hahaha.. semestinya sih wajar saja, karena setelah saya crossed check dengan mama saya, katanya dulu semasa kecil saya memang belum sempat kena cacar air.

Ya. Awalnya, saya menganggap sakit saya ini adalah sebuah ujian, badan tak enak, muka jadi penuh bercak oh jeleknya, pekerjaan tertunda, aktivitas terganggu. Tapi lalu saya teringat pengalaman saya persis seminggu sebelum saya terkena cacar. Saya kedatangan tamu pasien penderita Lupus di radio tempat saya bekerja. Kami ngobrol banyak tentang penyakit seribu wajah ini. Penyakit yang bahkan dokter sekalipun akan kesulitan untuk mendiagnosa penyakitnya, mengingat symptom-nya mirip dengan banyak penyakit berbahaya lain. Ini penyakit yang obatnya tidak bisa dengan mudah kita tebus begitu saja di apotik. Penyakit yang mengharuskan mereka hidup bersama pengobatan dalam kurun waktu hitungan tahun, bukan hanya semingguan seperti penyakit cacar saya. Penyakit yang bahkan resikonya adalah kebutaan dan lumpuh, bukan sekedar bekas yang sulit hilang seperti resiko cacar yang saya alami. Mereka saja kuat, mereka saja tegar. Lha kok saya yang Cuma dikasih cacar saja mengeluh. Ini kan cuma cacar..

Masih lekat dan segar juga dalam ingatan saya. Dua hari sebelumnya, saya sempat melihat berita dari televisi, tentang pak Iksan, seorang bapak yang berusia 61 tahun di Surabaya, Jawa Timur. Beliau berencana menjual ginjalnya untuk membayar hutang dan pengobatan sang istri. Duh, mirisnya perasaan saya saat melihatnya, sehari-hari beliau hanya menyuapi istrinya yang sakit dengan nasi aking –nasi basi yang dikeringkan-, di rumahnya yang luasnya 3x4 meter, tak lebih luas dari setengah lapangan badminton. Benar-benar kehabisan cara, beliau berniat menjual ginjalnya untuk mengobati sang istri yang sedang sakit. Gusti Allah, mungkin memang benar ya, di negara ini orang miskin nggak boleh sakit, akan makin repot urusannya nanti. Saya bersyukur, masih bisa menanggung biaya pengobatan saya tanpa harus menjual ini itu. Tapi sayangnya tidak semua orang seberuntung saya. Banyak sekali manusia di luar sana, di tempat yang bahkan di luar batas jangkauan saya, mesti berpacu dengan kematian sekaligus melawan kemiskinan.













Bila memang sakit saya ini adalah ujian, maka ini hanya ujian kecil yang harus saya jalani. Ada ribuan ujian yang dihadapkan pada manusia dan itu ribuan kali lebih berat dari yang saya jalani. Saya sendiri pada akhirnya lebih suka mensyukuri sakit ini sebagai rezeki. Karena setelah saya renungi, cacar saya ini memaksa saya banyak berdiam di rumah, berpikir tentang ini-itu yang sebelumnya mana sempat saya pikirkan, saya menyelesaikan buku bacaan saya, saya berkumpul dengan keluarga -mama saya pulang, saudara-saudara saya mendoakan, pacar saya terus menyemangati dan rajin menjenguk ke rumah, teman-teman saya perhatian, saya punya banyak waktu untuk browsing banyak hal sesuka saya. Alhamdulillah.. Meskipun kalau dikasih cacar sekali lagi, rasanya saya lebih baik di hukum lari keliling lapangan 10 kali.. hehehe

Memang, pada akhirnya sama saja, dalam sebuah ujian sekalipun, selalu ada yang bisa direnungi dan dipelajari, agar masing-masing menjadi pribadi yang lebih baik lagi, baik akal maupun budi. Dan ini lah yang harus kita syukuri. Saya percaya dalam setiap ujian, Tuhan selalu punya maksud baik. Ikhlaskan saja..

Oh ya satu lagi, masalah waktu kedatangan cacar juga sudah saya ikhlaskan. Ya mungkin dipilihkan waktunya memang paling pas sekarang, ketika saya sembarangan saja mengatur waktu istirahat. Lagi pula saya anggap cacar sebagai satu lagi fase yang pasti dialami manusia, sama seperti akil baligh, menstruasi dan menopause pada wanita, seperti peristiwa ujian sekolah, kelulusan, kegagalan, bahkan juga seperti perkawinan dan kematian. Semua orang akan merasakannya, hanya saja datangnya di waktu yang tidak bersamaan..


Cheers,

Jogjakarta, 2 Juni 2010

4 comments:

  1. cepet sembuh ya sayang ya....i love u

    ReplyDelete
  2. makasih ya sayang.. I love u too :)

    ReplyDelete
  3. Dinar berpendapat .....senang rasanya mengetahui bahwa ada juga orang yang memiliki persepsi yang sama bahwa rejeki itu bukan hanya berupa materi dan kenikmatan semua belaka

    ReplyDelete
  4. Iya sayang... aku sangat sepakat :D

    ReplyDelete