Monday, March 22, 2010

Camar yang Tersedu

Keringat di wajahnya seperti titik-titik yang berbaris di pangkal dahi. Kuseka buliran itu dengan punggung tanganku, lalu sesaat kucium belakang lehernya, menelusuri kembali tubuhnya. Seperti biasa kubenamkan wajahku di sela-sela ketiaknya, tempat persembunyian paling aman dan nyaman yang pernah kurasakan. Hmmm.. aroma khas citrus dari parfumnya sempurna berbaur dengan lembab keringatnya. Aneh, mau cuaca dingin, mau dalam ruangan AC tetap saja dia berkeringat. Satu lagi kebiasaannya, seingatku tak pernah sekalipun dia terbangun lebih dulu dariku, pun tidak saat ini.

***

”Camar, permainan apa lagi yang kamu punya untukku hari ini?” Tanpa menunggu izin dariku lagi, sudah dihempaskan tubuh tegapnya di kursi malas depan televisi, tangan kanannya sibuk mencari saluran yang hanya menyiarkan berita petang ini. Aku duduk di sampingnya, kuamati wajahnya. Sepasang mata miliknya tampak bergelayut sayu, mungkin terlalu letih, mungkin terlalu sedih, mungkin juga terlalu sepi. Berat dugaanku, kemungkinan terakhirlah yang menjadi sebabnya.
”Mari kita bermain dengan undian yang sudah kusiapkan. Aturannya masih sama kalau jawabanmu benar kau dapatkan hadiahnya, tapi kalau salah, maka aku yang akan dapat hadiahnya darimu”, seketika aku menyulutkan semangat. Di kedua tanganku dua mangkuk kaca yang kubawa kugoyang-goyangkannya hingga bergelonjotan kertas yang kugulung kecil-kecil di dalamnya. Dia mengalihkan pandangannya dari layar datar itu ke dalam wadah di tanganku.
”Gimana?”.
”Tentu saja setuju. Yang mana yang berisi hadiah?”
Aku menyodorkan mangkuk di sebelah kananku, dia mengambil satu gulungan kecil di dalamnya. ”Akan kubaca nanti biar seru. Lalu beri aku pertanyaannya” diraihnya secarik kertas dari mangkuk di tangan kiriku. Dibukanya cepat-cepat, alisnya berkerut hingga pangkalnya hampir menyambung. Diperlihatkannya kertas itu padaku. Terbaca tulisan tanganku disitu ”BLACK THURSDAY”. Aku tersenyum, menganggukkan kepalaku.
”Katakan, apa yang kamu ketahui tentang peristiwa itu, sayang” ujarku ringan sambil melipatkan lengan kemeja panjangnya hingga sebatas siku. Kurasakan ia sempat menghirup wangi segar rambutku saat wajahku merapat dekat di dadanya.
”Ah, Camar. Yang benar saja, ini terlalu mudah” Ujarnya sambil tertawa ringan. Uh, sombong sekali, dumalku dalam hati.
”Sudahlah.. jawab saja” wajahku cemberut, pura-pura merajuk.
”Ok, itu terjadi di tahun...” dia tampak berpikir sebentar, ”1929” lanjutnya, ”sebuah peristiwa kehancuran bursa terbesar dalam sejarah Amerika yang menandai era depresi besar. Lima hari yang diawali pada hari kamis dan diakhiri di hari selasa saat harga saham mencapai titik terendah yang mengakibatkan kepanikan dimana semua orang menjual saham yang dimilikinya. Peristiwa itu lantas dikenal dengan nama Black Thursday dan Black Tuesday. Bagaimana?” dia tampak puas, senyumnya terkembang di wajahnya. Sementara aku cukup kecewa karena permainanku terselesaikan tanpa kesulitan yang berarti.
“Ya ya ya, tentu saja kamu boleh mendapatkan hadiahmu”. Wajahnya seketika sumringah, kali ini dibukanya gulungan lain yang tertinggal di tangan kirinya,
“Hahaha. Cepatlah, buatkan untukku. My favorite!!”, dia tertawa lebar, suaranya meninggi. Dikembalikan kertas kecil itu ditanganku, terbaca olehku “AYAM GORENG MENTEGA, CAP CAY SEA FOOD, SIRUP LECI” Sudah kuduga, reaksinya akan begitu, aku tau itu kesukaannya. Aku tersenyum senang.
“Hahahaha kelaparan rupanya kamu. Tunggu sebentar ya” aku mengusap rambutnya sesaat sebelum melangkah ke arah dapur..

Kubuka pintu lemari pendingin, di dalamnya sudah sengaja kusediakan bahan-bahan masakan yang dibutuhkan. Terasa suhu dingin meniupi permukaan tubuhku yang berhadapan dengan benda persegi itu, saat tiba-tiba kurasakan sepasang tangan kokohnya mendekapku dari belakang. Kubiarkan saja dia begitu, tak kubalikkan wajahku. Sementara dia terus merapatkan pelukannya.
”Malam ini aku tak ingin pulang. Bolehkah?” dia membisikkan permintaannya persis di telingaku, entah apa sebabnya, namun itu membuat bulu romaku berdiri.
”Kenapa begitu? Bukankah permainan kita sebentar lagi akan selesai.”
”Tidakkah kau ingin mendengar ceritaku tentang usaha Roosevelt saat memulihkan depresi besar di Amerika itu terjadi?”
”Nanti kau bisa menceritakannya sambil makan malam” masih belum juga kupalingkan wajahku, terlalu berdebar-debar rasanya jantungku.
”Apa kau masih punya pertanyaan lagi di wadah undianmu?” ucapnya lirih sambil menghirup udara dari telingaku.
”Ya, masih banyak.” aku semakin tak berdaya, suaraku nyaris tak terdengar.
”Kalau begitu akan kumainkan semuanya malam ini, bolehkan? Aku mohon..” Aku tetap tak berani memutar wajahku, saat aku menyerah dan memutuskan untuk menganggukkan kepalaku.

Malam itu dia mendapatkan semua hadiah yang kutuliskan di gulungan kertas kecil itu, semua pertanyaan bisa dijawabnya. Mungkin aku yang salah, pertanyaanku terlalu mudah. Namun permainan itu terlalu meriah untuk kami berdua, terlalu seru untuk kami hentikan, hingga lupa waktu. Perlahan aku melihat matanya berbinar, sorot sepi itu meredup. Tak dihiraukan ponselnya yang berulang kali berbunyi, tak satupun panggilan itu dijawab. Saat terbangun keesokan paginya, untuk pertama kalinya kudapati sebelah tangannya melingkar di pinggangku. Tangan hangat milik Raja.

***

Akhirnya dia terbangun juga, sembari mengerjap-ngerjapkan mata seolah takjub melihatku yang ada disampingnya. Oh apa kau hilang ingatan sayang, tak ada ciuman yang kau daratkan di keningku seperti biasanya. Dia melihat ke arah jam dinding kamarku lalu memastikannya lagi dengan meraih jam tangannya yang tergeletak di atas meja samping kanan tempat tidur. Tak ada satupun kata yang dia ucapkan padaku, dan itu sama saja dengan mengasingkanku. Tak ada obrolan hangat pagi hari kami seperti biasanya, sebaliknya dia beranjak dari tempat tidur dengan cepat, kudengar ia memercikkan air dari dalam kamar mandi lalu keluar dengan wajah setengah kering. Aku sengaja membalikkan badanku, agar dia tak melihat wajah anehku yang keheranan.
"Aku pulang ya.." kata-katanya mengagetkanku, aku mencubit lenganku. Aw... Sakit, aku tidak sedang bermimpi. Ini ganjil, dia aneh. Kupaksa tubuhku berbalik menghadapinya, "makanlah dulu, Raja, aku sudah menyiapkannya untukmu"
"Baiklah, tapi aku tak bisa lama-lama ya"

Aku mengikutinya dari belakang, Raja melangkah ke meja makan dengan langkah seperti robot, berat dan menyeret. Entah ada apa.

Dia tampak terburu-buru menelan roti bakar yang kubuatkan untuk sarapannya. Koran pagi yang kusiapkan hari ini bahkan hanya diliriknya. Oh demi Tuhan, maafkan aku, tapi itu menggangguku. Tak biasanya dia begini.
”Ada apa, Raja? Akhir-akhir ini kamu selalu terburu-buru? Sepertinya tidak tenang” tak tahan juga untuk tak menanyakan ini padanya.
”Tak ada apa-apa” dia seperti tersadar dari ketergesaannya, sesaat diperlambat kecepatannya mengunyah.
”Tapi semalam tidurmu tak tenang. Kamu mengigau.”
”Oh ya? Apa kataku?” Raja tampak terkejut.
”Umm tak jelas juga, hanya menggumam, demi Tuhan, demi Tuhan. Begitu terus berulang-ulang”. Raja seolah tak bereaksi, hanya kemudian mulai membuka koran yang sejak tadi dibiarkannya tergeletak begitu saja. Namun entah kenapa sorot sepi itu muncul lagi, menembus hingga mampu kurasakan dari balik lembaran korannya.
”Raja, aku mohon. Bicaralah. Ada apa denganmu?”
Aku mendengarnya menarik nafas berat, diturunkan bentangan surat kabar hingga aku bisa melihat wajahnya kembali. Betapa terkejutnya aku, aku melihat Raja dengan banyak sorot kesedihan, matanya sayu, wajahnya kuyu, aku kehilangan binar matanya yang selalu kurawat seperti bayi. Sudah lama tak kulihat sendu yang meluap seperti itu di wajahnya.
”Aku mencintaimu, Camar” tiba-tiba dia menangis tersedu-sedu, memecah keheningan. Dibenamkan wajahnya pada kedua telapak tangannya. Aku luar biasa sedih melihatnya, kuusap punggungnya berulang kali.
”Ya aku tahu, Raja. Akupun mencintaimu lebih dari siapapun”
Seolah sedang mengumpulkan kekuatan, ditariknya nafas dalam-dalam, terdengar berat, ”Sayangnya, aku tidak begitu, Camar. Bukan kamu yang paling aku cintai” ujarnya lirih. Jantungku seperti terhunus saat mendengarnya. Aku tak mengerti, apa maksudnya.
”Ada apa raja? Apa ini karena hubungan kita yang sudah tak seantusias dulu, apa karena manisnya gula-gula sudah habis terhisap. Raja, aku bisa menyiapkan permainan-permainan yang menarik seperti dulu, kalau kau mau” Oh, menghibalah, perempuan. Hanya ini yang aku takutkan akan terjadi. Kutundukkan kepalaku sama rata dengan meja bulat tempat biasa kami berkeluh dan berkesah. Ngilu yang menyekap kepalaku membuatku tak sanggup mengangkat kepala.
”Camar.. tentu saja bukan itu masalahnya. Aku berhenti mencintai siapapun selain kamu untuk menjadi pendampingku”
”Lalu apa Raja?” Suaraku melemah, aku mulai putus asa.
”Bintang...” Kata-katanya menggantung, suaranya bergetar. Kedua mata itu semakin meredup, binar itu benar-benar padam. Aku mulai meraba gelap dalam jiwanya. Kucoba meredakan emosiku yang seperti letupan gunung berapi.
”Aku mengerti, Raja. Tapi tak ada satupun yang mampu memisahkan ikatan ayah dan anaknya.”
”Tentu kau tak akan mengerti, Camar” dia mendesah pelan.
” Tenangkan dirimu, Raja. Tak akan ada yang bisa membuatmu berhenti mencintai Bintang, bahkan tidak juga aku. Kamu tak perlu bercerai, kamu tetap akan menjadi ayahnya yang sah”
”Tidak sesederhana itu!” Suaranya setengah teriak. Dia menutupi wajahnya yang merah dengan kedua tangannya. Aku benar-benar terperanjat, baru kali ini aku melihatnya begitu. Ya, sebelah hatiku yang terlanjur memar ini semakin berdenyut nyeri.
”Dengar Camar, ayahku itu berpoligami. Aku tahu bagaimana terlukanya menjadi Bintang!!” Suaranya menggelegar. Sakit yang bertubi-tubi menghunusku membungkam mulutku. Aku tak bisa menangis lagi, hanya pahit diseputar tenggorokan yang kurasakan ingin kumuntahkan.

Ponselnya berdering, nyaringnya sumbang ditelingaku. Tak biasanya Raja begitu bergegas menjawab panggilannya. Sesaat dia melangkah menjauh dariku, wajahnya tampak cemas, beberapa kali dia mengusap wajahnya dengan tangan kanannya. Sayup- sayup kudengar nama Bintang disebut berulang kali setelah nama sebuah Rumah Sakit di kota ini. Selebihnya pembicaraan itu terdengar seperti suara serangga yang berdenging menyakitkan.

Binar itu benar-benar padam, sorot kesepian menguasai setiap celah di wajahnya, matanya semakin sayu, seolah kesedihan terlampau berat menggelayutinya. Tatapannya membuat mataku semakin nanar. Untuk terakhir kalinya dia menggenggam tanganku, kurasakan dingin yang luar biasa menjalar hingga menyengat syaraf di kepalaku. ”Camar, maafkan aku. Aku benar-benar harus pergi. Bintang membutuhkanku”.

Seolah melepas kematian suami, aku benar-benar dirundung duka. Namun tak ada air lagi air mata, sepertinya kelenjarku bahkan tak mampu lagi bekerja, aku benar-benar tak berdaya. Hanya lambungku yang mengirimkan asam hingga sampai di kerongkongan, aku ingin muntah. Sekujur tubuhku terasa dingin namun aku berkeringat. Kesedihan ini menghanyutkanku hingga aku ketakutan. Aku mengingat-ingat kalender reproduksiku dengan jantung yang berdentum keras. Tolong cukupkan Tuhan, jangan buat kemalanganku bertambah runyam.

Jogjakarta, 22 Maret 2010

No comments:

Post a Comment