Wednesday, February 3, 2010

Impian Lembayung

Kali ini dia tidak ikut mencicipi es buah segar bersamaku. Padahal semestinya saat terik matahari menyengat di atas ubun-ubun kepala seperti sekarang, melepas dahaga dengan beberapa potong buah dingin yang dilumuri pemanis dan susu akan serupa surga bagi kerongkongan yang kerontang. Awalnya aku pun enggan mampir di warung es buah langganan kami yang terletak di ujung gang dekat rumahnya, namun dia bersikeras memaksa, katanya dia pun nanti ingin berbuka puasa dengan es buah kesukaannya sebelum warung kecil itu menutup kiosnya tepat pukul tiga seperti biasa. Aku tak suka berdebat dengannya, nyaris selalu kuikuti keinginannya.

“Benar tak apa aku makan es buah di depanmu begini?” Kikuk rasanya memakan semangkuk es buah itu sendirian, sementara seorang perempuan manis disebelahku hanya asyik melahap kertas-kertas yang tak bisa tidak berceceran, sebentar-sebentar ditatanya kertas-kertas itu menjadi satu tumpukan.
“Sudahlah tak apa. Aku khawatir kalau aku pulang, tak akan selesai soal-soal ini aku kerjakan. Bisa bisa aku hanya pulang dan tertidur. Lagi pula aku sudah niat puasa, bertirakat untuk keinginanku” Ujarnya sambil terus menatap kertas dihadapannya. Aku melirik sebentar, ada beberapa butir pertanyaan sejarah diatas lembarannya.
“Itu, soal nomer 5, jawabannya D, persoalan adat” jawabku iseng sambil terus mengunyah potongan buah yang terasa manis. Dia melihat kearahku, alisnya berkerut.
“Penyebab perang Paderi tahun 1821-1837 di Sumatra Barat kan? Ya, persoalan adat” lanjutku tak acuh. Perempuan itu mengangguk cepat, melingkari huruf D dengan pensil birunya. Aku terus mengintip dari samping, menelusuri pertanyaan-pertanyaan sejarah yang menguji ingatan beliaku semasa duduk di bangku sekolah dulu. Ah, butir pertanyaan mengenai supersemar masih saja ditanyakan. Aku tergelak pelan, terbersit apa pentingnya mengujikan persoalan sejarah yang terkadang kebenarannya sudah dibelokkan, yang keabsahannya masih juga menjadi pertanyaan. Seolah semacam meneruskan mata rantai kebodohan yang tak putus-putus. Hingga tanpa kusengaja, aku semakin terjerat menjawab satu persatu soal-soal sejarah yang terkadang membuatku tak sadar mengucapkan jawabannya terlampau keras. Hingga perempuan yang selalu aku kagumi itu mulai menampakkan mimik muka terganggu, meski bagiku wajahnya tentu saja tetap terlihat lucu dan lugu.

“Kenapa tadi tidak kau beli saja sendiri kumpulan soal tes CPNS itu di depan gerbang sekolah tadi. Lagi pula, tak perlu kau beri tahu pun aku sudah tahu jawaban soal-soal itu” Ujarnya pelan sambil tak sedikitpun melihat kearahku. Seolah seperti sedang berbicara pada lembaran kertasnya yang sudah ditutup rapat dan dihantuk-hantukkan perlahan pada bidang datar hingga menimbulkan suara gesekan kertas dan kayu yang khas.
“Eh, maaf, jangan marah ya. Akan kukunci rapat-rapat mulut usilku ini” tak bisa kukaburkan rasa cemas bila dia bersungguh-sungguh marah padaku. Persoalanku satu, aku tak pandai merayu perempuan yang merajuk.
“Ummm, begini, kau kan sudah sering menghadapi pertanyaan-pertanyaan itu di sekolah. Tentu kau akan dengan mudah menjawabnya lagi besok saat ujian, ya kan? Tenanglah.” Aku bersunguh-sungguh dengan ucapanku. Sudah lebih dari dua tahun ini, dia mengabdikan dirinya dengan menjadi Guru Tidak Tetap (GTT) di Sekolah Dasar di salah satu kecamatan. Menghadapi murid-murid kelas 4 yang bandel dan sulit diajak berkonsentrasi karena mulai banyak keingintahuan yang harus dicukupi. Sekali waktu pula, dia sempat bercerita padaku tentang honornya yang ternyata tetap saja di bawah UMP (Upah Minimum Propinsi) di bulan pertama setelah keputusan itu ditandatangani Gubernur. Tapi aku yakin bukan itu alasan kenapa dia sangat menginginkan menjadi guru tetap dan mengikuti test CPNS, melainkan agar dia bisa membuat ayahnya bangga, agar bisa kembali dekat dengan ibunya yang semakin sering sakit-sakitan di usia tua, agar bisa kembali pulang ke kampung halaman di Sipora, salah satu kecamatan di Mentawai, Sumatra Barat dengan kepala tegak sebagai anak kebanggaan keluarga . Meski itu berarti pula aku harus dipaksa untuk tak lagi bisa melihat wajahnya yang cantik alami setiap hari. Tapi toh sudahlah, apa hak ku mencegahnya meraih kebahagiaannya sendiri, kekasihnya pun aku bukan. Sesaat nafasku terasa sesak. Hingga kudengar dia menarik nafas panjang, lalu menyelipkan beberapa helai rambutnya di balik telinga.
“Aku ingin sekali menjadi PNS” ucapannya lemah, namun tetap terdengar jelas olehku.
“Tak ada alasan yang membuatmu tidak diterima, Lembayung. Percayalah. Kamu mempelajari soal-soal itu setiap hari. Kamu menghadapi soal-soal itu di sekolah, kamu berdoa setiap waktu. Kamu pasti berhasil” Aku bersemangat, bahkan aku rasa mataku berbinar saat aku mengucapkannya. Bukan, bukan, aku bukan sedang membesarkan hatinya, tapi memang begitu kenyataannya. Bahkan saat itu ingin sekali kugenggam tangannya, menguatkan pijakannya hingga perempuan itu mampu melambung dan mendekat pada mimpinya. Namun tentu saja aku tak sanggup, seolah dia terlalu indah untuk tersentuh oleh tangan kasarku. Dia hanya tersenyum manis, menatapku sesaat, lalu kembali menekur. Kurasakan nafasnya lembut ditelinga.
“Kau tau, terkadang, keberuntungan malas mampir menghampiriku”
Aku terdiam, es buah yang terlanjur terkulum di mulutku terasa hambar. Lalu aku meratap pelan-pelan, tak ingin didengar yang lain kecuali Dia yang kusebut Tuhan. Bisakah kuminta seluruh persediaan kesedihan, agar perempuan ini tak lagi mengenalnya dalam kehidupannya. Atau paling tidak, akan kupenuhi tempayanku dengan kesedihannya hingga porsi miliknya berkurang.

Namanya Lembayung. Hanya Lembayung, tak ada tambahan nama yang lain. Namun bagiku kebahagiaannya berarti ribuan kali lipat dari satu kata jumlah namanya.

***

Kutelusuri satu persatu ruas jalan yang entah dimana ujungnya, berkelebat bayangan Lembayung berlarian mengejarku dari trotoar disebelah kiri. Sengaja kukemudikan perlahan laju sepeda motorku, agar sempurna kenangan akan Lembayung yang terekam dari awal pertemuan hinggaaa, hinggaa, hingga entahlah. Aku bahkan tak tahu sampai kapan kenangan indah tentangnya akan bertahan, yang pasti semua ingatan itu kurapikan setiap hari hingga tak ada yang tercecer, lalu kuagungkan sebagai milikku yang berharga, meski hanya dalam ingatan. Lembayung. Perempuan yang kutahu menggenggam perasaanku dengan kuat, namun terlalu takut aku akui cinta.

Kami bertemu saat sama-sama menempuh pendidikan di IKIP Karangmalang, ketika itu kami sering dipertemukan di beberapa kuliah umum. Kami memang mengambil bidang yang berbeda, aku mengambil jurusan bahasa inggris dan dia matematika. Selepas bergelar sarjana strata 1, rupanya aku lebih beruntung, mendaftar menjadi guru bahasa inggris di sebuah STM Negeri dan langsung diangkat menjadi guru tetap setelah baru hampir setahun mengajar. Sementara Lembayung memutuskan untuk memulai kariernya dengan menjadi guru Sekolah Dasar. Sayangnya setelah dua tahun mengabdi, belum juga ada pengangkatan guru honorer menjadi guru tetap. Tapi aku tahu, dia sangat menikmati profesinya, terlihat dari matanya saat bercerita tentang murid-muridnya. Dia bilang, sebenarnya dia ingin sekali mendaftar tes CPNS untuk guru Sekolah Dasar, namun sayangnya persyaratan bahwa guru tetap Sekolah Dasar haruslah lulusan PGSD (pendidikan guru SD) membuat Lembayung harus mengurungkan niatnya dan mengikuti test CPNS untuk menjadi guru SMK. Katanya lagi, asalkan bisa jadi PNS dan dekat dengan orang tua pasti lah orang tuanya akan senang. Kebahagiaan orang tuanya adalah kebahagiaannya juga, katanya berulang-ulang hingga aku menghafal kalimat itu bahkan dengan intonasi yang benar.
Tak akan sulit untuk membuatku mengerti. Apa bedanya dengan ketika aku meriaki cermin didepanku yang memantulkan gambar wajah murung dengan banyak lipatan menurun saat tahu dia akan pulang kembali ke tanah kelahirannya dan meninggalkan aku. Berulang kali kukatakan pada diriku, tak ada yang lebih indah dari membiarkanmu meraih kebahagiaanmu, Lembayung. Mengenai imbasnya pada kesedihanku, itu bukan masalah besar.

Kutelusuri satu persatu bangunan yang tak bergerak namun berceloteh banyak. Itu dia, warung bercat hijau dengan banyak kalender terpasang di dindingnya. Menjual sop ayam yang sering kami kunjungi bila sesekali ingin makan siang bersama. Makan disana biasanya akan membuatnya berkeringat, lalu kulit yang melekat di tubuhnya akan tampak makin bersinar. Kerap pada akhirnya aku akan mati-matian merutuki hatiku yang meneriakinya cantik, karena khawatir akan terdengar. Tak jauh dari situ, satu kios tambal ban pernah menjadi penyelamat rinduku. Saat di suatu sore aku menghabiskan waktu bersamanya lebih lama dari semestinya karena harus menambalkan ban sepeda motorku yang kempes diluar agenda. Aku tergelak mengingat satu persatu peristiwa. Lalu terpaksa diam manakala sepeda motorku mendekati toko buku yang terletak di sudut perempatan tempat kami sering meluangkan waktu di akhir minggu. Nyeri rasanya bila membanyangkan beberapa akhir pekan nanti, aku hanya akan melangkahkan kaki kesana seorang diri. Tak ada lagi sosok yang biasa membuatku kesulitan mencarinya saat hendak mengajak pulang setelah kita berpencar mencari buku kesukaan. Ya. Terlalu banyak bangunan yang sudah kutelusur bersamamu, Lembayung, terlalu lama juga kupendam perasaan yang kubiarkan tumbuh dan sebentar lagi kukhawatirkan ledakannya mampu membuat organ-organ dalam tubuhku berceceran.

Ah, lembayung, apa kau tahu perasaan takut kehilanganmu, sesorang yang bahkan bukan milikku itu terus menghantui hingga nyaris membuatku celaka. Aku berdarah saat mencukur kumisku terlalu sering meski sudah tak satupun bulu menempel di atas bibirku. Motorku nyaris tersenggol angkutan kota saat lupa tak menyalakan sein kiri saat berbelok di jalan raya. Aku terlalu berlebihan memikirkanmu belakangan ini, Lembayung. Memikirkan kebahagianmu.

Sudah kuputuskan. Akan kuungkap perasaanku padanya saat penguman keberhasilan tesnya nanti. Sebelum ia kembali pulang mencium tangan ibunya, meraih mimpi dan kebahagiaannya, lalu perlahan beringsut melupakan lelaki yang mengaguminya disetiap hentakan kaki.

***

Mataku terus menelusur satu persatu ribuan nama yang tercantum di website Pusat Pengumuman CPNS Indonesia. Sungguh tak ada yang lebih kuinginkan dari menemukan namanya diantara barisan nama-nama itu. Terbayang ceria wajahnya saat kusampaikan berita bahagia yang mendekatkannya pada impiannya. Betapa akhirnya segala yang kusampaikan padanya adalah benar, perjuangannya tak akan berujung pada satu yang sia-sia. Meski lalu sesaat pula perasaan aneh itu datang, perasaan sepi saat membayangkan hari-hari yang kehilangan kebersamaan yang selalu aku nantikan.

Tanganku berkeringat, Kipas angin di ruang laboratorium sekolah ini tak mampu menghentikan kerja kelenjar keringat yang terus mengucur hingga baju dinas warna colatku basah. Wajah bahagia Lembayung dan hari-hari sepiku esok hari berganti-gantian melintas, hingga aku harus mengerjapkan mata sesekali agar pandanganku terlihat lebih jelas. Berulang kali pula layar komputer itu kupandang lekat-lekat. Namun sayang, tetap saja tak ada, tak kutemukan satupun nama Lembayung di situ. Lalu perlahan yang nampak hanya kesedihan dimatanya yang menggelayutiku hingga terasa berat saat bulu mataku bergeletar meski sedikit. Yang kutahu, rasanya kesedihan Lembayung yang menyakitiku ini ingin kutukar dengan hari-hari sepiku esok hari.

-a short story-

Jogjakarta, 18 Desember 2009

No comments:

Post a Comment