Wednesday, February 3, 2010

Ikat Pinggang Anyelir

Seperti halnya pheromone yang bekerja pada masing-masing tubuh manusia, aku juga memiliki aroma khas yang melekat pada kulit langsatku. Aroma menyegrak yang membuat beberapa manusia lain memalingkan pandangannya ketika aku melintas. Tidak cukup mengganggu aktivitas manusia lain, tapi memang menyita perhatian. Aroma yang pasti tidak diinginkan oleh siapapun di dunia. Aroma kemiskinan.

Setiap jejak dalam balutan sepatu butut yang tak pernah kuganti meski tak serasi dengan busana hari ini selalu terasa berat saat memasuki gedung bertingkat itu. Meski tentu saja sebenarnya tidak mutlak begitu, namun bangunan berlantai 4 itu terlanjur menjadi standar korelasi positif antara pendidikan tinggi dan budi pekerti. Sering pula aku pertanyakan ulang arti kehadiranku di ruang berproyektor tersebut, apakah memang benar menuntut ilmu harus ditempuh dengan cara semenyakitkan ini.

Kurasakan langkah segerombol teman perempuan mendekat saat masih asyik kumainkan pena pada lembaran kosong di atas meja.
“Anyelir, tidak ke kantin?”
Belum sempat aku menjawab, teman yang lain terlanjur lebih cepat menimpali,
“Sejak kapan Anyelir makan di Kantin. Anyelir pasti puasa lagi hari ini. Ya kan?” Perempuan berambut sebahu dengan tatanan seperti baru keluar salon itu pura pura menahan tawa, mencoba melecehkanku dengan kalimat retorisnya. Lalu mereka berlalu bahkan tanpa sudi melirik sedikitpun, sementara aku hanya menahan umpatan yang tertahan di tenggorokan. Sial. Aku memang nyaris lupa kapan terahir kali kupilih asupan lezat dan bergizi untuk dicerna lambungku. Biasanya tak kubutuhkan banyak kriteria makanan, cukup asal bisa dikunyah dan asal ada, sesimpel itu saja. Selebihnya, otakku terlalu sibuk menyampaikan pesan tentang angka angka bersatuan rupiah yang harus kupenuhi demi semester yang masih ingin kulalui. Pesan tentang perut yang meronta lapar selalu berakhir menjadi perintah yang nyaris selalui terabaikan. Tanpa bermaksud penuhi sunah Rosul, aku memang selalu berhenti makan sebelum merasa kenyang, atau lebih tepatnya aku berhenti makan dan tanpa pernah merasa kenyang.

***

Lelaki dibelakang meja itu tertidur dengan mulut menganga. Siang yang panas dan pelanggan yang nyaris tak ada memang menjadi pemicu kantuk yang sulit dihindari. Kuketukkan recehanku diatas mejanya. Dia tak bergeming. Lalu kuketukkan sekali lagi dengan lebih kencang. Dia tampak terkejut, reflek dihapusnya sedikit liur diujung mulutnya. Ahirnya dia terbangun juga dari nyenyak tidur siangnya.
“Loket nomer 3 ya, Dik” ujarnya. Aku hanya mengangguk. Apa bedanya nomer 3 atau nomer yang lain, toh dari kesemua loket yang berjajar itu tak satupun berpenghuni. Saat nyaris semua orang sudah mempunyai telpon genggam, bisnis Warung Telekomunikasi (Wartel) rasanya sudah memasuki fase Declining, fase ke 4 berdasarkan teori product life cycle dalam ilmu ekonomi. Apa mau dikata, kemajuan tehnologi dan pertumbuhan ekonomi yang berkembang pesat menyebabkan produk-produk elektronik mempunyai siklus hidup yang lebih cepat mengalami fase ini, fase dimana sebuah bisnis atau produk nyaris mengalami kematian karena keuntungan yang terus mengalami penurunan. Lihat saja bagaimana sejarah popularitas pager atau disket yang sekarang tinggal kenangan. Aku rasa semestinya cukup pantas bila pemilik wartel ini memberiku hadiah sebagai penghargaan karena terbukti masih saja menjadi pelanggannya yang setia.

Suara ibu di ujung telpon terdengar tersengal-sengal. Jarak antara rumah dan kelurahan tempatku biasa menumpang menelponnya memang lumayan juga. Belum lagi ditambah dengan kepanikannya memikirkan ongkos menelpon yang sama dengan ongkos sekali makanku dengan lauk sederhana.
“Hallo. Ada apa Anyelir? Jangan telpon lama-lama. Nanti mahal”. Aku menghela nafas perlahan, tak ingin ibu mendengar deru nafasku. Rasanya pilu mendengar cara perempuan itu menyapa darah dagingnya setelah lama tak berjumpa.
“Ibu apa kabar? Sehat, Bu?”
“Ibu sehat. Tapi bapakmu sakit” Ibu tak mampu menutupi nada sedih dari bicaranya.
“Sakit apa bapak, Bu? Sudah berobat?”
“Uang dari mana Anyelir. Sudahlah, doakan saja bapakmu. Ini sudah berapa ongkosmu menelpon? Jangan lama-lama nanti mahal” kulirik barisan angka berwarna merah yang setiap pergerakannya membuat detak jantungku berdebar lebih cepat.
“Usahakan bapak berobat ya, Bu” ujarku tanpa hiraukan pertanyaan ibu tentang ongkos telepon tadi.
“Seandainya bisa, Anyelir” Kurasakan ibuku kehilangan tempo bicaranya yang cepat, perempuan itu terdengar seperti kehilangan semangat. Lalu tak satupun diantara kami sanggup mengeluarkan suara, mungkin dalam hati kami sedang sama-sama merutuki kemiskinan.
“Sudah dapat pekerjaan, Anyelir?” suara ibuku memecah keheningan.
“Belum, Bu. Susah sekali mencari pekerjaan di kota kalau hanya punya ijazah SMA” ujarku lemah.
“Oh. Kalau begitu sudah dulu telponnya ya, nanti mahal, kamu ndak bisa bayar”. Aku hanya mengangguk, aku yakin ibuku mengerti bahasa gerakku walau tanpa melihatku.
“Jaga diri baik-baik Anyelir. Dan jangan lupa, kencangkan ikat pinggang”. Tanpa menunggu kesepakatan dariku, suara ibu terlanjur terganti dengan bunyi tut-tut yang berulang cepat. Kumasukkan lagi kertas putih berlipat empat yang semula hanya kupakai untuk berkipas, kipas angin kecil disudut bilik ini tak lagi berfungsi . Sudahlah, pun tak mungkin ada gunanya kuceritakan isi kertas itu pada ibu.

Jaga diri dan kencangkan ikat pinggang. Selalu kuhafal pesan ibu yang memang selalu sama itu. Pesan untuk menjaga diri baik-baik adalah pesan standar yang diucapkan orang tua pada anaknya, namun kencangkan ikat pinggang bukanlah pesan singkat biasa. Bukan sekedar ungkapan bermakna konotasi yang berarti hidup prihatin. Untuk keluarga miskin seperti kami, pesan ini disepakati agar harus dilaksanakan sesuai makna sebenarnya. Mengencangkan tali pinggang hingga terkait di lubang terjauh dari ujung tali. Lingkar pinggang sengaja tak dibiarkan bebas bergerak, dengan begitu perut akan terasa sesak hingga hanya menyisakan sedikit tempat untuk sebuah rasa lapar yang itupun selalu ditunda kedatangannya. Kencang kurasakan benda panjang itu melilitku setiap hari, hingga bila terlepas, akan terlihat garis-garis melingkar yang tertinggal membekas pada kulit. Sepintas kulirik ikat pinggang coklat yang tak pernah tak melingkar di pinggangku. Hari ini sudah kutambahkan lagi satu lubang pada kulit sintetis murah itu. Sepertinya perutku mulai mati rasa.

***

Beberapa helai bulu tampak dari 2 kancing baju atas yang dibiarkan terbuka pada kemejanya, sementara matanya luwes berkedip memberi sinyal birahi yang sudah tak mau kompromi. Senyum nakalnya membuatku jijik. Aku sungguh mau muntah. Lelaki berperut buncit dan berkepala nyaris botak itu terus terkekeh seperti setan dengan mata yang hanya mau mengubah arah pandangnya disekitar dada dan pinggangku. Andai saja lembaran uang berwarna merah itu tidak tersusun diatas mejanya, rasanya aku tak sudi berlama-lama berhadapan diseberang mejanya. Dia terkekeh lagi, kali ini dengan sedikit memainkan lidahnya, sementara mata yang berkilat liar itu seolah terpaku di pinggangku. Aku menggelengkan kepala keras-keras. Kuminum sebotol air mineral yang nyaris habis setengahnya, berharap bisa menghilangkan nervous agar ikut hanyut bersama tegukan.

Kali ini benar-benar ingin kumaki kelancangan pikiranku yang terlanjur berharap muluk sebelum melangkah ketempat ini. Tempat simbol gaya hidup hedonis yang membuai kaum muda memanjakan mimpi. Tempat dimana beberapa pemain sinetron atau bintang iklan televisi itu biasa mengungkap bagaimana kisah awal perjalanan karier mereka dimulai. Terdengar sangat mudah dan sederhana, sekedar cucimata di Mall lalu tanpa sengaja bertemu dengan pencari bakat atau produser iklan. Simsalabim abracadabra, kurang dari sebulan wajah-wajah segar itu merajai layar kaca. Sayang, aku terlambat menyadari bahwa dongeng tentang keberuntungan semacam itu tak akan sudi menyapaku. Selain kemiskinan, tak ada yang semangat berlama-lama menemaniku. Dan untuk perempuan seperti aku, kata keberuntungan semestinya diganti dengan kerja keras yang dibalut keputusasaan.

Ingin kuludahi tapi entah kenapa mulutku tetap rapat terkunci saat ditambahkannya lagi lembaran merah itu diatas mejanya, susunan itu bertambah tinggi. Jemarinya gemeletak dimainkan diatas meja, seolah siap membeliku dengan harga berapa saja. Lembaran seratus ribuan yang ia susun rapi itu membuat kepalaku terasa terlalu berat. Gambar wajah pasi bapak dan surat peringatan berlipat empat dari fakultas yang baru kuterima kemarin bergantian mengejarku. Aku berkeringat, menelan saliva yang terasa pahit. Lelaki itu membuka lagi 1 kancing bajunya sementara mata itu masih berkilat ganas saat terus menatap pinggangku. Kurasakan terlalu berat beban diatas kepalaku, sekuat tenaga berusaha kugelengkan kepala keras-keras. Tapi sayang tak berhasil. Aku hanya diam saat lelaki itu menghampiriku, menyentuh pinggangku.

***

Lalu kurasakan airmuka ibuku menangis saat kurenggangkan ikat pinggangku. Melupakan pesan ibu.


Jogjakarta, 9 Agustus 2009 * Untuk keberuntungan yang mulai menjadi barang langka

No comments:

Post a Comment