Tuesday, February 9, 2010

Sebersyukur Sujud Sesederhana Kendang

Namanya Sujud Sutrisno, lebih sering dikenal dengan nama Sujud Kendang. Nama yang cukup akrab di telinga kalangan seniman Jogjakarta, meski ternyata saya pun baru kemarin pertama kalinya melihat langsung aksi panggung "Mbah Sujud", nama panggung yang kerap disandangnya. Mengenai profesinya, beliau lebih suka menganggap dirinya sebagai "PPRT" atau "Pemungut Pajak Rumah Tangga" ketimbang pengamen, karena biasanya dia akan mendatangi satu rumah ke rumah lain untuk bernyanyi dan berharap kebaikan dari penghuni rumah :)

Beruntungnya setelah sepuluh tahun lebih tinggal di Jogjakarta, akhirnya kemarin di salah satu event Outbond teman-teman Sembilan Communication, saya tidak ketinggalan melihat penampilan icon seni yang berasal dari Klaten ini. Perawakan kecil mbah yang kelahiran tahun 1953 selalu dibarengi dengan senyum yang mengembang di wajah lucunya. Dia adalah sosok seniman yang saya acungi jempol karena kepiawaiannya bermain kendang tunggal, suaranya yang jernih dan juga kecintaannya pada dunia seni. Apa lagi yang harus kita ragukan tentang kecintaan beliau pada panggung kesenian, bila dia sudah mulai bermain kendang sejak tahun 1964 hingga sekarang. Mungkin saja kita berpikir, ah beliau begitu kan karena memang tak punya pilihan lain. Namun saya rasa tidak juga, dengan jam terbangnya yang sudah seperti sekarang, dengan namanya yang tidak lagi dipandang sebelah mata *setidaknya di kalangan seniman, untuk sekedar beralih profesi menjadi pemilik warung kecil misalnya, tentulah tidak akan sulit. Namun bahwa memainkan kendang bukan semata-mata karena uang, dan untuk sebuah alasan yang hanya mampu diukur dengan rasa. Mengingat bagi beliau bermain kendang juga mampu menjadi media untuk melepaskan tekanan jiwa, maka lantas bagi saya pribadi pilihannya untuk terus menekuni bidang kesenian terasa lebih manusiawi dan masuk akal.

Bukan semata karena penampilan Mbah Sujud yang sederhana, selalu setia dengan surjan, blangkon dan hiasan kumis ala Asmuni di wajahnya yang membuat saya terkesima, namun juga kepiawaiannya menyanyi beberapa lagu medley langsung, tanpa terputus. Wooow tentu membutuhkan kemampuan vokal yang tidak main-main dengan pengaturan nafas yang baik. Improvisasi lirik lagu yang beliau mainkan juga terdengar hidup, muncul secara spontan, mengandung parodi, lelucon, sindiran, kritik sosial, dan terkadang diselingi hal-hal yang agak "vulgar" memaksa penontonnya untuk terlibat dan menyumbang tawa.

Meski sudah acap kali ikut pentas di panggung-panggung besar, yang berlevel nasional ataupun internasional, mbah sujud tetap memegang teguh prinsip hidupnya, "nrimo ing pandum". Sebuah falsafah Jawa yang berarti menerima suratan takdir dengan kesabaran dan kerendahan hati. Menurut Mbah Sujud, takdir atas dirinya berada di tangan Tuhan. Itulah kenapa setiap kali mengakhiri permainan musiknya, dia tidak pernah berharap bayaran, namun menerima apa yang orang lain berikan secara ikhlas.

Sedikit mengganggu saya, ketika mengetahui fakta dari wikipedia, ternyata beliau bahkan juga pernah membuat sebuah album yang sudah di pasarkan di Amerika Serikat dan Eropa. Sebuah album yang bertajuk "Street Music of Java", musik orisinil, direkam tahun 1976-1978. Kenapa lantas fakta ini bukan hanya membuat saya ikut merasa bangga tapi juga sedikit terganggu, karena ternyata beliau dan beberapa musisi yang terlibat di album bertaraf internasional itu tidak mendapatkan sepeserpun royalti dari hasil album yang sudah terjual.

Oh oh oh, Beliau bahkan jelas-jelas sudah lebih dulu go Internasional di banding Agnes Monica yang gembar gembornya di infotainment sejak beberapa tahun yang lalu. Tapi masih saja kesederhanaan cara berpikir dan menyikapi hidup di letakkan di atas segalanya bahkan untuk sesuatu yang semestinya bisa diraba secara duniawi.

Kadang saya berpikir, semestinya Mbah Sujud harus lebih bisa memanage pekerjaannya secara profesional sebagai bentuk penghargaan atas dirinya sendiri, dan tentu saja untuk taraf hidup agar bisa lebih baik. Tapi lantas juga saya kebingungan dengan sebelah hati saya yang mengkonfontir, atau sebaiknya saya yang perlu belajar pada kemulian berpikir beliau. Belajar tentang kecintaan yang ikhlas Mbah Sujud pada dunia seni dengan falsafahnya "nrimo ing pandum". Sebuah hal yang tentu cukup langka ditemukan di jaman yang serba rupiah seperti sekarang.

Seperti penghargaan yang diberikan oleh pimpinan grup musik Kua Etnika, Djaduk Ferianto, yang memberi gelar Mbah Sujud dengan sebutan "Pengamen Agung", bagi saya Sujud Kendang adalah sosok pengamen agung yang dalam arti sebenarnya, meski kecil perawakannya, namun jelas agung batinnya, agung juga nama dan kontribusinya untuk dunia kesenian.

Jogjakarta, 10 Januari 2010


3 comments:

  1. wah..keren bgt ni emang mbah sujud...
    beruntung banget nih mba dah ketemu beliau..

    ReplyDelete
  2. iya, baru sekali itu doang.. tapi meninggalkan kesan yang dalam... ciiieee :p

    ReplyDelete
  3. dulu aku inget kalo acara opo sih kae jenenge.. sik sambi ngeling2. jumat jam9 mlm...
    mmm..
    oh yo, humor alternatif, dibyo armand dsb dulu sering muter lagu ini. aku taunya juga dari gero juga ternyata.
    hehehe.

    ReplyDelete