Wednesday, February 3, 2010

Hadiah

Entah bagaimana aku harus membayarnya. Rasanya makin mengalir makin tak ada pula artinya airmata. Makin pahit, makin kebal tenggorokan menelan bulat semuanya. Dan tahukah, makin mahir pula kuangin-anginkan perih sayatan luka. sialnya, masih juga terasa perih meski rintih sudah kubenamkan jauh di balik bantal.

Harus bagaimana, selain menguatkan tumpuan kaki yang terkadang lelah berpijak. lalu mengeratkan cengkeraman yang menggenggam pegangan. Pandanganku mulai nanar. Mata kananku semakin menyipit. Silau.

Terpancar cahaya kekuningan seperti keringat yang terpantul sinar matahari. Kemilaunya seperti linangan yang setiap tetesnya berderai menjelma menjadi kristal.

Inikah upah bagi perjalanan?

Bingkisan indah menari-nari dari seberang. Lentik dan gemulai bercerita tentang dongeng beralur ke depan dan berlatar kebahagiaan. Perlahan teriring alunan yang terunut sampai di telinga perempuan.

"Dengar santi sayang, kamu tidak sedang sakit, kamu sedang berjuang"

Hei, suara yang sendiri dan kesepian. Apakah itu kamu juga yang melambaikan tangan pertanda keletihan? Aku sedang berjalan, mohon tunggulah sebentar. Aku kirimi kau berlapis kesabaran melawan dingin malam panjang.

Tak akan kubuka hadiahku sendirian. Butuh sepasang tangan, sebelahnya dari semburat tangan kasar milikmu yang kuhapal benar.


Jogjakarta, 29 Oktober 2009

No comments:

Post a Comment