Wednesday, February 3, 2010

Pembagian Tugas Itu

Entah bagaimana awalnya, yang jelas kita sekarang sudah mahfum sekali dengan banyak pengklasifikasian karakter ataupun job description yang kita lekatkan pada gender tertentu. Seolah-olah hukumnya pun lantas menjadi saklek alias mutlak . Misalnya saja bahwa perempuan haruslah lembut dan telaten, sementara laki laki haruslah kuat dan tegas. Kalaupun tidak harus, maka kata yang disarankan untuk menggantinya adalah "seharusnya". Sering kita dengar; seharusnya laki-laki tidak boleh menangis. Kalau saya bilang sih, tak apa juga bila laki-laki ingin menangis. Menangis saja. Meski rasanya kok jadi aneh juga bila ada laki-laki yang gemar menangis. Akan beda tanggapannya bila itu perempuan yang terlihat sering menangis. Ah, beruntungnya jadi perempuan hehe :)

Seperti juga awalnya yang tak jelas bagaimana itu tadi, urusan akhirnyapun masih belum jelas akan seperti apa. Yang pasti soal pengklasifikasian sifat, tugas dan kewajiban yang dipasangkan pada gender tertentu, sampai sekarang masih menjadi yang kasat oleh mata, dan masih jelas terasa. Sangking jelas dan terasanya, batasannya pun menjadi berdampak sangat significant. Tak serupa dengan aturan tak tertulis kebanyakan, maka sama dengan melewati batas kewajaran.

Mau apa lagi, kalau ternyata sejak saya belum bisa berpikir sendiri (apa apa masih hasil pikiran dan buah karya orang tua), sampai sekarang (apa apa pokoknya maunya saya) saya sudah disuguhi oleh karakter perempuan yang harus saya telan dan tidak boleh dimuntahkan. Bahwa perempuan itu lembut, perempuan itu ya harus bisa melayani. Tentu saja saya pribadi tak ingin memuntahkan suguhan tadi, karena toh muntah itu menyisakan rasa sepa dan pahit di tenggorokan. Tak enak. Namun lalu alhasil di mata saya, lelaki pun haruslah menjadi seperti beberapa karakter yang tersisa dan tidak disuguhkan, bahwa laki-laki harus kuat, harus mampu melindungi. Tanpa peduli tak semua dari mereka berani berkelahi.

Ya benar, waktu selalu berputar dan berganti hari, otak saya tentulah terkontaminasi, entah karena melihat televisi ataupun membaca informasi di sana sini. Terkadang tersentil juga untuk berpikir tidak seragam seperti; bahwa perempuan akan tetap sewajarnya menjadi perempuan meskipun tidak lantas bertugas untuk melayani, tidak pula meladeni. Namun bila lalu di balik, berarti lelaki akan tetap menjadi lelaki meski dia tidak menjadi penanggung jawab yg menafkahi? Tiba-tiba saya kok rasanya jadi curang, kurang sreg dengan teori saya sendiri. Bukan juga lantas berarti laki-laki lah satu-satunya yang mutlak bekerja, sementara mutlak pula perempuan hanya mengerjakan tugas rumah tangga. Tidak sekaku itu, saya pribadi lebih suka bila nanti saya tidak sepenuhnya membebankan keuangan keluarga pada laki-laki, entah itu karena saya yang membantu bekerja di luar rumah atau di dalam rumah. Karena sampai saat ini, saya rasa saya bisa stres bila tak berkegiatan hehe.

Lalu saya anggap menjadi wajar pula bila laki-lakipun mengharapkan perempuan yang memang bisa melayani dan meladeni. Paling tidak yang teratur mengurus rumah tangga dan pandai memasak. Saya mengerti itu adalah hal wajar, sewajar harapan saya pada sosok lelaki yang nantinya sewajarnya pula dapat bertanggung jawab menjadi imam keluarga, melindungi dan menenangkan kami-kami si anak istri yang bersandar lahir batin.

Yang membuat saya panik adalah ketika satu pertanyaan saya lontarkan untuk diri saya sendiri, bisakah saya menjadi yang sewajarnya diharapkan? Oh oh oh, memasak saja saya kacau. Saya sering berharap bahwa suatu saat naluri mengurus rumah tangga itu akan tumbuh dengan sendirinya, seperti halnya naluri seorang ibu yang datang dengan sendirinya ketika mengandung dan melahirkan. Tapi saya pun sadar dari pada saya menyerahkan kredibilitas saya sebagai perempuan pada bentuk keajaiban yg datang dengan sendirinya, lebih baik saya mulai berusaha. Toh juga tidak ada buruknya. Akan lebih baik lagi jika saya melakukannya karena memang saya suka. Mulai dari satu hal kecil saja deh.

Saya putuskan, saya akan belajar menyukai memasak. Saya berusaha agar syukur-syukur nanti jadi hobi, meskipun hobi ini hasilnya sering pula gagal. Sedih sih, tapi kan yang penting usaha.

Seperti usaha laki-laki membetulkan kran kamar mandi, memperbaiki genting. Tidak selamanya kembali bisa seperti sedia kala, kadang meminta tukang yang ahli di bidangnya. Mungkin saya nantinya juga akan minta tolong penjual makanan-makanan lezat untuk menyelamatkan dan menyenangkan perut seisi rumah, namun toh itu tak membuat saya diam tanpa usaha, ya kan? Ya dong? Ya kan dong?


Jogjakarta, 30 Januari 2010 *Menu hari ini Makaroni Skutel, hati hati. Waspalah waspadalah X)

No comments:

Post a Comment