Wednesday, February 3, 2010

About Happiness

Relatif menurut saya ukuran kebahagian untuk masing-masing individu. Untuk seseorang yang sedang sakit, kebahagiaan baginya adalah ketika mereka bisa merasa sehat, terbebas dari penyakit dan dokter. Untuk anak-anak, kebahagiaan adalah bermain sampai malam, bangun kesiangan, makan permen dan ice cream tanpa harus makan sayur. Untuk seorang pengangguran, kebahagiaan adalah memperoleh pekerjaan dengan gaji yang bisa memenuhi kebutuhannya dan menutup beban keluarganya.

Menurut saya lagi, pun kebahagian seseorang tidak akan pernah berhenti sampai disatu titik saja, akan terus bergerak dan berubah seiring dengan harapan manusia yang terus merangkak dan meminta lebih. Pengangguran yang sudah dapat pekerjaan ingin naik pangkat, anak kecil yang sudah dapat ice cream ingin mainan baru, pesakitan yang sudah sembuh lantas ingin memiliki tubuh dengan shapes sixpack dibagian perut. Tapi saya paham, saya maklum. Ini manusiawi kok rasanya. Manusia susah sekali dipuaskan, meski bersyukur sudah tidak perlu diingatkan.

Apa sih takarannya? Sering sekali ketika saya pikir saya sudah behagia, tapi ternyata setelah saya pikir ulang, oh mungkin juga saya salah. Mungkin ini sekedar usaha untuk mengelabui kejujuran hati saya yang sebenarnya sulit sekali dibohongi. Bahagia itu tentang rasa. Yang kalau mau jujur, ya hanya kita yang tahu apakah sudah bahagia, sedang bahagia atau bahkan tidak bahagia. Jika kita saja bisa salah berpikir tentang kebahagiaan kita sendiri, apalagi orang lain. Termasuk juga ketika kita berpikir kita tahu apa yang bisa membuat orang lain bahagia. Iya kah? Benarkah? atau sebenarnya itu hanya sebatas rasa sok tahu yang di justifikasi standarisasinya.

Siapa sih yang membuat standard kebahagiaan itu dengan lulus Cum Laude, pekerjaan dengan gaji mentereng, mobil Brand New, menikah muda. Jika standard itupun tidak pernah mutlak pada masing-masing personal yang berhati dan berotak, jika standard itu selalu berubah seperti waktu yang tidak pernah berhenti meski jarumnya berulang di angka yang sama, lantas kenapa menjadi bahagia membutuhkan requirements yang harus dilengkapi dengan standard yang dijustifikasi sendiri? kenapa harus dibatasi dan dipersempit seolah-olah otak dan hati manusia adalah seragam.

Oh ya, jika kamu berpikir, kamu tahu apa yang bisa membuat orang lain bahagia. Oh, please! Itu tentang mereka bukan tentang kamu. Takutnya, jangan-jangan itu hanyalah kebahagiaan yang sedang kamu coba standarisasikan persyaratannya. Lalu lantas itu bukanlah lagi menjadi kebahagiaannya, tapi kebahagiaanmu :)

Bersyukur dengan penuh keikhlasan hati adalah salah satu cara yang paling mungkin bagi seseorang agar jatuh cinta dengan apa yang dijalani dan dimiliki. Dan jatuh cinta adalah ruang dimana kebahagiaan menjadi raja. Saya pribadi sungguh merasa bersyukur atas setiap hal dalam hidup saya. Sungguh tidak pantas rasanya kalau saya mengeluhkan semua nikmat hidup saya, sadari bahwa apa yang saya miliki terkadang menjadi standar kebahagiaan untuk beberapa orang lain. Ya, saya memang beruntung, dan saya bersyukur. Segala puji bagi Allah pemilik Semesta dan Alam raya.

Namun jika saya ditanya, apa sih yang membuat saya bahagia, maka jawaban saya adalah saya bahagia ketika orang tua saya bahagia. Jika sudah begini, saya suka berkhayal, seandainya otak dan hati kami seragam, pastilah mudah untuk mengikhlaskan keinginan-keinginan yang muncul dalam hidup. Keinginan yang kemunculannya mirip seperti kerikil. Kecil memang, namun bagaimanapun toh tetap saja menjadi material tak tampak muka yang memperkuat lapisan aspal jalan yang mulus. Demi tuhan, Demi apapun yang bernafas dan bahkan sekalipun yang tidak menghembuskan nafas. Dunia dan akhirat yang saya inginkan adalah melihat mama papa saya bahagia. Dan saya akan berusaha untuk itu.

Satu lagi. Jika mama dan papa sering bilang, kebahagiaan saya adalah kebahagiaan mereka, selalu saya bisikkan dalam doa saya, agar malaikat menyampaikan pesan jika bertemu mereka di sepertiga malamnya. Pesan singkat tentang putri kecil yang sungguh merasa bahagia atas hidupnya. Tak perlu lah terlalu khawatir :)

Jogjakarta, 17 September 2009

2 comments: