Wednesday, February 3, 2010

Pertemuan Jumat Sore

Tak mampu lagi kuhitung berapa banyak garis yang membingkai matanya. Tak masalah. Untukku, guratan lembut itu adalah hiasan tanda bijaksana, persis seperti dia yang menikmati lahirnya kerutan di tubuhnya tanpa takut menjadi tua. Sayang, kedua kelopak itu tertutup rapat. Menyesal rasanya tak bisa kulihat binar mata yang selalu bercerita tentang kecerdasan wanita. Kusapu beberapa helai rambut yang berserak lepas di pangkal dahinya, dingin kulitnya kurasakan menjalar mulai dari tangan hingga tengkuk tulang belakang. Dalam pulas tidurnya, dia tersenyum. Cantik sekali. Kecantikan yang sama yang membuatku selalu terpaku di teras rumah ibu disetiap Jumat sore kala itu.

***

Entah sejak kapan persisnya aku tak begitu ingat, yang jelas setiap Jumat sore di usiaku saat itu aku tak lagi begitu tertarik bermain bola dengan teman sebaya di tanah lapang ujung jalan. Aku tak bergeming, kedua kakiku seolah merekat dengan sejuk petak ubin di teras rumah, enggan beranjak meski teman-teman laki-laki bersahut-sahutan menantang kepiawaianku menggiring bola ke gawang. Bermandi peluh menguras tenaga, mengejar bola sambil terkadang bergulung jatuh tersungkur yang lalu disambut dengan gelak tawa teman-teman tentulah hal yang sangat mengasyikkan, namun jika untuk itu aku akan kehilangan kesempatan bertatap muka dengan kecantikannya yang mempesona, sungguh kebodohan yang harus kubayar hingga datang Jumat minggu berikutnya. Dan menunggu selama seminggu rasanya seperti hidup dengan kaki dipasung bertahun-tahun. Main bola kaki sulit bergerak, makan tak selera, tidur tak nyenyak, tapi mati jangan dulu.

Bukan karena susu kedelai segar yang selalu dibawanya yang membuatku bersiul saat berkaca sebelum berangkat sekolah di setiap Jumat pagi. Bukan pula suara merdunya saat mengucap salam yang menyapaku di teras depan. Namun kehadirannya yang dimataku seperti jelmaan bidadari itu yang membiusku lalu membuatku tak ingin lagi sadarkan diri. Tepat pukul lima atau paling lambat 15 menit setelahnya dia akan muncul dengan seragam kantor yang tampak pas sekali di tubuhnya, dengan rambut yang digulung kecil kebelakang. Lalu rok bawahan warna senada yang berjarak kira-kira 15 centi diatas lututnya, memamerkan kaki jenjang yang entah kenapa selalu membuat jantungku berdetak lebih kencang. Jika sedang beruntung, bisa kurasakan halus kulitnya bersinggungan dengan tanganku, atau jika sedang sangat beruntung dia akan mendaratkan cubitan ke pipi atau hidungku. Memang biasanya tak lebih dari setengah jam kehadirannya di rumahku, namun mampu menyita perhatianku hingga senyum kecil di bibirku tak lagi berhasil kutahan. Senyum yang selalu kusembunyikan bahkan dari gelap lampu kamar, khawatir akan ketahuan ibu. Lalu perutku akan mendadak mulas karena tak tahu harus menjawab apa jika membayangkan dia bertanya kenapa.

Aku memanggilnya tante Shein, kulitnya kuning terang khas oriental, rambutnya dibiarkan berponi sedikit menutupi dahinya, bibirnya merah meski tanpa pemulas, pipinya merekah seperti mawar meski tanpa perona. Ibu yang memperkenalkannya padaku. Kata ibuku, umurnya hanya berselisih 3 tahun lebih muda dari tante Runi, adik bungsu ibu yang tinggal di Sulawesi. Tapi aku tak peduli usianya, cantik tetap saja cantik. Dia selalu datang di setiap Jumat sore untuk mengantarkan susu kedelai pesanan ibu, katanya dia sendiri yang mengolah susu kedelai itu hingga menjadi beberapa kemasan plastik. Bayangkan, sudah cantik, pintar, rajin mencari uang pula. Bukan hanya aku yang berpikir begitu, kadang-kadang kudengar ibuku sayup sayup memuji tante Shein dari dalam ruang tamu. Aku tak berani bergabung, rasanya terlalu malu. Suatu ketika tante Shein pernah sambil lalu bercerita padaku tentang kandungan vitamin B1, B2, Vitamin E dan K dalam susu kedelai, katanya jumlah kandungan itu setara dengan susu sapi atau ASI yang baik untuk pertumbuhan, sistem kekebalan dan pencernaan tubuh. Namun tentu saja tak kurepotkan otakku untuk memperdulikan penjelasannya. Bukan karena saat itu aku sedang sibuk mengusap sepeda balap kesayanganku berulang kali, tapi karena tangannya yang mendarat di rambutku dan dimainkan naik turun perlahan itu yang membuatku benar-benar seperti kehabisan tenaga. Lebih parah dari sekedar lelah setelah main bola, aku kehilangan kata-kata.

Di sore yang lain, tante Shein pernah memukauku dengan kemampuannya bermain Play Station. Sengaja aku mencari perhatian dengan bermain game Winning Eleven kesukaanku di ruang tengah, di ruangan yang jelas bisa dilihatnya sambil mengobrol bersama ibu dari ruang tamu. Aku sengaja menguping pembicaraan mereka, mencari tahu kenapa Tante Shein tidak datang di jumat minggu lalu, rupanya tante Shein sakit demam. Dalam hati aku berdoa, semoga Tuhan tidak menghukumku dengan membiarkan tante Shein sakit demam lagi dan tak bisa mengantar susu kedelai.

“Tante yang Arsenal ya. Timur yang Manchester aja sana deh, nggakpapa” tanpa meminta persetujuanku tante Shein memainkan satu joystick lain yang belum terpakai.
“Tante Shein bisa main Winning?” aku terbata-bata. Bukan hanya karena meremehkan kemampuan perempuan yang jarang sekali bisa memainkan Winning Eleven, tapi juga karena aku grogi duduk bersebelahan dengan tante Shein yang wangi.
“Coba saja” katanya sambil tertawa ringan memamerkan sebaris giginya yang putih rapi. Tante Shein bukan hanya bisa bermain Winning Eleven, tapi juga mengerti permainan bola, dia tahu kapan bola benar-benar offside, kapan corner kick, kapan penalti atau kenapa handsball. Tante Shein tidak bermain play station seperti ibu yang lebih seperti pengganggu kesenanganku ketimbang benar-benar bermain, dia bahkan bisa menahanku sampai babak terahir selesai dengan skor seri. Aku rasa saat itu wajahku benar-benar terlihat kecewa karena belum berhasil memenangkan pertandingan melawan pujaan hati.
“Sudahlah, Timur, jangan sedih begitu. Minggu depan kita tanding lagi, ya. Nanti tante bawakan syal MU biar kamu makin semangat mainnya” tante Shein menghiburku sambil tertawa, tangan kanannya mengusap punggungku. Sejak saat itu, kurasakan kekagumanku tumbuh semakin aneh hari demi hari.

***

“Ibu, kemana Tante Shein? ini sudah 3 minggu Tante Shein tidak datang. Apa Tante Shein sakit?”. Sore itu ahirnya tak mampu kusembunyikan rasa cemasku karena absennya tante Shein belakangan ini. Kekecewaanku terus bertumpuk disetiap minggu, dan minggu ini rasanya tumpukannya sudah seperti gunung.
“Timur kangen maen PS sama Tante Shein,ya..” Ujar ibu sambil tersenyum. Aku hanya mengangguk lemah, sepertinya saat itu ibu sedang menguji sabarku dengan menunda jawaban pertanyaanku.
“Susu kedelai kita kan sudah habis, Bu” Kataku sedikit mencari pembelaan lain.
“Tante Shein sedang sibuk, Timur. Belum sempat bikin susu kedelai lagi”
“Memangnya tante Shein sibuk apa, Bu?”
“Lho, memangnya tante Shein lupa cerita sama kamu, ya?. Tante Shein kan mau menikah minggu depan”. Ah, ibu pasti bercanda pikirku, ibu pasti sedang menggoda rinduku. Kurasakan kepalaku mendadak berat hingga tak kuat terangkat.
“Eh Timur, itu undangannya diatas meja ruang tengah kalau kamu ingin lihat”.
Kalau ibu menganggap ini lucu dengan menciptakan bualan ini padaku, maka ini adalah lelucon terburuk di dunia. Aku bergegas ke ruang tengah mencari lembar undangan yang dimaksud ibu. Tergeletak kertas berbahan daur ulang yang terbungkus plastik bening di atas meja. Segera kubuka lembaran itu dengan perasaan tak nyaman yang sungguh mengganggu. Benar, ada gambar tante Shein sedang bergandengan tangan dengan seorang pria jelek disitu. Apa sih yang ada di pikiran tante Shein, apa dia rabun memilih lelaki berwajah aneh itu sebagai suaminya. Seketika kurasakan marah yang berputar-putar disekitar dada. Tanganku terkepal. Aku benci Jumat sore.

***

Seperti dongeng Si Cantik dan Si Buruk Rupa, malam itu kulihat tante Shein bersanding dengan pria berwajah aneh di pelaminan. Sebenarnya wajahnya tak seburuk seperti saat tercetak di undangan, tapi karena dia merebut tante Shein dari dekatku, tetap saja menurutku dia pria terjelek di dunia. Kata ibu, setelah menikah tante Shein akan mengikuti suaminya tinggal di Melbourne. Bagiku, pria itu tak hanya berwajah aneh, tapi juga serakah. Tak puas dia merebut tante Shein dariku, tapi dia mencoba menjauhkannya juga. Kalau ibu tidak memaksaku, tentu aku tak akan datang di malam resepsi itu.

Kecantikan tante Shein memang luar biasa, seperti semacam magnet yang menarikku dengan sangat kuat, menggodaku agar bisa menikmati keindahannya lebih dekat. Aku ahirnya luluh juga, mau ketika diajak ibu memberi selamat langsung dari atas pelaminan. Lagipula, ucapan ibu benar juga, aku belum berpamitan dengan tante Shein, belum berterimakasih lagi untuk pemberian-pemberian nya di setiap Jumat sore, mulai dari syal MU yang saat ini masih terpajang di tembok kamarku, sampai kecantikannya menghiasi hari jumatku. Aku berdiri di belakang ibu dengan jantung yang berdetak seperti bom waktu, makin lama makin cepat, aku khawatir meledak. Tanganku dingin, lututku gemetar, aku bahkan berjarak kurang dari 1 meter lagi.

Aku rasa wajahku pucat ketika itu, saat tangan tante Shein menggenggam tanganku kencang-kencang. Aku berusaha menegakkan kepalaku dengan sekuat tenaga. Dalam hati aku menguatkan diri, aku harus melihat tante Shein sebelum tante Shein dibawa pergi si lelaki buruk rupa.
“Selamat ya Tante. Tante Shein cantik sekali” Ahirnya berhasil juga kuucapkan meski terbata-bata. Kupaksakan juga sebuah senyum yang susah payah kutarik dari ujung pipi.
“Ah, terimakasih sayang” Ujar tante Shein dengan suara yang tiba-tiba menjadi parau. Dipeluknya tubuh kecilku, cukup lama. Diusapnya punggungku, kurasakan berdesir darahku.
“Tante pasti akan kangeeennn sekali main PS sama Timur” air mukanya terlihat sedih, matanya berkaca-kaca. Kedua tangannya yang tenang di pipiku menghantarkan hangat yang baru kurasakan kali itu. Tiba-tiba tante Shein mendekatkan wajahnya dengan pipiku. Dia menciumku! Hidungnya bahkan menyentuh ujung daun telingaku. Jantungku berhenti berdetak, darahku berhenti berdesir, bumi berhenti berputar. Getaran hebat itu menyerang ujung kaki hingga ujung rambutku, rasanya seperti baru saja tersengat lebah. Seingatku, aku berjalan turun dari pelaminan dengan langkah berat seperti robot.

Sudah kumaafkan lelaki buruk rupa yang akan membawa pergi tante Shein. Kurasakan keberuntungan sedang sangat baik hati padaku, dicium perempuan cantik yang bukan ibuku. Malam itu aku tertidur nyenyak sekali, bahkan mungkin tanpa aku sadari aku tersenyum dalam mimpi. Hingga esok harinya kurasakan basah celanaku. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku ngompol lagi. Entah apa ibu menyadarinya atau tidak, yang jelas pagi itu aku membutuhkan waktu lebih lama bersiap. Kucuci sendiri celana tidurku. Aku sungguh tak ingin ibu tahu, sebelum ahirnya buru-buru kukenakan seragam sekolah bercelana pendek biru dengan perasaan malu.

***

“Mas Timur? Bisa tolong bantu angkat jenazah Mami ke pemakaman?” tepukan dipundakku baru saja membawaku kembali sadar dari lamunan. Posisi dudukku masih bersimpuh, sama sejak pertama datang tadi. Menghadap wajah cantik tante Shein yang tampak semakin tua, berbalut gaun putih terbaring dalam peti yang terbungkus kain satin warna yang sama. Wangi bunga melati ini mirip wangi yang kukenal beberapa tahun yang lalu, tapi yang ini aromanya lebih tajam menusuk hidung. Kuamati sekali lagi wajah mempesona yang dulu selalu kutunggu di teras rumah setiap ahir minggu, Ah, masih tetap saja cantik.
“Mas Timur?”
“Ya?” ternyata aku masih saja terlalu larut melamun.
“Bisa tolong bantu angkat jenazah Mami?” Sebentar kutatap wajah Fhian, wajah anak tertua tante Shein yang lebih muda beberapa tahun dariku, matanya sayu karena sedih dan lelah yang semalaman bergelayut menjadi satu.
“Tentu saja, Fhian. Jangan khawatir”. Ujarku sambil mengangguk perlahan. Tak ada sedikitpun ragu, akan kuantar cinta pertamaku sampai tenang tidurnya di liang lahat.

Disamping peti itu, bersandar rangkaian bunga dan foto cantiknya. Akan kucatat dalam catatan pribadiku, Jumat sore ini adalah pertemuan terakhirku dengannya.

Jogjakarta, 3 Oktober 2009

No comments:

Post a Comment