Wednesday, February 3, 2010

Bintang yang Bermata Sembab

Dari sepasang mata kecil yang mulai lelah membuka, rinai hujan jatuh berjuntai-juntai. Lembab seisi rongga dada. Lama-lama terasa pengap, seperti hanya menghirup karbondioksida. Aku menciut, menjadi serupa debu. Tertimbun awan kelabu yang menggelayuti pelupuk hingga tersadar, aku memang bukan siapa-siapa.

Lalu petir menyambar, bergemuruh. Memaksaku membuka mata, mendengar suara, merasakan getar yang mencoba bicara. Menepuk pundak hingga menyangka itu Tuhan yang sedang meminjamkan tanganNya untuk kupeluk.

Aku rasa Dia tak pernah tak sengaja meniupkan segala firasat di telinga, seperti saat entah kenapa aku betah tertahan sekian lama, menunggumu di ruang kerja, dan lalu berakhir sempurna. Sebuah pesan singkat aku terima, tentang pertemuan pertama di sebuah kedai di pinggir kota. Menyulap sepetak tanah sederhana menjadi terasa luar biasa, meski hanya tertebus oleh dua cangkir coklat hangat yang berbalur krim vanila. Hingga senja menjemput malam, aku dan kamu tertawa lama. Meski lalu menyisakan aku yang meringkuk seperti anak kucing kesepian, menunggu sms selanjutnya yang tak juga kunjung tiba semalaman.

Ya. Mana mungkin juga Dia tak sengaja mengirimkan perintah pada alam semesta, tanpa sebab tersenggol lengan Mikail hingga menurunkan deras sisa panas penguapan air laut persis di atas lahan manusia. Masih terasa betapa dramatisnya hujan yang beberapa kali menahan langkah pulang. Tiba-tiba menggunakan dalih takut basah dan demam, meski kita sama-sama tahu dingin hujan tak akan mampu membuat kita menggigil saat hati kita berdampingan.

Kita bahkan tak pernah meminta, tapi Dia memang Sang Sutradara dengan skenario yang luar biasa.

Disinilah aku sekarang, sedang menjalankan peran dalam babak yang membuat sedih dan senang nyaris bosan bertukar peran. Tak bisa menolak saat terjatuh terlampau dalam sehingga sulit keluar. Dari dasar jurang, ujung datar tanah permukaan seperti hanya mampu melambai-lambai. Sementara kamu sudah berhasil menguatkan beberapa rangka sayap yang kokoh danJustify Full dewasa. Kamu tunjukkan padaku bagaimana caranya terbang, Sementara aku disini sendirian. Memandangmu dari kejauhan, mengirimkan pertanda bersama siulan perlahan bila sesekali kau mulai hilang keseimbangan.

Suatu saat kamu akan pulang, kusiapkan air hangat agar kaki lelahmu bisa berendam, dengan handuk lembut yang akan membungkus sepasang kepakan yang keletihan menghadang angin kencang.

Suatu saat kamu akan pulang. Begitu tadi bisikan Bintang yang muncul dengan mata sembab yang disembunyikan.


Jogjakarta, 13 November 2009.

No comments:

Post a Comment