Friday, February 26, 2010

Rock Star

Sesaat petugas keamanan itu membukakan celah pintu barikadenya untukku, dengan cekatan aku menyelinap masuk dari arah samping. Berdesakan bersama kerumunan manusia lain yang menggemakan namanya. Bagian terdepan seolah sedang kerasukan, menggoyangkan kepala, tangan, bahkan nyaris seluruh tubuhnya bergerak. Sudah lama aku tak setakjub ini, hingga nyaris satu gerakan tangan perempuan di sampingku tadi menyentuh sisi kepalaku jika tadi aku tak buru-buru mengelak. Aku tersenyum geli dengan ulahku sendiri, iseng sekali aku ini, pikirku. Bukannya duduk tenang di belakang panggung, malah memilih berdiri di antara penonton lain yang terlanjur berbanjir peluh. Kurasakan pula udara yang cukup pengap disini, lagu-lagu yang mereka hafal betul itu diteriakkan sekencang-kencangnya, ya rasanya memang lebih pas bila disebut diteriakkan dibanding dinyanyikan. Belum lagi jeritan-jeritan tak beraturan di sela-selanya, tentu saja atmosfir ini jauh kurasakan berbeda dibanding dengan suasana dari panggung belakang.

Sorot lampu kekuningan yang ditembakkan tepat di tempatnya berdiri seolah menyulapnya seperti malaikat yang baru turun dari surga, keringat yang menganak sungai di tubuhnya membuat kulitnya berkilauan. Dia memang bintang cemerlang. Penonton yang berdiri di tribun dibuatnya terkesiap, terlebih perempuan-perempuan yang seperti tak ada lelahnya mengelu-elukan namanya. Mau tak mau aku hanyut terbawa suasana, meski hanya bisa melafalkan namanya dalam hati. “Lingga”. Sudah seminggu kita belum bertemu, tentu tak mungkin aku tak merindukanmu. Lebih dari itu, hari ini ada yang harus kusampaikan padamu.

***

“Lambang kesuburan” aku mendesis pelan.
“Apa kamu bilang?” Dia berhenti memainkan gitarnya, memutar badannya ke arahku.
“Ah tidak, bukan hal penting”, rasanya memang canggung bila kita tampak berlebihan memperhatikan sesorang.
“Kamu tahu arti namaku?” Dia benar-benar mengejar jawabanku, aku diam beberapa saat.
“Lingga. Sebuah arca pemujaan umat Hindu, berbentuk tegak dan tinggi yang melambangkan kesuburan. Itu lah sebabnya bentuknya serupa dengan… umm, u know...” aku memutar kepalaku, mendadak canggung menyebutkan organ vital lawan jenis di depan orang yang baru kutemui. Sesaat dia tercenung melihatku kesulitan melanjutkan penjelasanku sendiri, hingga lalu dia tertawa juga akhirnya.
“Hahaha.. Ya ya, seperti itulah bukan laki-laki seharusnya. Tegak, tinggi, subur dan dipuja.” Huh, tanggapan yang terlalu percaya diri, batinku. Aku menjadi diam dan salah tingkah.
“Jarang ada perempuan yang mengetahui arti namaku sebelum kuberi tahu” Kali ini dia meletakkan gitarnya, disandarkannya pada dinding ruang kesenian kampus kami yang mulai sepi.
“Ah, apalah arti sebuah nama” lanjutku.
“Kamu sependapat dengan Shakespeare?” Entah kenapa kurasakan wajahku mulai panas. Tak ada pilihan lain, aku pura pura sibuk mengeluarkan alat tulis dari tas ransel merah mudaku agar berkesempatan menundukkan wajah barang sebentar.
“Tidak juga. Dalam sebuah nama ada harapan, ada doa, ada kekuatan dan jati diri” jawabku sambil lalu meski masih terdengar tegas. “Jadi, bisa kita mulai interviewnya?” lanjutku. Berusaha mengembalikan makna pertemuan ini ke tujuan utamanya.
“Interview? Kamu dari majalah kampus?”. Reflek aku menganggukkan kepalaku.
“Kenapa tidak bilang, aku sudah menunggu dari tadi” katanya ringan setengah tertawa.
“Oh ya, Maaf. Namaku Delima, dari redaksi majalah kampus” Aku hanya mengulurkan tanganku, rasanya terlalu malu untuk memberitahu bahwa akupun sudah cukup lama berdiri di balik punggungnya, sesaat tadi tak sadar dibuat terkesima oleh suara beratnya saat menyanyikan Thank You For Loving Me kepunyaan Bon Jovi.
“Nama yang bagus” Pujinya. “Kalau batu delima itu simbol persahabatan dan kepercayaan. Semakin merah warnanya, harganya akan semakin mahal” katanya acuh sambil merapikan rambut sebahu yang sebagian jatuh menutupi wajahnya.
Air mukanya yang tenang malah membuatku agak kewalahan merapikan degup jantung yang mendadak sulit diatur. Sial. Grogi sangat diharamkan saat menginterview narasumber.

“Bagaimana rasanya dipuja fans?” pertanyaan iseng kulontarkan di akhir wawancara kami. Sedari tadi, baru kali ini dia tampak canggung menjawab pertanyaanku.
“Ah, kamu ini. Kalau kami manggung dan ada penonton yang bertepuk tangan senang dan ikut menyanyi saja rasanya sudah sangat luar biasa. Kami kan baru band pemula, mana mungkin ada banyak fans yang memuja. ” ujarnya diikuti tawanya yang terdengar lepas.
“Suatu saat nanti aku yakin itu akan terjadi” Ujarku mantap. Aku mendoakan kesuksesannya, lalu sempat kudengar dia mengamieni ucapanku. Entah apa pendapatnya tentangku saat itu. Namun setelah pertemuan pertama kami yang diikuti oleh kemunculan berita tentang bandnya di majalah kampus kami, dia mengirimkan pesan di ponselku. Dia bilang, dia senang membaca tulisanku, dan sangat berterimakasih untuk itu. Lalu semua seperti mengalir begitu saja, terlalu ringan hingga kami tak sadar banyak pertemuan-pertemuan setelahnya yang kami jadwalkan secara sengaja ataupun tidak sengaja. Banyak cerita di hari-hari selanjutnya.

***

Dan kali ini kubuktikan kebenaran ucapanku, namanya hidup dalam sosok yang benar-benar dipuja. Lingga. Lingga. Lingga. Perempuan-perempuan itu menangis melihatnya menyanyi. Sementara aku berubah seperti jasad renik yang sulit dilihat diantara penonton yang seolah tersulap menjadi hamba yang penurut, mereka mengacungkan tangan di udara, bertepuk sesuai irama. Keinginanku tak muluk-muluk. Aku hanya ingin memastikan dia mengetahui keberadaanku di ruangan ini. Bila beruntung, akan kusampaikan pesan dengan gerakan mulut yang semoga saja dia pahami. Sebuah ucapan yang sudah kusimpan sejak pagi tadi.

Satu nama menyimpan cerita.
Tentang mimpi dan cita-cita.
Perjalanan panjang jika akhirnya,
Kutemukan arti hidup dalam sebuah nama.


Ah, lagu ini. Lagu yang liriknya aku hafal di luar kepala. Sebuah Nama, judulnya. Lagu yang dia ciptakan untukku saat aku sempat marah dan nyaris meninggalkannya. Aku tertawa geli mengingat kilasan balik peristiwa itu. Ya ya ya seperti yang dikatakanya padaku dulu, lagu ini memang tercipta untukku. Sangking terharunya mengenang kenangan itu, rasanya ingin sekali kupamerkan pada seluruh penonton di ruangan ini. Hingga tak sadar aku ikut bernyanyi bersama penonton lainnya. Akupun ikut melambaikan tangan, berharap dia melihat ke arahku yang berada di barisan depan. Ayolah Lingga, ini aku. Kenapa susah sekali menemukanku disini. Aku mulai lelah menyampaikan sinyal yang tak juga ditangkapnya. Sementara dia semakin bersinar, lagu andalannya menggeber bersama aksi panggungnya, dia melompat, berlari dari ujung yang satu ke ujung panggung yang lain. Penonton bersorak mendengarnya menyanyi dengan lengkingan yang mencapai oktaf tinggi. Sesaat harmonica bluesnya ditiup mengisi interlude, histeria penggemarnya semakin menjadi-jadi. Aku semakin mengecil dan tidak terlihat. Aku menyerah, Lingga tak mungkin melihatku.

Aku menarik nafas panjang. Cukup melelahkan berada di barisan terdepan seperti ini. Bukankah semestinya kejutan kecil ini akan menyenangkan untuk kami berdua. Tak mungkin dia tak merindukanku, bila tak ada yang menyiapkan nasi goreng ikan teri kesukaannya selama seminggu ini. Lagi pula bukankah ini hari penting untuk kami. Tadinya aku pikir kepergianku ke kota ini tanpa memberitahunya terlebih dulu akan menjadi pertemuan dan hadiah yang manis. Kupandangi kotak kecil berwarna merah yang sudah kupersiapkan dari kemarin. Aku tak menyangka bila surprise ini akan menjadi cukup rumit dan menyita kesabaranku. Aku melangkah menjauh dari keramaian, baiklah bila memang harus menemuinya dari belakang panggang.

***

Dia melambaikan tangan kearahku, menggerakkan tangannya memberi tanda agar aku kearah yang sama dengannya.
“Delima, kok kamu disini? Lingga tahu?”. Aku menyalaminya, menghapus keringat yang membasahi dahiku.
“Tidak. Aku tak memberitahu Lingga” aku tersenyum cepat.
“Kenapa tak langsung menghubungiku?”
“Yaaah, namanya juga mau kasih surprise” “lagian biar ngerasain jadi penonton” lanjutku. Dia tertawa mendengar penjelasanku, lalu mengambilkan minuman soda dingin untukku. Untung aku bertemu Anton, road manager Lingga yang sudah mengenalku dengan cukup baik. Anton mengacungkan 3 jari kanannya, dia bilang 3 lagu lagi Lingga selesai. Wooow hatiku bersorak. Akhirnya penantianku akan terbayarkan. Jantungku mendadak berdegup seperti di awal pertemuanku dengannya. Ini akan menjadi kejutan yang manis untuknya.


Langkahnya panjang-panjang dan cepat, dari kejauhan terlihat rambutnya basah berkilau-kilau. Ah itu dia. Kedatangannya diikuti oleh beberapa orang lain dibelakangnya. Sesaat sosok itu mulai mendekat kearahku, langkahnya melambat. Dia tampak mengamatiku, lalu air mukanya tiba-tiba berubah menjadi sumringah. Langkahnya dipercepat berkali lipat, aku memberinya senyuman terbaik yang aku punya.
“Kenapa bisa disini?” Katanya sambil memelukku.
“I think u love ‘lil surprise” , Kataku pelan sambil merapikan rinduku yang nyaris tumpah. Lingga mengacak-acak rambutku. Kebiasaannya sejak dulu. Lalu kami baru menyadari ada banyak orang lain di ruangan ini, beberapa tampak melihatku dengan tatapan iri. Bukan yang pertama kalinya. Beberapa orang menyebut ini sebuah keberuntungan bila aku dekat dengannya. Dengan Lingga yang dipuja banyak orang, Lingga yang sempurna. Meski toh sesungguhnya tak ada kehidupan yang sempurna. Kenyataannya, bukankah aku harus membaginya dengan ribuan wanita yang mengelu-elukan namanya, bukankah aku juga harus bersedia menerima sisa waktunya diantara kesibukannya berpindah dari panggung di satu kota ke kota yang lain, bukankah cerita kami harus rela diintip oleh para penikmat berita. Dan bukankah juga aku harus menunggu lama untuk sekedar mengucapkan sesuatu untuknya. Seperti saat ini.

“Lingga, aku punya sesuatu untukmu” Kukeluarkan kotak kecil berwarna merah dari dalam tasku, kuberikan padanya. Dia tampak tersenyum lebar.
“Terimakasih ya” Diamatinya kotak persegi itu, dibolak balik dari satu sudut satu ke sudut lain. “Apa ini?” tanyanya lagi.
“Hadiah untukmu”.
“Aku buka nanti ya. Masih ada wartawan yang ingin interview” Dia tersenyum, mencium keningku sebentar. Lalu berjalan meninggalkanku sebelum sempat kuucapkan sepatah kata. Ya. Aku harus menunggu lagi.

Dari tempatku berdiri, kulihat Lingga melayani wartawan-wartawan itu dengan ramah. Sempat juga kulihat dia memamerkan kotak kecil yang kuberikan untuknya. Lalu mengeluarkan kertas kumal dari sakunya, entah kertas apa. Aku mulai merasakan punggungku pegal-pegal karena kegiatanku seharian ini saat wartawan-wartawan itu menghampiriku. Diluar dugaanku, satu persatu mereka mengucapkan selamat untukku. Hatiku bersorak, Puji Tuhan, Lingga mengingat hari ini. Lalu wartawan-wartawan itu berbincang basa basi denganku, sedikit bertanya tentang kehadiranku disitu. Sementara Lingga terus menggenggam tanganku hingga hanya ada kami di ruangan ini. Sepertinya mereka mengerti kami butuh waktu berdua sebentar.

“Delima, Boleh kubuka kadonya sekarang?”
“Tentu saja” aku pun tak sabar mengetahui reaksinya melihat hadiah dariku. Dibukanya kotak merah itu segera.
“Oh Tuhan. Ini kan..” kata-katanya terhenti. Wajahnya dibuat takjub, reaksi yang memang sangat kuharapkan. “Harmonica Blues Hohner limited edition” Tawanya lepas. “Dimana kamu mendapatkan ini?”
“Seorang temanku menemukannya saat liburan di Medan, aku titip sama dia”
“Duh. Terimakasih ya, Delima. Aku senang sekali” Wajahnya seperti anak kecil yang sedang kebanjiran hadiah. Lucu. Ditiupnya harmonica itu dengan semangat meski bunyinya tetap terdengar menyayat. Aku mengamatinya lekat-lekat, ya aku benar-benar mencintainya. Tiba-tiba dia menghentikan permainan harmonicanya, raut mukanya berubah sedih. Diraihnya tanganku.
“Tapi Delima, aku tak sempat membelikan hadiah untukmu” Lingga tampak benar-benar menyesal. “Selepas dari Samarinda, kami tak ada waktu untuk mampir ke Mall, aku tak punya hadiah untukmu”
Aku memandangi mata sayu itu, mata yang keletihan seusai melakukan perjalanan dan pekerjaan yang menguras energi dalam satu hari. Aku mengerti bila memang dia tak punya cukup waktu memikirkan hal-hal kecil seperti mencari hadiah untukku. Tapi bila dia melupakannya, itu yang aku takutkan. Tak adil rasanya bila dia melupakannya begitu saja, saat aku sudah mempersiapkan semuanya. Lebih baik bilang saja terus terang, bukankah lebih baik jujur meski akan lebih menyakitkan. Aku menarik nafas berat, menjaga emosiku yang seolah dipermainkan sejak awal hari ini.

Aku mencoba tersenyum meski masih berat. Tak ingin kurusak pertemuan kami ini dengan rasa kecewaku yang tidak bijaksana. “Ya sudah tak apa, yang penting kita sudah bersama-sama. Dan kali ini aku tak perlu membagimu dengan siapapun” Kataku akhirnya. Aku menggenggam tangannya. Lingga tiba-tiba seperti teringat sesuatu. Diambilnya kertas yang dilipat kecil dalam saku jaketnya.
“Eh, Delima, tapi aku membuatkanmu lagu ini saat tadi di pesawat” Dia memperlihatkan selembar kertas padaku. Sepertinya kertas itu juga yang ditunjukkannya pada para wartawan tadi. Kertas yang mulai kumal, di atasnya bertuliskan tulisan tangan Lingga, “Saat Kamu Tak Ada”. Aku mulai merasakan darah yang berdesir lembut di tubuhku, juga udara di seisi ruangan yang tiba-tiba beraroma wangi.

Diambilnya gitar yang masih tersandar di dinding ruangan.
“Akan coba kumainkan lagu ini pertama kalinya. Semoga kamu suka ya”. Aku tertegun, bukan hanya karena terpukau mendengar lirik lagu yang dia nyanyikan. Tapi karena aku salah menilainya. Oh Tuhan, terima kasih. Lingga juga mengingat hari ini.

“Kurasakan hampa derai tawa
Kurasakan kata bicara tanpa makna
Kurasakan rindu ini semakin menyiksa
Saat hari ini penuh cinta dan kau tak ada”
,

“Happy anniversary ya” katanya diakhir lagunya. Ah, indahnya suara berat itu.
Jantungku berdesir perlahan, tenang. Bulu mataku bergeletar sebelum menjatuhkan setetes bulir dari ujungnya.
“Happy anniversary, suamiku”. Kataku dengan suara bergetar. Dihapusnya airmataku dengan ujung jarinya. Kupeluk dia erat-erat, kali ini dia benar-benar milikku. Kali ini aku tak lagi harus membaginya. Dan kali ini aku tak lagi harus menunggu lama mengucapkan itu. Dia mengingatnya, dia mengingat hari pernikahan kami

***

“ Istri rocker jangan cengeng” katanya tersenyum sambil mengusap rambutku, aku juga ikut tersenyum.
“Aku tadi melihatmu dari depan panggung”
“Oh ya? Aku tidak melihatmu.”


With love,
Jogjakarta, 27 Februari 2010, from your biggest fan :)

4 comments:

  1. san..

    besok kalo nikah, tulisan-tulisan kamu dicetak jadi sebuah buku kecil trus jadikan itu sebagai sovenirnya yah!

    bapak-ku gitu waktu kakak-ku nikah, karena hobi nembang, syair-syairnya dijadikan buku kecil buat sovenir.. hehehe..

    ReplyDelete
  2. aw aw awwwwww.... amieeeen.. seru juga idenya ya.. thanks ya :)

    ReplyDelete
  3. bukannya itu pernah kita bicarakan dek???

    btw...aku suka ama cerpennya, bagus, rapi, tema keren, gaya bahasanya oke bgt....tapi aku kok kurang dapet endingnya, padahal udah kebawa ke titik penasaran, tapi ternyata kok kurang memuncak konfliknya...

    *kabuuuuuuuuuuuuurrrrrrrrrrrr.....

    ReplyDelete
  4. Iyaaa, dulu pernah kita rumpiin itu folder sms kita :p

    huhuhuu, makasih kritikannya, mas. *gigit gigit tissue

    ReplyDelete