Wednesday, February 3, 2010

What Are You To Me

Kamu memakai kacamata yang berlensa minus 3,5, sebelahnya lagi minus 3. Size baju kaosmu dari pertama aku mengenal kamu agak sedikit beranjak satu ukuran diatasnya, yang semula ukuran S sekarang terkadang terpaksa harus menggunakan ukuran M. Katamu, 10 bulan belakangan ini, berat badanmu naik nyaris 10 kilo. Apa mungkin itu karena kita hobi sekali berwisata kuliner? Bahkan tak ada masalah untuk kita ketika harus menempuh puluhan kilometer demi sebuah sup ayam saja.

Ada lubang kecil ditelinga kirimu yang sudah mulai jarang terisi oleh benda perak melingkar. Dulu pertama kali mengenalmu, ada 4 buah gelang yang juga melingkar di tangan kirimu dan adapula rantai di saku kanan celanamu. Sekarang sepertinya aku sudah jarang melihatnya. Hanya sesekali saja kamu kenakan. Lalu, celana pendekmu. Pertama kali kamu mengajakku pergi minum kopi, juga kamu kenakan celana pendek hitammu, lengkap dengan sendal jepit hitam dan tas slempang coklat yang meski talinya sudah mengenaskan namun tetap kamu cintai sampai mati. Aku rasa, ini setelan paling favorite buatmu, sempurna bila ditambah kaos putih tipis yang semestinya jadi kaos dalam bila kamu berkemeja. Dan topimu, topimu ada buanyaaak. Susah kuhitung dengan 2 tangan. Membuatku kerepotan bila kamu bertanya lebih suka mana, kamu yang bertopi atau yang berambut keriting. Bagiku, semua sama menariknya.

Bila kau coba mengujiku dengan pertanyaan berapa nomer celana dan nomer sepatumu, tentu saja aku bisa menyebutkan angkanya dengan benar. 32 dan 42. Cubit lenganku sampai biru bila jawabanku salah.Aku yakin dengan jawabanku seyakin keresahan yang akan menyambangimu bila sedang tenggelam diantara rak-rak besar yang menjadi sekat di toko buku. Bukan karena kamu tak betah berlama-lama, justru sebaliknya, keresahan itu menyerang seketika kamu ingin sekali membeli semua buku hingga sulit memberi prioritas pada buku yang mana dulu. Jika sudah sangat bingung, terkadang kamu akan putuskan untuk tak jadi membeli satupun buku. Alasannya, masih ada koran yang bisa sekedar menemanimu makan, atau buku-buku lama yang bisa dibaca ulang. Meskipun kamu suka segala sesuatu tentang sejarah, tapi kamu juga ingin sekali melengkapi koleksi komik Kungfu Boymu walau tak tahu dimana bisa kau temukan koleksi untuk melengkapinya.

Kamu menulis huruf "A" kecil seperti huruf A dalam times new roman. Kamu yang tandatangannya sulit sekali ditiru. Menyerupai gambar burung, tapi katamu itu kaligrafi dari namamu.

Lidahmu tidak suka pedas. Pesan makanan dengan 1 buah cabai saja sudah sangat cukup untukmu. Tapi tidak begitu halnya dengan permen karet yang selalu kamu biarkan tersimpan di dalam tas bagian depan untuk persediaan meski belum tahu kapan akan terkunyah. Kamu melahap apapun makanan didepanmu, terutama masakan ibu, meski apapun dan bagaimanapun yang tersedia untukmu selalu kau nikmati dengan rasa syukur. Satu hal yang juga tak kunjung berubah. Menu minuman kesukaanmu masih tetap selalu sama. Teh hangat.

Kamu tidak pernah suka jika aku terlambat dan teledor. Itu aku tahu benar. Seperti sama halnya dengan aku yang tahu betapa kerasnya pendirianmu, betapa kuatnya pondasi yang kamu kukuhkan untuk impian dan cita-citamu. Untukmu, kebahagiaan ibu segalanya. Dan tawa lucu keponakanmu adalah semangat untuk jiwa lelahmu.

Kamu bicara dengan bahasa jawa halus pada satpam di kantorku, dengan tukang parkir di pasar, dengan ibu penjual makanan. Terkadang aku seolah-olah tersesat ketika mendengarnya, aku tidak mengerti. Namun meski begitu aku suka mendengarnya, mungkin seperti kesukaanmu menonton film hingga larut malam sampai lupa menelponku.

Oya, kamu tak pernah melapisi tubuhmu dengan selimut sekalipun tertidur di depan TV. Sesekali aku menangkapmu tertidur sambil mendengkur ketika tak kuat menahan kantuk saat menemaniku siaran. Kamu juga tak pernah menyetir sambil SMS, katamu kamu tak cukup mampu melakukan dua aktivitas ini sekaligus.

Kamu memotong rambutmu, 3 bulan sekali. Kamu mencuci wajahmu lebih rajin dariku, umm tapi aku rasa ini karena aku saja yang kelewatan pemalasnya.

Kamu tak pernah lupa membawa cutter didalam tasmu, meski entah untuk apa. Kamu menyusun lembaran uang dari yang bernilai kecil sampai ke besar. Sama rapinya seperti susunan buku-bukumu yang berjajar sesuai abjad dengan sampul plastik dan rapi tersusun di rak yang benar. Kamu tak suka bila aku melipat lembaran halaman pada buku. Katamu itu merusak, apa susahnya sih meletakkan pembatas pada halaman terahir bacaanku, begitu katamu.
Kamu tak pernah mengeluh, jarang sekali aku dengar keluhan keluar dari mulutmu. Terjejal dengan tolak angin yang mengobati jika sakit menggerogoti hawa tak enak di tubuhmu.

Memang tak banyak yang aku tahu tentang kamu, tak cukup sekedar tentang suara beratmu, bulu mata lentikmu, tentang kulit telapak jari tengah kananmu yang mengeras, tentang rambut gondrong dan tubuh kurus yang sempat jadi sejarahmu, tentang harmonika dengan kunci E,G, A, D yang kau cari. Tentang obrolan-obrolan denganmu yang selalu kutunggu di malam panjangku. Tapi itu semua tak pernah cukup kurasakan untuk bisa mengenalmu.

Aku rasa butuh seumur hidup untuk bisa memahamimu, untuk mengerti dan menikmati apa yang menjadi nikmat bagimu. Tak akan pernah cukup waktuku untuk paham setiap inci tentang kamu, tentang bagaimana kamu menarik dan menghembuskan nafasmu. Mungkin butuh seumur hidup waktuku. dan kalau boleh jujur rasanya aku tak keberatan.

Jogjakarta, 11 Sepetember 2009.

No comments:

Post a Comment