Wednesday, February 3, 2010

Pewarna Kuku

Tidak ada yang terlalu istimewa dari gadis yang jarang mengenakan setelan berukuran pas. Baju kebesaran dengan rok menjuntai yang tak kalah besar. Hanya wajah manis yang tampak sedikit-sedikit karena tertutup rambut berpotongan seperti cover model majalah tahunan lalu yang semakin lama dilihat semakin memikat. Namun sayang, jarang mata berminat lama-lama melihat, biasanya segera berlalu tak lepas setengah menit saja. Sisanya terlupakan dengan mudah, atau menyisakan tanya yang tak terlalu penting untuk dijawab, seperti kapan terahir kali dia melihat majalah fashion. Well ya, seleranya memang tidak cukup tertolong.

Selain kukunya yang lentik panjang dan selalu dibiarkan berubah warna setiap hari. Tak ada lagi yang benar-benar membuatnya diperhatikan. Kadang memang mengesalkannya, namun lalu apa mau dikata, sepertinya memang Tuhan maha segala. Jadi, bukan kuasanya mencela diri yang tidak sempurna. Seperti juga bukan kuasanya mengacaukan bencana.

Luna, namanya.

***

Sekedar hari dimana Luna tiba-tiba ingin mewarnai kukunya dengan cat kuku warna ungu tua. Kuku-kuku sempurna yang tetap menyita perhatian mata meski bersaing dengan beberapa gelang bertumpuk penuh entah berapa jumlahnya. Dilihatnya kilau kuku yang semakin menyala. Tiba-tiba saja tanpa kehendaknya seperti membentuk kabut. Semacam pertanda. Warna ungu yang semakin lama semakin tua terpulas sempurna di kuku Luna. Sayup bercerita tentang wajah sendu di langit mendung kota yang terasa semu.

Dilangkahkan kakinya ke luar kamar. Tak juga hendak kemana, hanya terduduk diteras depan.Menunggu seseorang, berharap sanggup menyelipkan pesan, sambil memainkan kuku-kuku yang lentik dan panjang. Cantik ungu tua. Namun masih melukiskan kabut pertanda.

Suara hak sepatu yang beradu dengan ubin membuat Luna berpaling.Rambutnya yang sebagian menutup wajahnya tersibak sedikit terkena angin. Lehernya terbebas dari jatuhnya helaian. Dingin. Luna sekali lagi melirik kearah kukunya. Ungu tua. Luna menghela nafas, cemas

"Mau ke Bandung, Bu?" Tanya Luna.
"Ya, mbak Luna. Titip kost-an ya" Bu Maria tersenyum ramah.
"Jangan pergi Bu!!" Ujar Luna tak mampu tertahan.
"Loh kenapa mbak Luna?" Bu Maria terlihat cukup kaget.
Luna terdiam, memang cukup aneh rasanya status anak yang hanya terikat numpang tinggal alias kost seperti dirinya melarang tanpa alasan yang cukup jelas. Umm, mungkin alasan cuaca akan cukup terdengar ilmiah.
"Umm, langit gelap sekali Bu Maria. Sepertinya berkendara naik Bus Lintas Kota akan jadi pilihan yang cukup mencemaskan" Luna perlahan menjelaskan meski sesungguhnya pesimis juga.
"Ah, Luna. Ibu kan sudah biasa naik Bus. Biar hujan juga tidak usah khawatir. Sudah dulu ya Luna." Bu Maria berpamitan sambil menggenggam tangan Luna. Luna hanya menjawab pelan sambil mencium pipi kanan dan kiri Bu Maria.
"Hati-Hati"Suara Luna melemah, diliriknya kukunya yang berkilat menggoda. Warna ungunya semakin tua, semakin gelap.

Luna mendongak keatas, seperti mencari teman bicara.
"Jika aku tak sedikitpun punya kuasa, lalu kenapa Kau beri tahukan aku pertanda"

Lalu benar saja, sesaat gemuruh petir membahana seisi alam raya. Kilatan membelah langit menantang Luna menari bersama hujan. Luna menangis. Ibu Maria sudah seperti ibu kandungnya sendiri, bukan sekedar ibu kost yang sangat ia sayangi.

***

Saat teman-teman satu kost nya menangis, tentu saja Luna sudah kehabisan persediaan airmata. Beberapa memandangnya seolah ia seperti wanita tak berhati, tak menangis berarti tak berempati. Tapi bahkan tak seorangpun bisa dipaksa mengerti, bahwa Luna sungguh tak pandai berakting. Bahkan untuk sekedar mimik terkejut yang sederhana sekalipun.

Ketika pembantu di rumah itu menyampaikan berita duka tentang kecelakaan bus yang menimpa ibu Maria, beberapa teman Luna setengah berteriak, beberapa lagi berurai airmata. Sedang Luna, hanya mampu memainkan kuku-kukunya yang berkilau warna kegelapan. Lalu menahan kata agar sebisa mungkin tetap tersangkut ditenggorokan. "Ah, Apa kubilang" Lirih sekali tenggorokan Luna menyampaikan pesan, hingga hanya lambungnya yang mendengar. Cukup terasa asam dan lalu membawa mual.

***

"Ah, jangan hitam Tuhan. Please." Luna mati-matian menahan gerak tangan kanan yang mulai memulas kuku di jari kirinya. Namun semacam ada kekuatan diluar kendali yang berkekuatan sangat hebat hingga sulit dikendalikan lagi. Hingga genap kesepuluh kuku itu terpulas. Warna hitam yang berkilau pekat. Luna tak mungkin melupakan pagi itu, pagi dimana ia mewarnai kukunya sambil tak berhenti menangis.

"Luna aku pamit. Tiga hari lagi aku akan kembali." Laki-laki itu menggendong tas ransel besar dipundaknya. Luna diam. Bukan ia tak paham bahasa. Ia hanya tak punya persediaan kata.
"Luna... Kenapa?" Laki-laki itu menyentuh pundaknya. Laki-laki itu memang bukan kekasihnya. Namun tangannya selalu menghantarkan hangat yang tak peduli pada bajunya yang tak pas ukuran badan. Hangat yang tak pernah absen mengunjungi malam, sekedar menjadi selimut saat kesepian, bukan hanya menyapa tapi memaksa pori-pori terbuka. Banyu nama lelaki itu.

Luna tak lagi mampu menahan tangis. Meleleh genangan di kedua sudutnya.
"Kenapa menangis, Luna?Bukan ekspedisiku yang pertama bukan? Ayolah.." Banyu menghibur sambil tersenyum mengusap tangannya. Luna belum berhenti menangis. Dia menarik nafas sekali, berusaha menenangkan diri.
"Banyu, lihat. Kuku ku berwarna hitam" Luna kali ini tersedu. Dia sungguh tak tahu bagaimana harus menghiba pada lelaki itu. Dia kehilangan kata.
"Tak masalah, Luna. Kamu tetap cantik dengan kuku hitam" Banyu menghapus airmata di pipinya. Luna pasrah. Sudahlah. Banyu tak akan mengerti. Biar saja penjelasan ini tetap menjadi rahasianya.
"Aku harus pergi Luna. Doakan aku baik-baik saja ya. 3 hari lagi aku akan membawakanmu cerita tentang Semeru. Jangan tidur sebelum aku mendongeng" Banyu membelai rambut Luna. Digenggamnya tangan milik perempuan berkuku hitam itu, lalu perlahan diletakkan didekat paru-parunya. Di jantung lelaki.

Sesaat sebelum Banyu melangkah pergi diselipkannya kertas kecil di tangan kiri Luna. "Dibaca, nanti ya, Luna." Perempuan sederhana itu hanya mengangguk. Semampunya mengikhlaskan senyum yang sepertinya terindah dalam sejarah hidupnya.

Bayang Banyu makin lama kecil, lalu perlahan menghilang dibalik simpang jalan. Luna memicingkan mata kearah kuku yang tak lagi berkilau. Suram. Hitam kelam.

"Ah, Tuhan. Berapa kali kubilang. Tak ada ragu bahwa Kaulah satu-satunya pemilik kuasa. Lalu kenapa kuharus diberi pertanda" Luna berbisik nyaris tak terdengar. Hanya terasa lelehan genangan yang mulai meresap hangat di pipinya.

***

Luna membersihkan kukunya dengan cairan aseton. Warna hitam pekat itu lekat hingga tak menyisakan sedikit tempat pada putih serat kapas. Luna memberanikan diri membuka kertas yang terlipat kumal. Lipatan yang tak beraturan, dibuka ditutup tanpa terbaca meski sekali. Sudah lebih dari harinya, namun debar didada Luna bahkan lebih berdentum dari meriam perang saudara.

Sebentar Luna melirik kukunya yang polos tanpa pewarna. "Biarkan Tuhan, mohon tak usah ikut campur dulu dengan pertanda."

Dibacanya perlahan pesan singkat dikertas putih polos yang memang sudah menjadi kumal.

"Luna,
perempuan yang ingin kujumpai disurga dan kuperkenalkan sebagai kekasih. Tersenyumlah."

-Love-
BANYU

Luna sedikit tak geming. Bahkan kali ini tak juga ada sela meski hanya untuk separuh tarikan nafas. Tak ada kalimat, apa kubilang, seperti yang sudah-sudah. Sakit yang tak mungkin diurai lagi dengan bahasa. Kepedihan yang bukan hanya perih hingga merintih.

Tak ada lagi airmata. Dia hanya ingin menyempurnakan sakit, menuntaskan pertanda.
"Beri aku break sebentar, Tuhan. Biarkan aku menjadi pesakitanMu yang sepenuhnya mengabdi pada pertanda" Bisik Luna dengan suara yang menyayat. Suaranya menggores perih hingga jemarinya mampu mengalirkan warna pekat disela-sela jemari. Luna meringis, perih yang seberapa. Tetes susunan saripati kehidupan memberontak dari jaringan pembuluh di ruas jari, hingga menodai meja rias tempat kedua tangan itu bertumpu. Luna mengerang. Sakit. Namun ia menangis tanpa sedikitpun suara.

Pertanda itu memanggilnya kembali, tanpa memberi secuil kelonggaran pada pedih hati yang belum juga mereda. Luna hanya tersenyum dalam balut rahasia. "Terserah kau saja, Tuhan." Perlahan Luna mengoleskan cairan beraroma anyir yang mengalir dari jemarinya ke kuku panjangnya. Seketika kukunya berubah warna. Merah pekat. Luna menatap lentik kuku jemarinya. Pewarna kuku alami, dari percik darah segar gadis yang ditunggu kekasih, disebuah tempat dimana janji akan bertemu. Disebuah tempat yang mereka namakan surga.

***

"Lapor. Sudah Hari ke 5. Belum ada kabar dari tim ekspedisi Semeru kloter 2". Perlahan suara salah satu anggota pencarian di markas tim S.A.R menyampaikan pesan yang masih disimpan rapat oleh angin barat.

Jogjakarta, 26 Juli 2009
*untuk kekasih yang menyukai kuku merah mudaku.

No comments:

Post a Comment