Wednesday, February 3, 2010

Suatu Siang di Beringharjo

Saya memang sedang pilek siang itu, cuaca yang panas membuat keringat saya mengucur. Hidung saya juga tak mau ketinggalan, berpartisipasi mengucurkan lendir cairan yang serasi dipadu dengan bersin-bersin tidak karuan. Namanya penyakit, harap maklum kalau jorok sedikit.

Siang itu saya berdua dengan mama menjelajah pasar, menemani ibunda tercinta membeli oleh-oleh untuk dibawanya ke Jakarta, ya ya ritual biasa. Tapi jogja siang ini panasnya rrrrruuuaaarrr biasahhh, sehingga saya dipaksa takluk pada cuaca. Apalagi ditambah stamina saya yang sedang tidak terlalu fit seperti biasanya, rasanya saya ingin berjalan melewati pasar dengan sepatu roda saja. Hehe imaginasi yang berlebihan.

Saya masih tetap sentrap sentrup kombinasi bersin-bersin sementara mama saya masih gigih terus berbelanja. Sebuah tempat duduk tergolek pasrah disudut kios, menggoda siapapun agar mendudukinya. Dengan gaya sedikit manja-manja mempesona, pelan-pelan saya pun meletakkan bumper saya dengan bijaksana, sambil sesekali mengipaskan tissue agar ada sedikit pasokan angin menerpa bagian wajah yang sudah mengkilap seperti kecoa.

Tiba-tiba, seseorang menepuk pundak saya.
"Cik, daster e iki piro cik regane?" (Cik, dasternya ini berapa harganya? @red). Mendadak perut saya terasa mulas, firasat saya mengatakan hal yang tidak-tidak akan terjadi. Saya tersenyum malas, menggoyangkan sebelah tangan dan dengan sopan berkata "Maaf bu, bukan saya yang jual".
"Iyo, daster kui lah, piro regane?" (Iya, daster yang itu lah, berapa harganya?) Olalalaaa, responnya ternyata sungguh aduhai, saya mulai sakit kepala. Saya memperjelas gerakan bibir saya, "Bukan Bu, bukan saya yang jual" kali ini bibir saya bergerak tegas seolah saya adalah salah seorang anggota grup vocal yang harus membuka mulut agar 3 buah jari bisa masuk. Namun entah kenapa, ibu itu belum bisa mengerti juga. Huhuhu apa salah saya. Raut mukanya yang semakin kencang malah membuat saya jadi panik. Lah, kalo memang bukan saya yang jual, saya mau bilang apa coba???
Eh si ibu itu ngotot, "Lha iyo, piro regane?? Piro piro o tetep tak tuku!!" (Ya iya, berapa harganya?? Berapaun saya beli!!). Yaelaaaah, memangnya saya ngomong apa sih, kenapa jaka sembung bawa golok begini pembicaraan kami. Oh tuhan, ini pasti salah cuaca.

Dari seberang, ibu penjual kios di depan menjadi penyelamat yang dikirimkan Tuhan, berkata halus pada si "ibu tukang tuduh"
"Dede niku Bu sek dodol, sik dodol sek sholat" (bukan itu Bu yang jual, yang jual sedang sholat @red). Sang juru penyelamat dari kios seberang berkata sambil menggerakkan tangannya keatas telinga, menirukan salah satu gerakan sholat. Baiklah, kali ini tak mungkin si ibu ngotot tukang tuduh itu tidak mengerti.

Dan benar saja, serta merta dia tertawa keras, sambil menoyor pundak saya. "Hahaha, duduk sek dodol to, Cik. Tak pikir njenengan sik dodol" (bukan kamu yang jualan to, Cik, saya pikir kamu yang jualan). Saya hanya tersenyum asem, asyeeeemmm sekali. Widddiiih, dari tadi kemana aja!?!?!

Saya pikir kejadian aneh ini berhenti sampai disitu, tapi ternyata saya salah. Si ibu tukang tuduh itu melanjutkan pertanyaannya yang membuat saya seperti tersambar petir siang bolong.
"Eh, Cik, nek lumpiamu kuwi piro, Cik?? (kalo lumpia mu itu berapa cik??)
HWEEEEEH, apa lagi ini!?!?! Kenapa mendadak dituduh pedagang Lumpia. Saya celingak celinguk mencari lumpia yang dimaksud. Oh Tuhaaan, siapa sih yang tega-teganya meletakkan bakul tenongan di sebelah kiri saya. Salah apa saya??? Ato emang ini sinyal yang Tuhan berikan agar saya menekuni dunia dagang. Huhuhuuu.. Siang yang aneh.. Saya mau mencari mama saya saja lah, lalu tidak lagi duduk di sembarang tempat, termasuk dekat-dekat tenong lumpia.

Mirota Batik, 2 november 2009. *menunggu mama belanja

No comments:

Post a Comment