Wednesday, February 3, 2010

Pertanyaan di Lintasan

Ketika hidup seperti sedang berlari melintasi lintasan panjang, sementara terik matahari terasa membakar sampai ke punggung belakang, peluh yang jatuh menganak sungai berpadu dengan sepasang kaki yang kelelahan, sepasang mata seolah tak sabar menyambut secercah sinar yang menjadi muara tujuan. Secarik garis yang tipis namun menjadi penanda bahwa kita telah sampai. Titik sederhana dimana kita menuntaskan satu babak perjuangan, dengan perasaan meluap yang sulit dilukiskan. Bagus bila kita sekaligus menjadi pemenang, namun bila tidak, paling tidak kita tahu kapan dan dimana langkah seharusnya diberhentikan.

Kita paham benar, di sudut mana akhirnya petualangan ini akan kita tambatkan. Pada sebuah pijakan yang terus menerus kita ucapkan agar menjelma menjadi pasokan nafas bila nanti nyaris kehabisan. Agar langkahnya terpacu menjadi semakin lebar dan temponya berirama lebih cepat. Tak dipungkiri, terkadang kita dibuat terengah-engah memang, sesekali pula kita perlu merapikan semangat yang mulai kendur karena direndam dalam satu baskom besar air mata semalaman.

Mencuat urat di samping leher sisi kiri saat sesekali kamu berlari sambil meneriakkan isi hati, apa mungkin kita akan sampai suatu saat nanti? Alis matamu membentuk garis turun, suaramu bergetar, langkahmu melemah. Dan aku, kondisiku tak juga lebih baik. Jantungku mulai malas-malasan, berdetak sesuka-sukanya, itupun bila mau. Lalu ini, apa kau lihat ini yang membasahiku? Tadinya kupikir hujan yang mengguyur tubuhku, tapi ternyata itu keringat yang dingin membanjiri dan terasa asin. Sementara airmataku sudah habis, kuputuskan tak akan menangis kecuali nanti setiba di garis finish.

Apa mungkin kita akan sampai? Ah, pertanyaan macam apa itu, sayang.

Meski panjang lintasan sudah Dia sebutkan, namun rasanya toh akan tetap berbeda setiap kali kita mencoba. Bergantung pada ketetapan hati, kemampuan tempa jiwa, pun kesiapan raga. Di saat lain ketika kita mencoba dengan hati goyah dan raga yang ringkih, lintasan terasa terlampau panjang, garis akhir tampak hanya semacam bualan. Lalu mungkin kita akan berhenti dipertengahan jalan, dengan kadar letih yang sekiranya sama saja dengan satu putaran lintasan.

Jangan terlalu terburu-buru melompat dan menyimpulkan. Tak ada yang mustahil bagiNya. Percaya lah langkah kita akan lebih ringan bila kita ayunkan tanpa berpikir tentang ketidakmungkinan, jangan habiskan waktu untuk berpikir tentang kesedihan di ujung lintasan. Bukan kuasa kita membuat ketetapan akhir perjuangan. Kamu tahu sayang, yang harus kita lakukan adalah terus berlari dan saling menguatkan.

Setiap kita kelelahan dan nyaris habis kekuatan, biarkan jemari yang berbeda ukuran dan permukaan saling bergandengan. Kaitan akan semakin kuat dengan genggaman. Tak apa, aku tak perlu menyalahkan pertanyaan. Wajar saja, terkadang sering pula muncul saat aku berkaca dan membaca benak peta perjalanan. Tak habis aku bersyukur karena waktu masih berbaik hati memberi kesempatan setiap kali kita nyaris menapaki gerbang keputus asaan. Memberi kelonggaran agar kita mencuri jeda untuk saling berpandang dan membiarkan dua pasang mata bebas bicara. Tentang satu-satunya persamaan yang kita punya dan kita sebut cinta. Lalu kita sepakat. Tak akan pernah berhenti sampai benar-benar mati.


Jogjakarta, 23 November 2009

* Apa jadinya bila Columbus mencabut kembali sauhnya dan menggulung kembali layarnya karena sebuah pertanyaan yang sama dia ajukan pada awaknya saat ekspedisinya ke timur Asia. Mungkin sejarah dunia tak akan mencatat namanya sebagai penemu Amerika di tahun 1492, kan sayang?

No comments:

Post a Comment