Wednesday, February 3, 2010

Gelembung

"Hallo?"
"Ya hallo. Sayang. Tolonglah. Aku ada masalah."
"Ada apa? Dimana kamu sekarang?"
"Kemarilah. West Coast Road No. 39B. Di bangku taman. Depan kuil."
"Ok. Tenangkan dirimu ya. Sebentar aku kesana."
"Ok. Aku tunggu. Segera ya. Sebelum tanganku membatu."
"Haaah? Apa?"
"Sudahlah. Kemari saja dulu."
"Baik. Love you, sayang"
"Love you, too"
Kumatikan telphoneku. Menunggu lelaki bersuara parau yang kali ini tak terlalu mujarab menenangkanku. Terasa lama. Kedua tanganku seperti batu. Kaku.

***

Bus berwarna orange yang bertuliskan 143 dikaca belakangnya berhenti di halte tak jauh dari kuil. Ah, ahirnya dia muncul juga. Tak sulit menemukannya. Kulit kuning kecoklatan khas ras melayu diantara mereka yang bermata sipit dan berkulit terang. Beberapa lagi yang turun dari bus berambut pirang dan berkulit pucat. Rambut hitamnya yang ikal berantakan memang menyita perhatian. Lelaki itu, sosok yang lekat mengisi hariku belakangan ini. Ceria sekali. Dilambaikan tangannya sambil tersenyum lebar, dia sudah melihatku. Tergopoh-gopoh langkahnya. Sementara aku, kedua tanganku tak bergerak didepan dada. Masih mematung. Bukan inginku. Serius.

"Hai sayang" diciumnya keningku. Mengambil posisi duduk disebelahku. Tangan kanannya merangkul bahuku. Dia masih merapikan nafas yang sebenarnya tak perlulah berirama santun.
"Ada apa sayang? Ah, tunggu, tunggu. Kau ini tidak sopan sekali. Memintaku kemari dengan tergesa tapi bahkan tidak ada sambutan sama sekali untukku. Tidak inginkah kau menyambutku seperti biasanya? Sekedar mengusap pipiku dengan tanganmu yang lembut." katanya menggodaku. Bandel sekali mukanya.
"Uhhh, aku ingin sekali, sayang. Tapi tak bisa. Lihat" Aku menggerakkan bola mataku kebawah. Ke arah kedua tangan yang bertangkup didepan dada. Sudah berjam-jam begitu.
"Eh, Kenapa kamu bergaya seperti stupa Budha begitu? Sudahlah tak ada yang mengambil gambarmu, sayang. Berhentilah berpose." Dia masih tertawa. Sambil berusaha memisahkan kedua tangan yang kusatukan didepan dada.
"Jangan lakukan, sayang. Ini serius"
"Hah, Kenapa?"
"Berjam-jam aku berusaha menangkap gelembung ini dengan tanganku. Tak akan kubiarkan dia lolos lagi." kataku masih sambil mengarahkan bola mataku ketangan dibawah dada.
"Hah? Aku tak mengerti" Dia memperhatikan baik-baik kedua tanganku yang sudah terasa semakin kaku.
"Dekatkan telingamu. Sini". Aku tak mampu bergerak terlalu banyak akibat tangan yang aku biarkan mati rasa. Sepasang tangan yang bahkan sudah melewati masa semutan. Itu, ketika tubuhmu rasanya seperti dikerubuti segerombolan semut. Entah apa sebutan ilmiahnya.
"Dengar, sayang. Didalam kedua tangkup tanganku ini, ada sebuah gelembung. Aku yang menangkapnya. Dia mengesalkan sekali" ucapku bersungguh-sungguh.
"Gelembung?"
"Ya, sayang. Gelembung itu mengikuti kemanapun aku pergi. Seperti bayangan. Tapi ini gelembung. Bagaimana aku tidak kesal. Aku seperti gadis penjual sabun". Mataku melotot. Kemarahanku menggebu.
"Hahaha". Dia tertawa.
"Hei. Kenapa malah tertawa? Kekasihmu ini sedang kesulitan" aku kesal. Lalu Memukulnya dengan bahuku. Karenaaaa ya tahulah, kedua tanganku sedang sibuk menjadi patung.
"Maap, maap sayangku. Ini aneh sekali. Bagaimana mungkin tiba-tiba tubuhmu mengeluarkan gelembung. Sini coba aku lihat". Sekali lagi dia mencoba membuka kedua tangkup tangan yang aku rekatkan. Aku semakin kuat menahannya agar tak terbuka.
"Jangaaaaan. Sudah kukatakan. Susah payah aku menangkap gelembung itu. Kau malah mau melepasnya sekarang. Ah, tak akan kubiarkan"
"Aku hanya ingin lihat, sayang"
"Tapi nanti dia akan menyulitkan kalau kubiarkan lepas lagi"
"Nanti akan kubantu menangkap lagi".
"Sungguh?"
"Tentu saja. Sekarang, coba buka kedua tangkup tanganmu. Perlihatkan padaku gelembung itu"
***

Benar saja. Begitu kubuka. Gelembung itu terlepas dengan liarnya. berputar mengitari tubuhku. Seperti sedang mengejekku. Setiap ingin kutangkap. Dia berlari minta dikejar. Lalu terbang tepat diatas ubun-ubun kepalaku. Aku kesal. Berusaha kutangkap dengan tanganku. Tapi sayang, aku tak mampu melihat bagian atas kepalaku sendiri. Aku mendongak. Gelembung itu masih diatas. Memantul ringan. Keatas kebawah. Benar saja. Dia memang mengejekku. Akan kutangkap. Sial. Gelembung itu berputar putar dengan cepat. Aku kesal bukan main.

"Arrggghh.. Lihat. Ini ulahmu, sayang. Gelembung itu lepas lagi."
Sementara lelaki tengil itu tertawa geli melihat atraksiku menangkap gelembung.
"Apa nya yang lucu, sih" ucapku kesal. "Huuuh". Aku menghela nafas keras. Gelembung itu mengikuti sejak pagi tadi. Aku seperti manusia aneh. Bergelembung.
"Kekasihku yang cantik, sekarang aku tidak perlu mengkhawatirkanmu lagi. Ada gelembung yang menjagamu. Haha" dia masih tertawa-tawa. Kupukuli dia dengan tanganku. Tidak. Aku tidak sedang merajuk. Aku benar-benar marah.
"Aw.." dia mengaduh. "Baik tuan putri. Akan kutangkap gelembung itu untukmu"
"Memang sudah harusnya begitu. Kuberitahu sebelumnya. Gelembung aneh yang berdiam diri dengan sombongnya di ubun-ubunku itu, dia menyebalkan sekali. Jangan harap angin akan membawanya pergi atau memecahkan cangkang transparannya. Bahkan sudah kupukul dengan ranting kayu, gelembung itu tak mau pecah juga. Gelembung itu benar-benar menyiksaku, sayang. Dia mengikutiku"
lelaki itu masi tetap tenang. Raut wajahnya serius. Dibelainya wajahku dengan tangannya yang lumayan kasar.
"Sayang, dengar. Jangankan gelembung. Ular nagapun kuhadapi untuk tuan putri"
"Ah, bercanda lagi" kucubit lelaki itu dengan tanganku. Dia kesakitan.
"Hei, jangan terlalu banyak bergerak." katanya. "Lihat, gelembung di atas ubun-ubunmu ikut berputar-putar. Hahaha"
"Ahhhh. Mengesalkan sekali. Coba tangkap gelembung itu sayang. Aku nyaris putus asa"
"Hei tenanglah. Coba aku lihat."

Lelaki itu bangkit dari bangku tempat kami duduk bersama. Berdiri dihadapanku. Matanya menatap gelembung yang berada tepat didepan batang hidungnya. Gelembung itu diam. Tak bergeming.
"Sayang, sudahkah kau amati gelembungmu ini?" katanya.
"Tak perlu kau amati. Tangkap saja. Bagus kalau bisa kau pecahkan".
"Sebentar, sayang. Tapi gelembungmu ini cantik sekali. Sudahkah kau lihat?"
"Iya sih. Gelembung itu berkilau istimewa. Terkadang berwarna merah muda, lalu berubah menjadi ungu, biru muda, kuning muda. Sesekali pantulan sinar matahari membuat kilaunya seperti semburat pelangi yang bercampur menjadi satu. Tapi dia kan tetap menggangguku, sayang. Dia tetap saja menyebalkan. Huuh"
"Umm.. Bukan hanya itu sayang. Maksudku, bukan hanya pantulan warna cangkang gelembung itu. Tapi juga asap yang bercerita didalamnya".
"Hah? Asap? Adakah?"
"Ya. Semacam itulah".
"Aku belum melihatnya, sayang. Mungkin karena aku terlalu kesal tadi."
"Akan kutangkapkan untukmu. Lalu lihatlah baik-baik". Di tangkapnya gelembung di atas ubun-ubunku itu dengan kedua tangannya. Dia duduk disampingku. Membuka kedua tangkup tangannya. Gelembung itu diantara kami. Dia diam. Tak lagi bergerak. Tak lagi melakukan tarian yang kurasa mengejek. Gelembung itu tenang diantara kami berdua.

Kilaunya memang benar-benar indah. Ungu muda, merah muda, biru muda. Aih. Indah sekali. Tapi kenapa dia mengikutiku? kenapa dia tak mau pergi? Aku terheran dan belum terjawab.

"Lihat, sayang. Semacam asap yang bergerak didalam gelembung" Kekasihku menggengam tanganku dengan sebelah tangannya. Sementara,kurebahkan kepalaku di bahunya. Ternyata lumayan juga berkejaran dengan gelembung. Pegal.
"Asap?"
"Ya. Lihatkan?"
Aku melihat dengan mata lebih sipit. Agar tertembus pemandangan didalam cangkang yang silau berwarna indah.
"Ya. Aku lihat. Asapnya juga berubah warna. Aneh sekali".
"Tidak aneh sayang. Dia berubah sesuai dengan apa yang kau rasakan. Cobalah lebih tenang. Pusatkan perhatianmu pada gelembung itu. Biarkan asap itu bercerita." Kata-katanya pelan. Namun meresap sampai tak menyisakan curiga. Aku berusaha memusatkan perhatianku pada gelembung itu saja. Sampai tak lagi terdengar suara manusia yang sibuk lalu lalang. Tak ada suara anjing yang melolong di taman. Tak ada suara bis kota. Bahkan tak juga ada suara cuit cuit burung parkit. Hanya ada gelembung. Aku. Dan kekasihku.

"Sayang. Lihat. Gelembungmu cantik kan."
"Ya" jawabku pendek. Malas mengakui bahwa selain mengganggu dia memang cantik.
"Sudah lihat asap didalamnya?"
"Umm.. ya. Sudah. Asap yang aneh. Seperti awan yang berubah-rubah bentuknya"
"Tidak kah kau melihat dirimu sendiri padanya?"
"Maksudmu?"
"Ya. Kamu yang tak pernah berhenti berjalan. Kamu yang terus berubah. Seperti asap dalam gelembung itu, sayang".
Alisku berkerut mendengar penjelasannya.
"Lihat. Asap itu terus berubah. Ia bercerita tentang kelahiran, tentang kegagalan, tentang keberhasilan, tentang kesedihan, tentang kegembiraan, dan juga... Tentang tarian bunga yang patah, lalu bersemi kembali. Patah hati dan jatuh cinta lagi" katanya sambil mengusap kepalaku.
"Jadi, gelembung ini tentang aku?"
"Iya, sayangku. Kekasihku." Senyumnya bijaksana. Aku mencintainya.
"Lalu, jika memang benar begitu, kenapa tak kulihat kamu didalamnya, sayang?"
"Tentu saja tak ada aku".
"Kenapa begitu?"
"Karena... itu gelembung masa lalumu" ucapnya perlahan, masih dengan tersenyum. Aku terdiam. Kuamati gelembungku yang mulai berputar perlahan. Angin asyik memainkannya. Seperti dengan sahabat lama. Terlihat serasi. Akrab.

"Lalu bagaimana? Gelembung ini tak mau pecah. Dia mengikutiku, sayang". Kataku sesaat mengalihkan perhatiannya dari gelembungku.
"Kenapa harus kau pecahkan? Bagaimana bisa kau meniadakan apa yang sudah terlanjur kau lewati, sayang?"
"Lalu?"
"Berdamailah. Cintai bagian itu. Bersyukurlah. Karena dia sudah memperindahkan hidupmu, bahkan hingga sekarang. Jika tak kau lewati bagian itu, mungkin kamu tak akan sebahagia ini, sayang".
"Lalu, Bagaimana denganmu? Tidakkah kamu keberatan menerima gelembungku? Dia akan selalu ada di sekitarku. Di atas ubun-ubun kepalaku. Terkadang diatas bahuku. Tidakkah itu mengesalkanmu, sayang?"
"kenapa aku harus kesal. Asalkan dia tidak menggangguku dengan berada di depan wajahmu saat aku ingin menciummu. Hahaha. Kau bisa menggerakkan gelembung itu dengan nalurimu, sayangku. Dengan kekuatan pikirmu. Letakkan saja dia di tempat yang menenangkanmu" Ringan dia berkata. Tenang aku mendengarnya. Aku tersenyum padanya. Lalu pada gelembung yang seketika berwarna ungu muda.

"Jadi, kau menerima gadis bergelembung ini, sayangku?"
"Kenapa tidak. Sssstt.. Kemari, dekatkan telingamu." aku mendekatkan diri padanya. Terasa hangat. Dan gelembungku, ah, jangan ditanya. Dia sudah sibuk menari2 kecil di ubun-ubunku. Membuatku merasa menjadi perempuan paling aneh.
"Kenapa sayang?"
"Lihat. Ini rahasia". katanya. Dia membuka kancing bajunya.
"Heeei, sayang. Apa yang kau lakukan?" Aku berbisik dengan nada tinggi. Dia tetap membuka kancingnya hingga hanya menyisakan dua kancing diposisi paling bawah. Lalu tiba-tiba, menyeruak keluar sebuah gelembung dari dalam bajunya. Mengagetkanku.
"Hahahaa, lihat sayang. Aku juga punya gelembung" katanya sambil tertawa. Hahaha. Aku tak mampu menahan terkejutku. Kaget sekali. Gelembung itu berputar mengelilingi atas kepalanya. Sama anehnya dengan gelembungku.
"Tapi gelembungmu lebih berwarna gelap, sayang" kataku sambil menatap gelembungnya yang berputar-putar kesamping kanan dan kiri. Memang warnanya lebih gelap.
"Yaaah, itu kan karena memang masa laluku lebih suram. Haha" Ucapnya enteng sambil tertawa. Aku ikut tertawa. Lalu sekarang ada 2 gelembung yang menari-nari.

Namun lalu aku tak lagi kesal. Aku biarkan saja gelembung itu bergerak bersama angin. Kadang berputar kesamping kanan kiri, kadang tenang bergerak seperti nafas. Saat itu langit mulai berwarna lembayung tua, saat itu juga aku berdamai dengan gelembungku. Membiarkannya bermain menemani senjaku.

"Ayo, sayang, waktunya kita pulang. Itu bus jurusan kita pulang datang." Bus orange bertuliskan 143. Aku mengangguk. Dia menggandeng tanganku. Kami berlari segera menuju halte yang mulai ramai oleh pekerja kota. Sementara dua gelembung itu, masih asyik bermain dan menari, berputar diatas ubun-ubun kami. Sempurna menghias senja kota.

"Sayang, tunggu" aku berusaha menyamakan langkahku yang tertinggal dibelakangnya. Meski dia tetap menggandeng tanganku.
"Cepatlah sedikit, gadis bergelembung. Jangan sampai kita tertinggal."
"Ah, memangnya kau tidak. Coba lihat. Gelembungmu juga sedang berjoget diatas ubun-ubun kepalamu". Kami tertawa terbahak. Dia mengacak rambutku. Kupeluk pinggangnya. Kami mempercepat langkah. Dua gelembung diatas kepala kami ikut tergonjang. Lucu juga.

Sementara di dalam bus, banyak manusia Asia bermata sipit yang menatap. Mungkin heran. Ah, Kami. Dua manusia aneh yang bergelembung :)

Jogjakarta, 18 Juni 2009

No comments:

Post a Comment