Wednesday, February 3, 2010

Too Good To be True

Pernahkah menjejakkan kaki di atas satu hamparan dimana batas langit dan lautan hanya seperti menyerupai satu garis tipis membentang? Menikmati semburat remang malam yang syahdu. Hanya bertemankan barisan titik-titik suluh yang terbuat dari daun kelapa kering dalam seruas bambu. Menyusur serpihan batu kali bermuatan logam yang terkikis dan dihanyutkan ombak hingga mewujud pada tapak-tapak kecil di atas pasir pantai berwarna gelap kecoklatan. Terus membiarkan setiap butirnya menggelitik sela-sela jemari sambil tak juga merenggangkan pelukan.

Sederhana saja, tak nampak gelimang yang bermewah-mewah. Hanya ada beberapa penjual makanan pengganjal perut yang bersehadapan dengan buih-buih putih bila dilihat dari kejauhan. Berjejer mengadu nasib menjajakan jagung bakar dan wedang ronde yang tentu terasa sangat hangat bila disantap saat angin terus bertiup menggeletarkan kulit-kulit tipis pelindung tubuh yang kedinginan. Meski tak sedikitpun lapar, satu jagung bakar yang dipesan tentu akan menjadi sangat berarti bagi ibu penjual yang sejak tadi termenung setia, menunggu pembeli di bibir pantai. Alasan yang tidak mengada-ada ketika akhirnya memutuskan mengeluarkan beberapa lembar ribuan dari saku celana. Masih selalu sama, ketulusan hati yang baik, kesantunan bahasa yang apik. Dan, pernahkan merasakan sebentuk hati dibuat terkesiap oleh setitik kebaikan yang terlihat benderang saat gulita?

Di sudut lain tak jauh dari tempat duduk yang mengadu cerita dengan tawa, seniman-seniman daerah menggerakkan seluruh energinya untuk memuja kecintaanya pada dunia seni tari. Merias wajahnya lengkap dengan atribut peran yang melekat mulai dari kepala hingga ujung kaki, menyelaraskan gerak dengan alunan gending yang beriring rapi. Memberi segalanya, semampunya, meski pentas hanya disaksikan oleh sedikit mata. Lalu pernahkah terkagum karena karya manusia begitu selaras dengan karya cipta Tuhan yang tentu tak ada dua?

Merapatkan detak jantung hingga saling mencuri dengar setiap desir yang bergulir. Terasa sangat nyata. Senyata suara ombak ketika kulit kerang coba direkatkan pada daun telinga, meski sesungguhnya itu suara aliran darah di kepala. Terus menyusur dengan dewasa saat dihadapkan pada kenyataan bahwa hidup masih akan tentang berjuang sekembalinya pulang. Dengan jenaka yang kekanakan saat berharap waktu berhenti dan selamanya begini meski nanti harus kembali. Dan lalu pernahkah romansa drama Jepang seolah menjadi realita manis saat tubuhmu terasa begitu ringan menapaki ruas pantai karena ada sesosok tubuh yang menggendongmu di pundak belakang?

Memang hanya sebatas merekatkan bahu meski sesekali meletakkan kepala diujungnya. Memang hanya bercanda dan mengumbar mimpi tanpa harus bayar barang sepeser. Memang hanya saling mengungkap kekaguman dengan kepala tertunduk karena kemilau pasir dibawah bulan terlalu sayang bila dilewatkan. Memang hanya menghabiskan beberapa menit hitungan waktu di pesisir yang jauh dari keramaian. Tak sampai luar pulau, pun sungguh sangat terjangkau. Namun pernahkah kamu merasa, betapa Tuhan berbaik hati membiarkan segalanya terjadi padamu di sekali waktu yang selamanya akan selalu menjadi luar biasa dalam hidupmu?

Aku pernah..

Jogjakarta, 29 November 2009 *Pantai Selatan di malam hari, rasanya too good to be true.

No comments:

Post a Comment