Wednesday, February 3, 2010

Hug Me, Junmei

Gadis itu berparas cantik, kulitnya bagus. Mewarisi kulit ibunya yang berdarah china totok atau mainland, beberapa garis wajahnya yang tegas adalah tekstur ras melayu yang didapat dari ayahnya. Sederhana cara berpakaiannya, tidak ada jarak yang berlebihan diatas lututnya seperti kebanyakan gadis lainnya. Tapi lihat matanya yang seperti menikung keatas, tajam sekali. Dan bulumata yang lentik panjang menghiasi bingkai mata kecilnya, semuanya natural. Tetap seksi meski tanpa baju ukuran kekecilan.

Di negara dimana semua orang tampak selalu takut kehabisan waktu, bahkan sekedar melirikpun adalah pekerjaan yang harus diperhitungkan untung ruginya. Namun begitu tak hanya sekali dua, lirikan mata justru tertuju padanya. Pada gadis yang memeluk banyak buku tebal didadanya. Tak dihiraukan lirikan beberapa mata yang seperti ingin mengungkap cinta. Berulang dia melirik jam yang melingkar dipergelangannya. Pukul 3:55 PM. Gadis itu menarik nafas panjang. Disekanya bulir keringat yang tak kunjung resap di keningnya. AC di MRT ini mungkin kurang dingin, atau bisa jadi justru terlalu banyak manusia berdesak yang menyita oksigen berlebihan dari yang seharusnya. Tinggal 1 station lagi dia akan sampai di tempat kerjanya, sekitar 2 menit lagi.

"Somerset MRT Station" suara intercom mengudara di seluruh gerbong kereta. Salah satu station di lajur merah yang mengambil nama salah seorang penulis novel dan cerita pendek asal inggris yang sangat populer di Singapura tahun 1930, William Somerset Maugham. Sesaat pintu otomatis kereta itu terbuka, gadis itu segera melangkah keluar. Terburu langkahnya diperbesar. Sementara banyak manusia yang mengejar kedatangan kereta selanjutnya seperti menjadi penghalang bagi lajunya. "Excuse me" ucapnya berulang kali.

Dihembuskannya nafasnya perlahan sekali lagi. Sedikit lebih lega. Ahirnya dia sampai juga di ruang yang cukup pengap untuk standard negara yang serba rapi dan teratur. Dimasukkan tas ransel dan buku-buku besar itu dalam locker kerjanya. Segera diambilnya seragam merah besar berbulu halus yang tersimpan seperti biasanya. Tampak lincah ia mengenakan seragamnya. Kurang dari 5 menit saja, gadis itu sudah melapisi seluruh tubuhnya dengan kostum raksasa yang berbentuk hati bertangan dan berkaki. Hanya menyisakan sedikit ruang bagi wajahnya yang terlihat kecil dibanding tubuhnya yang terbungkus kain empuk seperti bantal. Besaaar sekali. Tak lupa dibubuhkannya semacam bubuk merah yang menutupi warna asli kulit wajahnya. Dipoleskan juga lipstick merah sedikit melebihi garis bibirnya. Ah, Selamat tinggal wajah cantik dan mata seksi.

Gadis itu berlari-lari kearah pintu masuk station kereta listrik yang menjadi lambang modernisasi tekhnologi negara maju. Sepatu yang berukuran dua kali lebih besar dari ukuran sepatunya yang sebenarnya membuat langkahnya kesulitan. Dari kejauhan gadis itu hanya tampak seperti bantal besar berbentuk hati yang sedang berlarian terburu-buru. Teriakan seorang bapak berperut besar dan berkepala botak hanya sayup terdengar oleh telinganya yang juga tertutup kostum, "Junmeeeiii, next time don't come late again aa"
Gadis itu tak terlalu hirau, hanya menegok sebentar dan mengacungkan jempol kanannya. "Sorry, have a make up class lah, Uncle"
"It's ok lah. Take care aa, Junmei" Ujar lelaki yang dipanggil uncle itu sambil menggerakkan tangannya kearah luar, seolah perintah agar menyegerakan langkah semakin dipacu.

Lalu dipojok depan pintu masuk itulah gadis itu berdiri sambil tersenyum lebar. Menggoyang2kan tubuhnya sambil melambai2kan tangan. Musik yang sengaja mengalun ceria membuat semua mata tertambat padanya. Kali ini tidak hanya mata lelaki dewasa, tapi juga mata ibu-ibu, remaja tua muda, laki perempuan dan tentu hampir nyaris dipastikan mata semua anak. Anak-anak itu berebut mendekat, memeluknya, meski juga ada yang meninju perutnya gemas. Perut besar seperti bantal yang ditengahnya terbordir tulisan "HUG ME".

Entah siapa saja mereka yang memeluk gadis itu. Ada serombongan remaja yang riang meminta gambarnya diphoto bergantian. Ada juga wanita yang sedang sendirian meminta pelukan, setelah sebelumnya terungkap kesedihan dengan airmatanya yang tersisa, gadis itu memeluknya agak lebih lama, diusap punggung perempuan yang bersedih itu. Sebelum ahirnya hanya tersisa kenang yang tak juga diingat begitu saja. Begitulah pekerjaannya, tak diingatnya berapa banyak jumlah pelukan yang dia berikan. Dia tak pernah menghitung, semakin banyak semakin bagus.

***

"Junmei. Come come" laki-laki berseragam Singtel, salah satu provider seluler yang menjadi sponsor untuk pekerjaannya lagi-lagi memanggil dengan gerakan tangan cepat.
"Yes uncle" Junmei mendekatinya.
"This is the third time you came late. Dont come late again aa. This is the last time ok?" Ujar laki laki dengan accent china yang sangat kental pada bahasa inggrisnya.
"Yes, uncle. I'm so sorry" Ujar Junmei mengusap poni rambut yang sedikit basah, Kostum hati berlapis tebal yang dikenakannya tadi memang sangat menjadi pemicu keringat mengucur. Luar biasa panas rasanya.
"You know Junmei, I really understand that it's hard for you to get here after class. But you also have to understand that i'm not the one who hire you lah. I do care about you aa, but my boss? He is never lah".
Junmei hanya mengangguk pelan, dalam hati dia mempercayai ucapan pria yang lebih tua beberapa tahun dari ayahnya.
"Junmei, I don't want you lose your job aa. I know it really means to you, right" Lelaki itu menghembuskan nafas panjang. Rautnya tampak murung.
"This is your money aa" Lelaki itu mengeluarkan selembar uang 10 dollar dari brangkasnya dibawah meja. Upah untuk 2 jam memberi pelukan pada semua orang sambil berjoget dalam kostum panas dan berat.
"Thanks, uncle" Junmei tersenyum manis. Wajahnya tak lagi tertutup noda merah yang rata disekujur wajah. Kecantikannya masih terlihat, meski sedikit tertutup kabut sedih yang mulai meninggi bergelayut di sudut matanya.

***

Langkahnya mulai melambat setiap mulai mendekati bangunan kotak menjulang 15 lantai. Bangunan yang tidak baru dan terbilang kumuh. Dengan banyak tongkat-tongkat penjemur pakaian yang nampak terlihat diantara ruang satu dengan ruang lainnya. HDB (House & Development Board) nama bangunan itu, semacam public housing yang sengaja khusus dibuat dan di manage pemerintah Singapura dengan harga sewa yang terjangkau untuk masyarakat kelas menegah kebawah. Untuk orang-orang yang memiliki keuangan terjamin, mereka akan lebih memilih tinggal di condomininum ketimbang HDB.

Junmei menekan tombol angka 7 dipinggir kanan pintu lift. Di lantai 7 itulah dia mau tak mau harus menulikan telinga dan membutakan matanya barang sejenak. Seorang nenek yang bersamanya sejak dari lantai 1 menyapanya dengan nada tinggi.
"So you live in 7th floor aa?"
"Yes, mam" Jawab Junmei pendek.
"71B?" Tanyanya lagi
"Yes"
"Tell your parents dont be too noisy, lah. My grandchildren cannot sleep, you know. My room is 71A" Wajah perempuan tua itu sungguh tampak tidak ramah.
"Ah, ok. I'll tell them, mam. I'm so sorry" hanya itu yang bisa Junmei katakan.

Benar saja, begitu pintu ruang apartmentnya dibuka, berbagai teriakan penuh amarah terdengar perih sampai kedasar hatinya. Ruangan yang nyaris tak ada benda berharga itu berantakan seperti kapal pecah. Kursi yang terjatuh, atau pecahan beling seperti ranjau yang menjadi penghias lantai. Mungkin harus menunggu sampai seluruh isi rumah habis baru ruangan ini bisa rapi. Ayahnya sempat memaki dengan kata kasar, bukan kata yang baru sekali didengarnya. Junmei sudah cukup hafal dengan kata "anak brengsek atau anak tak tahu diuntung". Ayahnya memang terkadang masih bicara bahasa Indonesia, terlebih ketika sedang marah besar seperti ini. Sementara ibunya, tetap bicara dengan bahas China yang sedikit banyak dia mengerti, tak kalah kasar dan keras dengan ayahnya. Terkadang Junmei berpikir, melihat keluarganya seperti sedang melihat adegan film drama dengan modus bilingual yang tersetting ON.

Junmei tak lagi mendengar teriakan kedua orang tuanya dari balik tembok kamarnya. Hanya tinggal suara isak tangis ibunya yang halus dan masih menyisakan perih dihati Junmei. Sepertinya ayahnya baru saja pergi, suara pintu yang dibanting kasar sempat terdengar sesaat lalu.

Junmei merebahkan tubuhnya yang dihempas begitu saja dikasur tua miliknya. Seperti ingin menghempas kesal yang tahunan ditahan dan tak kunjung hilang. Tubuhnya terasa cukup lengket, tapi untuk keluar ke kamar mandi dan menemukan ibunya dengan mata bengkak akan meratakan perih yang dirasa semakin melebar. Masih beruntung jika hanya mata ibunya yang bengkang, terkadang nampak juga lebam di sekitar tubuh paruh baya itu. Jika bisa ia melapisi tubuh ibunya dengan tubuhnya sendiri, Junmei sungguh ingin melakukannya.

Tangis ibunya semakin lirih hingga ahirnya tak lagi menyisakan suara. Biasanya memang begitu, ibunya menangis hingga tertidur meski entah pulas entah tidak. Junmei sendiri tak mampu lagi menangis. Mungkin sudah habis persediaan kelenjar airmatanya. Hanya saja, terkadang sesak dirasa nafasnya, atau berat mata dibukanya. Beberapa menit raganya seolah terlepas ringan dari tubuhnya, melayang kemudian lupa segala. Kecuali sakit yang menyelimuti seluruh syarafnya. Sakit yang hangat menjadi teman kesehariannya, hingga lalu perlahan sakit itu tidak lagi terasa istimewa. Biasa saja.

Gadis berparas cantik itu tak membutuhkan waktu lama untuk membuatnya tertidur. Cukup membayangkan waktu yang berlari cepat hingga ingin segera menyambut hari yang bukan hari ini. Menemui saat dimana sore mengubahnya merasa menjadi gadis paling istimewa. Gadis yang berpeluh di dalam baju berbulu besar namun tetap melengkungkan senyum sepanjang pelukan. Sesaat sebelum tertidur selalu disampaikan pesan pada matahari yang sembunyi. "Jangan pernah pergi tanpa menungguku matahari barat, aku masih ingin mendapatkan pelukan. Sebanyak mungkin".

Lalu sekali lagi raga itu seolah terlepas dari tubuh tipisnya, melarikan sakit yang diderita sepanjang malamnya. Tak ada dengkuran, hanya rintihan yang tertahan di tenggorokan.

***

Somerset Station yang terletak di North South line itu tampak berbeda dari hari biasanya. Didepan pintu masuk stasiun MRT itu tak ada boneka raksasa berbentuk hati merah dengan tulisan "HUG ME" didadanya. Tak ada boneka dengan senyum lebar yang membagi-bagikan pelukan. Beberapa pejalan kaki yang lewat sesekali melihat kearah pojok depan tempat boneka itu biasa menari dan membagikan pelukan. Beberapa bertanya pada petugas loket dimana perginya boneka Hati Raksasa itu. Beberapa lagi hanya sekedar berlalu tak peduli.

Sementara diatas meja, didalam salah satu ruangan yang bernomor 71B, terlihat amplop coklat berlogo Singapore National Hospital di pojok kanan atasnya. Terbuka ujung amplopnya, namun dibiarkan tergeletak tak terbaca sejak 3 hari yang lalu. Menunggu keberanian yang tak juga kunjung berhasil dikumpulkan, saat tubuh kecil seorang perempuan terlalu sibuk berjuang menahan sakit seorang diri. Dia masih ingin bertemu sore, masih ingin mendapat pelukan.

Jogjakarta, 18 Juli 2009.

*Untuk asam manis kenangan di negara kecil ituh ;)

No comments:

Post a Comment