Wednesday, February 3, 2010

Pencuri Bunga

Memang tak pernah sepi, bahkan di hari itu, ketika batas jangkauan mataku sulit menemukan jarak di antara tanah pijakan. Manusia bergerombol dan bersuara riuh, dari kejauhan di telingaku terdengar seperti kicau burung yang sahutannya tak jelas sedang melagukan apa. Urat-urat di samping leher terlihat menonjol saat mereka bicara, saling bertukar informasi kemauan dan kepunyaan agar terpenuhi setiap kebutuhan. Memang diperlakukan sedikit adu kekuatan agar bisa memenangkan pertaruhan saat kesepakatan jual beli ditetapkan. Bahkan terkadang sumpah serapah menjadi hal wajar ketika kekecewaan menjadi akhir dari perdebatan yang tidak memuaskan dua belah pihak. Disitulah kami berada, aku dan dia, dua manusia berbasuh keringat yang menjelajah sebuah pasar tradisional di tengah kota. Kurasakan lembab kulit lelakinya saat bersentuhan dengan kulitku yang memucat akibat penguapan keringat yang terbantu oleh sisa-sisa udara seadanya. Dia melingkarkan tangannya dibahuku, melindungiku dari desakan kerumunan yang terkadang menggeser tubuhku dengan kasar. Kami hanya saling melempar senyum ketika menyadari kondisi tak nyaman ini akan membuat pheromone kami bekerja, menggelitik hidung lalu menyampaikan rindu malam nanti.

Di sebuah kios kecil di sudut barat, kurasakan kesabaranku teruji saat penjual perempuan itu melihatku seolah sangsi apa akan terbeli bunga-bunganya olehku. Mungkin karena bibirku kering dan pucat yang mengindikasi tak mampu membeli es jeruk barang segelas, atau mungkin karena dia memang sedang terlalu sibuk mengurusi pembeli-pembeli besar yang memenuhi kantongnya berkali-kali lipat dibanding hasil belianku yang hanya sekedar untuk uang receh kembalian. Entahlah, aku tak tahu pasti. Tapi yang jelas, lelaki yang bersamaku sejak tadi mulai merasa gerah luar biasa. Baik karena pelayanan penjual yang ogah-ogahan itu, juga karena matahari yang menyengat sampai terasa matang tulang-tulang yang terbungkus di lapisan dalam. Dia menungguku sambil duduk di kursi kecil dekat pintu masuk, pilihan tepat agar angin melewatinya terlebih dulu sebelum siapapun di ruangan yang sumpek oleh bunga-bungaan ini. Kakinya mulai bergoyang dengan tempo cepat, berpadu dengan helaan nafas yang terdengar berat dan panjang. Memang bukan kondisi yang nyaman untuknya. Kuusap rambutnya yang sedikit basah oleh keringat, dia balas memandangku dan tersenyum tulus.
“Sabar ya, sebentar lagi selesai” ujarku.
“Tentu saja”. Diacungkan ibu jari kanannya sambil tersenyum lebar. Aku tahu dia tak ingin terlihat kesulitan ditengah kondisi yang memang mengasah kesabaran.

Bunga mawar putih itu seolah merayuku agar aku membelinya, aku memang sedang mencari beberapa hiasan untuk jepit rambut pesananku. Ukuran dan bentuknya pas bila disematkan di rambut yang digerai ataupun digulung kebelakang.
“Bu, saya beli mawarnya yang ini satu tangkai saja”.
Tanpa melihat sedikitpun kearahku ibu penjual itu menjawab dengan angkuh.
“Ndak dijual per tangkai, Mbak, harus beli 1 rangkaian”.
“1 rangkainya berapa bu?”
“Empat puluh lima ribu, Mbak” ketus sekali nada bicaranya.
“Wah, mahal sekali, Bu. Saya hanya butuh satu tangkai saja” Ujarku sambil berharap dia mau menurunkan harga bila dirasa menjual satu tangkai bunga terlalu mustahil untuknya.
“Segitu kok mahal” Ujarnya sambil melengos. Suranya pelan, namun tetap saja menyayat telinga yang mendengar. Huuuuh, dalam hati rasanya ingin sekali kuteriakkan di depan mukanya. Kulihat teman lelakiku mulai berdiri dari kursinya, mungkin penasaran dengan pembicaraan yang membuat wajahku agak menegang. Namun dia tak bicara apa-apa, hanya memperhatikan dengan seksama.

“Jadi bunga yang mana, Bu yang bisa dibeli per tangkai?” kuputuskan tak mengikuti alur penjual yang menyulut kemarahan.
“Tuh, yang disitu. Hanya dua jenis itu saja”. Ujarnya pendek sambil menunjuk dua jenis bunga mawar kering yang diletakkan dalam dua ember yang berdekatan. Tak terlalu menarik, ukurannya kecil, dan bentuknya kurang rapi, kalah jauh bila dibandingkan dengan bunga mawar putih pilihan pertamaku tadi. Tapi sudahlah, aku malas berlama-lama lagi di kios panas ini. Berhadapan dengan muka penjual bengis itu membuat matahari terasa semakin menyulut panas yang menjalar hingga lidahpun malas bicara.
“Ya sudah, saya ambil yang merah satu, yang putih satu.” Kataku akhirnya. Dengan malas-malasan dia mengambilkan dua tangkai untukku dan dimasukkan kedalam plastik.

Teman laki-lakiku menghampiriku, menyadari transaksi yang ahirnya terjadi diantara kami.
“Sudah dapat bunganya?”
“Ya” ujarku perlahan, kurang antusias.
“Tapi kenapa?” tanyanya. Kurasa air mukaku yang kurang bersemangat tertangkap olehnya.
“Aku kurang suka bunganya”.
“Yang mana yang kamu suka?’
Kutunjuk bunga mawar putih pilihan pertamaku tadi. "Tapi itu tak bisa dibeli kalau hanya setangkai”, kesahku. Dia hanya menganggukkan kepalanya. Mengacak rambutku perlahan.
“Sudahlah” katanya pelan. Ya memang sudah. Aku mengerti, tak semua hal yang kita inginkan bisa kita dapatkan, termasuk hal kecil sekalipun.

***

Mesin mobil dia nyalakan, derunya cukup halus, seolah mengerti kepalaku sudah cukup terasa berat oleh terik matahari yang menyerap tenagaku hampir setengah hari ini. Dingin AC dalam mobil cukup membantu mengeringkan keringat yang bercampur debu, sesaat kurasakan relaks yang menyenangkan. Kami belum juga beranjak, masih di pelataran parkir pasar tengah kota. Cukup lama kami terdiam, menikmati hembusan dingin angin buatan yang meniup ke arah muka kami, sampai akhirnya dia memecah keheningan.
“Kamu percaya nggak kalau aku sayang kamu?”
“Kenapa tiba-tiba tanya begitu?”
“Jawab saja, percaya nggak?”
“Ya. Aku percaya” Ujarku pendek.
“Kenapa bisa percaya?” tanyanya lagi.
“Ya percaya saja”
“Ya memang harus percaya dong. Hehe” Dia tertawa ringan, wajahnya persis anak kecil yang nakal.
“Kenapa harus?” tanyaku kemudian.
“Ya harus, lah. Lihat, ini untukmu” dia mengeluarkan sesuatu dari kantongnya, senyum lebarnya dia pamerkan saat menyodorkan mawar putih yang tentu saja aku hafal betul bentuknya. Aku terkejut luar biasa, hingga kututupi mulutku yang menganga lebar dengan kedua tanganku.
“Astaga, bagaimana mungkin kamu mendapatkannya. Ini kan nggak bisa dibeli bijian. Kamu…” tak kulanjutan kalimatku, kugelengkan kepalaku berulang kali, sungguh aku tak habis pikir.
“Tadi kamu bilang kamu menyukainya”, rautnya tak menampilkan wajah bersalah.
“Ya, itu benar, tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya saja mencuri” gemas sekali rasanya, kuhadiahi dia cubitan bertubi-tubi di lengannya.
“Aww..” dia menjerit kesakitan, diusapnya lengannya berulang kali.
“Biar, itu hukuman untuk pencuri”
“Jahat sekali, seandainya bunga itu boleh dibeli satu tangkai saja, tentu aku tak akan mencurinya untukmu”
“Ya tapi juga bukan berarti lantas boleh mencuriii” kataku gemas.
“Aku mencuri karena kamu menyukainya”
“Ah, pencuri tetap saja pencuri”
“ Tapi aku ini pencuri istimewa, pencuri dengan modus membahagiakan kekasihku, bukankah itu romantis? Seharusnya kamu tersanjung, lho”
“Dengan hasil curian?”
“Jika dengan begitu kamu akan bahagia”.
“Kamu pikir aku bahagia?”
“Tidakkah?”
Aku diam saja. Lalu kutatap wajahnya yang tenang, kulihat ketulusan terbaca di mata sayunya. Tak bisa lagi kutahan lagi, aku tergelak hebat, tawaku berderai hebat.
“ Ya, aku bahagia”
“Haha. Meskipun aku pencuri bunga?”
“Apa boleh buat, I love you anyway”. Dia tertawa. Siang itu tak lagi kurasakan terik yang menyiksa, berganti dengan kesejukan yang perlahan mengisi setiap rongga di hati yang berbunga-bunga.
“Hey, maukah kau berjanji padaku?’ ujarku kemudian.
“Apa itu?”
“Jangan ulangi lagi perbuatanmu ini”
Dikerutkannya dahinya, dia terdiam beberapa saat.
“Entahlah”, katanya enteng sambil tertawa lepas.
“Ahhhh” aku gemas sekali, kudaratkan sekali lagi cubitan dipinggangnya. Namun dibalasnya dengan menyematkan bunga di samping rambutku. Diusapnya pipiku. Diam- diam dia bukan hanya sudah mencuri bunga untukku, tapi juga mencuri hatiku.

Di sepanjang dua puluh empat tahun usia, katanya, siang itu adalah kali pertama lelaki itu memberi bunga untuk seorang perempuan. Dan sejujurnya, meski bagiku ini adalah kali yang kesekian, tapi bila statusnya adalah bunga curian, aku rasa ini juga yang pertama. Tapi biarlah, aku hanya akan diam saja. Sampai nanti saat malam tiba, akan aku tambahkan dalam daftar doaku, agar malaikat sedikit meringankan catatan amal buruk atas tindak pencurian bunganya hari ini. Pengaduan bahwa aku bahagia akibat ulahnya semoga saja bisa menjadi pertimbangan. Namun, toh, kalaupun tidak, maka akan tertoreh pertama kalinya dalam sejarahku, tentang kisahku yang jatuh cinta pada seorang pencuri bunga. Damn!

Jogjakarta, September 2009 *yang tertinggal di file document notebook saya

No comments:

Post a Comment