Wednesday, February 3, 2010

Kata yang Sulit

Umm, sulit sekali mengungkapkannya. Bukan karena saya tak suka bicara, bukan juga karena saya tak bisa. Kamu tahu sekali ini keahlian saya. Tapi begitu harus mengungkap sebuah rasa dengan satu kata saja, kelu sekali rasanya lidah ini. Ingin saya cari persamaan katanya, agar nantinya terdengar lebih halus, lebih memanjakan harga diri saya, namun tetap kamu mengerti maksud sebenarnya. Tapi sudah sejak tadi saya putar otak saya, tak berhasil juga saya temukan padanannya.

Bukan, ini bukan benci. Sungguh tak ada alasan untuk membencinya. Tidak bisa juga disebut iri, saya paham saya lebih beruntung dari dia.

Ini tentang perasaan yang ingin sekali saya siram dengan air dingin agar segera padam panasnya. Perasaan yang saya tolak mentah-mentah kehadirannya, yang selalu coba saya tampik kebenarannya. Tentang rasa yang malu saya akui keberadaannya. Saya bukan wanita yang dengan mudah kehilangan kepercayaan atas diri saya. Saya tahu saya pun berharga. Tapi apa harganya saya bila tanpa kamu. Dan kalimat itu yang terus berbunyi seperti sirine, menguing berulang kali, mengganggu telinga saya. Saya ketakutan, saya menjadi diam. Dan lalu kamu bilang saya menyebalkan.

Hey, memangnya kamu saja yang sebal. Saya juga. Bukan padanya, namun pada perasaan yang saya biarkan terus membanjiri saya hingga sebatas leher. Saya khawatir sebentar lagi saya tenggelam. Lalu hangat senyummu hanya akan menggoda saya dari atas permukaan.

undefined

Ini tentang rasa yang setiap mulai saya tuliskan, ingin segera saya hapus dan saya tiadakan hingga tak tersisa bahkan tanda titik dan komanya. Tentang rasa yang tak pernah saya inginkan terbaca oleh siapapun, lebih-lebih olehmu. Saya pikir, ini adalah catatan saya yang paling saya rutuki keberaniannya tampil dalam situs dunia maya.

Baru saat malam membiarkan keraguan saya sendiri berselimutkan sepi. Lalu gelap yang semakin pekat berhasil membuat sinar kecilnya berpendar terlihat lebih jelas. Sayup saya harus mengakui, bahwa ini tentang sesuatu yang mereka sebut cemburu. Kata yang sesungguhnya terlanjur saya hafal benar ketika bersinggungan dengan lukisan rindu yang saya timang-timang sayang. Lukisan tentangmu yang tak pernah rela saya perkenankan bila terbubuh tanda tangan yang mengukir nama lain selain saya dibawahnya.

Rasa yang tak pernah berhasil saya ungkap lebar-lebar, terbuka diatas telapak tangan. Meski sekalipun saya telah berani menyayangi seorang kamu.

Jogjakarta, 10 Oktober 2009

No comments:

Post a Comment