Saturday, February 6, 2010

Mereka yang Berdiri Seharian dan Membagikan Selebaran

Meski toh yang dilihat mewujud pada sesuatu yang sama, namun memang segalanya tetap tergantung dari bagaimana kita menilai. Contohnya saja, sebuah gelas dengan setengah cairan didalamnya. Apakah gelas itu setengah kosong atau setengah penuh, terserah kita lebih suka melihatnya seperti apa.

Terkadang pula, sudut pandang melihat sesuatupun hanya dari sebelah sisi saja, sering kali lupa bahwa bila dilihat dari sudut yang lain maka hasilnya akan berbeda. Misal yang lain, sebuah rumah bila dilihat dari belakang akan tampak biasa saja dan tidak istimewa, namun bila kita melihatnya dari depan tentulah akan jauh berbeda.

Saya bukan hendak bicara mengenai hal berat yang akan menguras pikiran, justru sebaliknya, ini hanya hal ringan yang meski terjadi dalam kehidupan sehari-hari, mungkin akan terlupakan begitu saja.

Tentu sering kita melihat, beberapa pekerja yang berdiri membagikan selebaran, entah itu di mall-mall ataupun di perempatan jalan. Ada yang hanya sekedar membagikan selebarannya tanpa bereaksi lebih lanjut, ada pula yang kemudian berusaha menawarkan produknya dengan menahan kita lalu mulai sedikit berpresentasi. Disaat kita ingin bersantai ataupun jalan-jalan di mall, mungkin saja penawarannya ini menjadi hal yang cukup mengganggu. Tapi apa mau dikata, mereka begitu karena mereka sedang bekerja. Ya memang begitulah resiko pekerjaan mereka, harus bekerja di saat yang lain sedang dalam misi bersantai dan ingin hiburan. Kalau bisa memilih, mungkin mereka ingin ikut bersantai tanpa harus berdiri seharian, membagikan selebaran lalu memikirkan target penjualannya sendiri seperti sedang dikejar setan. Mereka membutuhkan seseorang yang menerima selebaran, duduk mendengarkan lalu berbagi keuntungan. Untuk pembeli, produk unggulan yang sudah di tangan silahkan dibawa pulang, dan untuk mereka yang sudah berdiri seharian, paling tidak selebaran yang diberikan akhirnya berhasil menjadi sarana agar bulan ini tidak ditendang dari perusahaan.

Beberapa waktu yang lalu, saya sempat bekerja bareng dengan mereka yang saya sebut “berdiri seharian dan membagikan selebaran”. Sedikit lebih beruntung karena saya kebagian tugas yang lain berkat hobi mengoceh saya, tidak harus ngeMC di acara sebuah bank tersebut sambil membagikan selebaran ples berpikir tentang target bulanan. Pada saat itu saya berkesimpulan, pekerjaan mereka yang “berdiri seharian dan membagikan selebaran”, meski tidak dibebankan dengan tanggungjawab atas laju perusahaan yang harus berkembang dibandingkan tahun lalu, bukanlah lantas pula pekerjaan yang ringan.

Bukan saya tidak suka pada mereka karena menghalangi langkah saya yang sudah ngebet ingin jalan-jalan di mall bila saya sering menolak selebaran yang mereka berikan, alasan saya hanya sekedar sayang, eman-eman kalo orang jawa bilang. Selebaran itu hanya akan menjadi sampah yang saya buang tanpa terbaca. Bila itu diberikan pada orang yang benar-benar tertarik dan membacanya, maka paling tidak lembaran yang menggunakan kulit pohon dalam proses pembuatannya itu akan diurai lagi oleh tanah setelah memberi manfaat. Itulah sebabnya terkadang sering saya tolak pemberian gratis yang mereka berikan, karena bukan saya yang akan menjadikan lembaran itu hidup bermanfaat.

Namun lalu seharian bekerja bersama mereka yang “berdiri seharian dan membagikan selebaran”, memaksa saya melihat dari sudut yang tidak lagi berbeda, dari sudut yang sama dengan mereka. Di telinga saya, kekhawatiran mereka akan biaya pendidikan masuk SD untuk anak-anak mereka yang berbanding terbalik dengan pemenuhan target bulanannya seolah hanya berjarak setengah meter dari tempat duduk saya. Momok yang mengerikan bagi mereka itu seolah ikut menghantui saya pula. Kekesalan yang terkadang tersembunyikan lewat tawa kecut saat selebarannya ditolak meskipun gratis dan tak perlu bayar, entah kenapa lantas membuat saya berpikir, "Duuuuuh apa susahnya sih kalau diterima saja." Atau kekecewaan yang terpancar di wajah lelah mereka saat selebarannya dibuang sesaat ketika bahkan mereka belum juga hilang dari pandangan, membuat saya berjanji pada diri sendiri untuk menyimpan kertas itu di dalam tas sebelum akhirnya nanti terpaksa saya rumahkan di tempat sampah.

Lalu saya tersadar, betapa reaksi bisa menjadi berbeda ketika kita melihat dan berada di sudut yang berbeda pula. Bahkan untuk hal kecil sekalipun.



Jogjakarta, 7 Februari 2010

6 comments:

  1. seneng kalo baca tulisan dengan topik seperti ini....humanis....terus menulis ya sayang, dan tetaplah melihat semuanya dari sudut pandang positif, seperti biasanya kamu....

    ReplyDelete
  2. iya, makasih ya mas ya.. insya allah bakalan terus nulis, biar ploooong.. Mas juga ya :)

    ReplyDelete
  3. mmm.. aku sering nolakin selebaran gitu.. apalagi tulisannya: INGIN TURUN 10 - 15KG??

    nah ituu.. bencikk aku.. :D

    ReplyDelete
  4. ahahhahaa Khusus selebaran yang itu sepertinya memang cukup mengesalkan secara mental :p

    ReplyDelete
  5. iya san...menurut survey setiap 100 lembar yang dibagikan hanya akan menghasilkan feed back 4...

    Saya pernah mengalami membagikan brosur di p4 an, sendiri, berpayungkan terik, kemudian lelah itu akan sedikit memudar saat seulas senyum atau anggukan kepala Saya terima..:)

    Pernah semapt baca blog dimas novriandi yang berbagi pengalaman beliau saat menjadi salah satu bagian dari Dagadu dan Telkomsel....ya memang begitu rasanya...

    Seperti 12 Februari yl...krena terlalu 'pintar' nya saya membagi brosur...musti di bawa ke post satpam..hehhe..

    ReplyDelete
  6. Iya, memang bukan pekerjaan yang mudah juga kan Ti?

    Hahaha kenapa nduk kamu kok digelandang di post satpam.. :p

    ReplyDelete