Wednesday, February 3, 2010

Aku yang Mengesalkan

Kamu bilang,

Nonton film berdua denganku cukup mengesalkan. Aku sering mengajakmu bicara disela-sela keseriusanmu menonton kisah cerita di layarnya. Beberapa kali juga, kamu mengancam pindah duduk dari sebelahku jika aku tak juga berhenti memberi komentar disetiap adegannya. Sangking kesalnya, kamu menyamakanku dengan Mbah Wito. Katamu, dia itu nenek-nenek tetanggamu yang cerewet sekali saat nonton sinetron. Aku bilang sih, tak apa. Mamaku juga ribut sekali ketika menonton Cinta Fitri kesayangannya. Sayang kamu tak terhibur juga, bagimu aku tetap sangat mengesalkan bila sedang menonton film di bioskop berdua denganmu. Maka terkadang kamu kehilangan sabarmu, kamu bekap mulutku dengan sebelah tanganmu. Aku pasti tertawa, lalu coba meredam komentar-komentarku agar tak sederas sebelumnya. Meski aku tahu kamu tak akan benar-benar marah untuk itu :)

Menurutmu, gaya belanjaku sangat impulsif, meski menurutku itu bukan impulsif, hanya agak energik. Berulangkali kamu ingatkan bila tak semua barang-barang tersebut aku butuhkan. Setelah aku pikir-pikir, kamu benar juga. Mungkin barang-barang itu hanya akan menjadi tumpukan yang terpakai satu-dua kali saja nantinya. Kuperhatikan wajahmu kelelahan setelah menemaniku berputar-putar dan berahir nihil belanjaan ditangan. Tapi aku tahu kamu tak benar-benar kesal padaku. Kamu masih menggandeng tanganku.

Ingat berapa kali aku tak mampu mengingat jalan tujuan? Betapa seringnya perempuan ini tersesat dan bergantung pada benda kecil bersinyal dan meminta pertolongan arah darimu. Kamu bicara lebih keras dengan decakan disela-selanya, tak habis pikir bagaimana mungkin aku bisa lupa jalan yang sudah berulang kulewati. Kamu bilang, itu sama sekali bukan hal yang lucu, yang tak mengundang bahkan sedikit saja simpati. Bukan aku tak mau belajar untuk menjadi hafal, tapi memang hanya pertolonganmu yang kurasakan selalu benar-benar kubutuhkan :)

Kamu juga tak sepakat dengan cara menyetirku yang katamu mengancam keselamatan. Kamu menasehatiku sampai katamu lama-lama sudah malas mengingatkan. Tapi itu tidak benar, kamu tak juga berhenti menasehatiku, kamu marah bila aku melajukan kendaraanku dengan kecepatan yang terlalu. Sama halnya dengan jadwal siaranku yang tak mampu kuhafal benar, selalu salah dan ceroboh kembali terulang. Meletakkan Telpon genggam sembarangan. Katamu, sampai hilang kesabaranmu. Tapi nyatanya tidak begitu, kamu masih tetap saja menemaniku. Menyeka keringatku saat terik bercampur dengan desak manusia di pasar siang hari. Bersahabat dengan koran harian dan facebookmu saat aku sibuk memilih kancing baju dan kain untuk hobi baruku. Kamu tak juga kemana-mana. Kamu selalu disitu.

Itu kenapa aku selalu merasa rindu bila diam sedang menjadi sekat diantara kita. Tidakkah, kamu juga sedikit merindukan perempuan yang sering mengesalkanmu?

Jogjakarta, 4 September 2009

No comments:

Post a Comment