Wednesday, February 3, 2010

That's All

"I can only give you love that lasts forever. And I promise to be near each time you call. And the only heart i own. For you and you alone. That's all"

Kubiarkan suara parau Steward menyatu dengan udara di ruangku. Boleh tak percaya, tapi sudah nyaris 3 tahun ini begitu. Lagu yang selalu sama membuai lelapku hingga tak sadar sudah terbit matahari pertanda pagi. Seandainya penyanyi bersuara seksi itu bisa mengeluh, mungkin dia akan melarikan diri diam-diam saat kupaksa menyanyikan lagu yang sama berulang setiap malam. Entahlah. Aku tak juga bosan. Pernah kucoba sekali malam tak kuputar lagu itu, hasilnya kutemui pagi tanpa lelap sedikitpun. Tak peduli mata pedih ingin sekali terpejam, tak sedetikpun lelap berhasil membuaiku. Malang benar memang nasibku. Sudah berbagai jenis obat tidur terjejal di lambungku, tak satupun manjur membuat tidurku lelap diwaktu normal seperti manusia lain. Hanya lagu itu yang mujarab. Meskipun setelahnya tetap kutemui pagi dengan mata basah, namun masih lantunan track ke 14 itu saja yang kurekatkan berulang di cd player kamar dinginku setiap malam. Lantunan syair yang setia jelang tidurku dan terasa selalu menjadi magis dalam malamku. That's All judul lagunya.

Sesaat sebelum menyandarkan berat kepala di bantal lembut bersarung ungu muda, aku teringat pada email yang semestinya kubuka sebelum melangkah pergi dari tempat kerja. Beberapa info tentang narasumber yang membantu pekerjaanku besok, belum juga sedikit terbaca. Biasanya, sebelum langkah kakiku menjauh dari gedung bertingkat tempatku kerja, semua urusan pekerjaan sudah kuselesaikan tanpa ada yang tercecer. Tapi tidak malam ini. Semuanya terasa terlalu berat. Terlalu lambat. Terlampau pahit.

Kunyalakan laptopku. Tak lama muncul gambar wajahku sedang tersenyum pada background desktopnya. Tak ada yang salah. Tak ada masalah. Cantik juga. Aku menghela nafas yang terdengar jelas ditengah sepi ruang kamar ungu muda. Cukup membuat tersadar, lantunan magis itu sudah berhenti berputar. Kutekan tombol repeat pada CD Playerku agar nanti dia tak perlu menunggu perintahku lagi untuk bernyanyi.

Koneksi internet terlanjur tersambung saat belum juga kutemukan semangat untuk mulai log in pada account email kantor. Tak butuh waktu lama memang untuk log in ke account itu, tapi semacam kebiasaan yang menggerakkanku untuk membuka situs jejaring pertemanan dunia, apalagi kalau bukan Facebook. Karena pun toh aku nyaris tak pernah log out, langsung kutemukan beberapa notifications di pojok kanan atas layar. Beberapa teman men-tag gambar photoku saat gathering news program kemarin malam. Cepat sekali mereka menguploadnya. Baru juga kemarin malam acara berlangsung, sudah terupload album photonya di profile masing-masing orang. Kubuka beberapa gambarku yang ada di album itu, sempat juga membuatku tersenyum sekilas. Namun sesaat sebelum kututup halaman Facebook ku, perasaan itu datang lagi. Semacam perasaan sakit yang terus mengikuti bertahun-tahun ini. Entah dia yang tak mau pergi, atau aku yang sengaja tak membiarkannya pergi. Sudah hampir 3 tahun ini, hanya kuketahui kira-kira kabarnya dari sekedar membaca statusnya yang seperti tak pernah berhenti melukaiku.

Kirana Priambudi: "Begadang lagi. Sekar masih betah minum asi" Posted 3 hours ago.
Sekar. Kueja sebuah nama yang sama betul dengan namaku. Lalu kurasakan semakin sesak nafasku, lantunan Steward tak cukup banyak membantuku malam ini. Sakit sekali rasanya hatiku. Namun bukankah setiap malam selalu begitu. Kulanjutkan membaca status di halaman facebooknya dengan sakit yang kutahan semampuku.
Kirana Priambudi: "Merindukan sahabatku seperti merindukan matahari" Posted 6 hours ago.
Ada 5 yang mengomentari statusnya. Tapi mantap sudah tak ingin kulihat lagi. Makin nyeri tak terperi rasanya hati ini. Kututup semua halaman facebook ku. Secangkir coklat panas yang sejak tadi kusediakan kutenggak cepat-cepat. Namun percuma, pahit tenggorokan tak juga hilang. Masih ajeg tersangkut disitu.

Ah ya, masih ada 1 pekerjaan yang tak peduli pada perasaan malam yang selalu membuat gamang tuk temui pagi. Memeriksa email kantor yang tadi hampir saja terlupakan. Tak biasanya aku begini. Tak ada ceritanya tak semangat untuk pekerjaan sebagai journalist yang sungguh aku nikmati dengan hati. Tapi rasanya tidak untuk malam ini. Aku tahu pekerjaan itu menanti di satu kota yang membuat jantungku seperti berhenti. Ah, tapi toh tetap saja terpaksa harus kubuka inbox dari Bagian Pemberitaan dengan nafas setengah malas malam ini.

Beberapa info tentang narasumber yang harus kukumpulkan besok jelas terbaca. Sejarah singkat riwayat hidupnya cukup membuat hatiku tergerus dan mata ini seperti hendak menyerah menjatuhkan tetes airnya. Ibu Maryati namanya. Seorang ibu dengan hati yang terbuat entah dari apa hingga mampu menampung begitu banyak kasih bagi ke 3 anaknya. Besok pagi, kisah kasihnya itu jugalah yang membuatku harus menemuinya. Mengumpulkan cerita untuk dibagi dengan para penikmat berita.

Kuintip alamat tinggal beliau. Tertulis disitu. Bantul. Jogjakarta.

Seketika semua terasa terlampau berat. Seperti menguji batas mampuku yang tinggal sedikit habis. Hingga nyaris tak kuijinkan mata ini berkedip sesaat. Takut sedetik berkedip terlanjur tak lagi mampu aku mengelak temui pagi.

"I can only give you country walks in spring time. And a hand to hols when leaves begin to fall. And a love whose burning light will warmthe winter's night. That's All"
Entah untuk yang keberapa kali lantunan itu berulang. Tapi sungguh, kali ini aku tak ingin pagi. Aku tak ingin kembali.

***

"Selamat Datang di Bandar Udara Internasional Adi Sutjipto".

Tulisan besar yang tercetak diatas tembok kedatangan membuat perutku terasa mual. Beberapa teman mengomentari status "internasional" dan beberapa perubahannya sejak beberapa tahun lalu yang dirasa masih saja kurang dramatis. Sementara langkahku terasa semakin berat, seperti ada semacam paku yang membuatnya tertahan tak mampu mendekat.

"Sekaaaaar.. Whooy.. Buruaaan ah.. Malah bengong.." Panggilan Gita kameramen perempuan itu membuyarkan lamunanku. Sesaat aku berpayah diri melangkahkan kaki lagi.
"Umm.. Iya. Tunggu" Ujarku seraya menyamakan langkah dengan teman-teman 1 team pemberitaan.
"Eh, Kar. Dulu lo pernah tinggal di Jogjakan? Jadi lo tau dong tempat nongkrong yang asik?" Handi, tim kameramen yang lain mengajakku bicara.
"Iya. Kar.. Sama tempat belanja beli batik yang keren-keren tapi murah" Sasa, tim make up yang selalu ceria itu menimpali. Sepertinya hanya aku dalam tim ini yang tidak bersemangat.
"Kar?? Kar?? Yeee.. Lo tu ya dari tadi diajakin ngomong bengong mulu deh"
"Eh iya. Ntar kalo uda beres kerjaan. Coba gw inget-inget tempat nongkrong yang asik. Umm.. udah beberapa tahun yang lalu, sih" Aku terpaksa menimpali sekenanya.
"Iya niiih.. Urusan kerjaan belum kelar, jalan-jalan mulu yang dipikir" Hendra, produser di tim kami yang sejak tadi diam ahirnya menimpali.

Kota ini. Terlalu banyak menyimpan kenangan. Terlalu banyak menyimpan cinta, namun juga terlalu dalam menorehkan luka yang sangat perih bila disentuh sedikit saja.

Diperjalanan menuju hotel, dibanding dengan teman-teman yang lain aku memang lebih banyak diam. Sengaja kubuka halaman facebookku via mobilephone, seperti hendak ingin menuntaskan sakit yang terlanjur perih. Aku tau dia pasti menuliskan sesuatu tentangku lagi di statusnya. Aku hafal sekali, toh sudah nyaris 3 tahun dia begini. Humm.. hampir setiap hari bukan dia mengiba padaku di statusnya, hanya karena selalu kuabaikan emailnya tak terbalas atau sms dan panggilan telphonenya yang tak pernah kujawab.

Kirana Priambudi: "Sekar pintar sekali bicara, dia juga senang berdandan. Cantik. Mungkin karena namanya sama seperti kamu^^" updated 5 hours ago. Aku menghela nafas berat seperti lelah menahan sakit. Kubuang pandanganku melintasi jalan sudirman yang tetap saja rindang seperti dulu. Menetes airmata membasahi kemeja putihku. Kenapa masih terasa saja sakit, Tuhan. Bukankah nyaris ribuan hari sudah kulewati.

"If you are wondering what i'am asking in return dear. You'll be glad to know that my demands are small. Say it's me that you adore for now and evermore. That's all..."

Kubiarkan lantunan itu sekali lagi menghiasi pinggir kesedihan. Kubiarkan juga suara paraunya seolah benar-benar mencintaiku meski hanya dalam imagi sendiri. Kutekan tombol repeat dalam iphoneku agar berulang lantunan yang sama. Lantunan cinta yang terasa nyata meski sebenarnya ku tahu tidak.

***

Namanya Ibu Maryati. Usianya sekitar 50 atau 51 tahun. Ia tak mengingat pasti umurnya, dia bilang kira kira usianya kurang lebih 8 tahun saat supersemar dikeluarkan. Dari pengalaman hidupnya, aku tak hanya sekedar belajar tentang perjalanan hidup tapi juga tentang menghentikan keputusasaan. Itulah salah satu alasan kenapa kami yakin membagi rasanya pada pemirsa dalam kumpulan nyata "cerita", bila memang terlalu melankolis untuk dibilang berita.

"Ibu Maryati, apa harapan ibu untuk ketiga putra ibu?" pertanyaan lanjutan yang kulontarkan untuknya.
Ibu yang masih setia menggunakan kain jarik lurik itu menarik nafas sebentar, kemudian menarik beberapa helai rambut putihnya kebelakang. Diusapnya wajahnya dengan tangan kanannya. Ah, terlalu beratkah pertanyaanku untuknya.
"Dalam setiap doa saya ketika shalat. Saya mohonkan panjang umur saya. Saya ingin bisa merawat ketiga buah hati saya benar-benar semampu saya. Kalau bukan saya, entah siapa yang merawat mereka. Terkadang saya berpikir, Ya Allah, kalau Engkau ingin mencabut nyawa ketiga anak itu lebih dulu dari nyawa saya, saya ikhlas. Saya bener-bener ndak tahu mbak Sekar, Siapa nanti yang mau merawat mereka, kalau saya sudah ndak ada" Kalimatnya yang berlogat jawa itu terdengar semakin melemah, wajahnya tampak sedih. Matanya seperti sedang memandang ketiga anak berwajah kosong yang terduduk di lantai tanah beralaskan tikar. Tapi mata itu tak sekedar memandang, namun juga menerawang jauh, seperti sedang mencari energi dari cinta yang menguatkan dan tak putus-putus. Seketika seisi ruangan menjadi hangat, kulihat beberapa kali Gita menghapus air di ujung matanya dengan tissue yang tersimpan dikantongnya, sembari tetap berdiri dibalik tripodnya. Sedangkan aku, tentu saja aku menahan tangis sejak dari menit awal tadi.Kamera jauh Gita dan kamera close up Handi masih terus menyimpan gambar dan cerita. Sesaat kulupakan perasaanku yang mulai dipermainkan airmata diujung lirik yang siap jatuh. Satu pertanyaan lagi, Hendra produser program kami memberi tanda dengan gerakan tangan yang sudah kuhapal betul.
Aku tersenyum sebentar, kuusap tangan Bu Maryati, ingin menenangkan hati yang pasti sedang dipermainkan perasaan untuk segera menumpahkan airmata.
"Ibu, yang ibu jalani ini bukanlah hal yang mudah, tapi ibu bisa menjalaninya dengan sangaaaat baik. Pertanyaan terakhir dari saya. Apa yang membuat ibu sanggup ikhlas menjalani ini?"
"Saya memang ndak punya apa-apa mbak. Mau makan hari ini saja kadang-kadang saya masih mikir. Yang penting ketiga anak saya makan dulu, baru saya pikirkan perut saya. Tapi saya selalu punya cinta setiap hari. Cinta saya pada apa yang sudah jadi kehendak Allah, dan cinta saya pada ketiga anak saya. Cuman itu mbak. Yang lain saya ndak punya." Ibu maryati tersenyum. Kata-katanya sungguh menyihir seisi ruangan. Seolah sempurna memberi pelajaran pada kami yang mendengar. Bahwa menjalani hidup adalah dengan menggerakkan cinta agar terus menjadi nafas setiap hari. Seperti cinta ibu Maryati yang tak pernah habis teruji oleh ketiga anaknya yang menderita down syndrome akut sejak lahir.

Selepas menutup acara, aku mengucapkan terimakasih kepada ibu Maryati yang sudah bekerjasama dengan baik. Tim kameramen membenahi peralatan yang agak berantakan diseisi ruang. Sebentar ibu Maryati menghampiriku dan memberikan tas yang kutitipkan dikamarnya.
"Terimakasih, Bu"
"Saya juga terimakasih, mbak. Monggo di makan seadanya. Cuman ada wajik, beli di pasar kemarin" Ujarnya ramah.
"Duh. Jadi merepotkan. Terimakasih, Bu" Aku tersenyum sambil mengambil sepotong wajik yang tersedia di piring plastik diatas meja kayu sangat sederhana, meja yang nyaris tak berdesign dengan paku yang masih sangat kasar tertancap disudut-sudutnya.
"Maaf. Saya tinggal kedalam sebentar ndak papa mbak? siap-siap untuk makan malam anak-anak"
"Ah. Silahkan ibu. Nggak masalah" Ujarku.

Kutengok ketiga anak Bu Maryati yang tertidur diatas tikar. Benar-benar dibutuhkan hati yang luas untuk mengikhlaskan kenyataan bahwa buah hati tersayangnya tidak sama dengan anak-anak yang lain. Ketiga anak yang usianya sudah tidak lagi bisa dibilang anak-anak itu tetap saja bertingkah seperti anak-anak. Down syndrome yang mereka derita sejak lahir mengakibatkan otak bekerja terlalu lambat, tidak semestinya. Lebih dari itu, Down syndrome tidak hanya membuat komposisi wajah mereka berbeda dengan mata yang tidak seimbang besar dan geraknya, atau bibir yang tak bekerja normal ketika menghasilkan suara, namun juga melumpuhkan kedua kaki dan tangan yang tak bekerja sempurna. Anak-anak yang berusia 17 tahun, 14 tahun dan 10 tahun itu benar-benar menggantungkan seluruh pergerakan hidupnya pada Bu Maryati, bahkan untuk mandi atau makan sekalipun. Tentu saja bukan hal yang mudah bagi seorang ibu, harus mencari nafkah dengan menjajakan kain batik pada tetangga, sekaligus mengurus dan menghidupi ketiga anak dengan kondisi tubuh yang sudah tak lagi muda. Aku menghela nafas, kurasakan berat. Malu rasanya bila terkadang lupa bersyukur untuk hidup yang lebih mudah ini.

Beberapa teman-teman masih membenahi peralatan shooting,kusampaikan pada mereka niatanku untuk tinggal sebentar lebih lama di rumah Bu Maryati. Paling tidak menunggu sampai ketiga anaknya terbangun dan memberi hadiah kecil pada mereka. Jika teman-temanku ingin pulang terlebih dahulu, tak apa, toh aku tahu jalan pulang.

Sebentar kuraih HPku, lagi-lagi rasa ingin tahu menggerakkanku membuka situs jejaring pertemanan itu via mobilephone. Status-statusnya yang tak pernah absen kubaca untuk menggenapi sakit yang selalu menjadi pemberat pelupuk mata sesaat sebelum terlelap. Bukan profil halamanku yang selalu ingin kutahu. Tapi halamannya, statusnya.
Kirana Priambudi: "Harus bagaimana lagi kumohonkan maaf darimu? Habis airmataku" Up dated 30 minutes ago.
Lalu bagaimana dengan airmata yang kujumpai setiap terbangun dari tidurku, Kirana. Betapa inginku air mata itu terkuras meski tak juga kunjung. Terus kubaca statusnya dengan nafas tertahan. Kurasakan mataku mulai panas.
Kirana Priambudi: "Baru saja membeli CD Steward langka. The Greatest American Song List. Akan kuberikan semua yang kukumpulkan sejak beberapa tahun terlewatkan ulang tahunmu. Tidak inginkah sebentar menemuiku?" Up dated 2 hours ago.
Aku menghela nafas panjang. Ah Kirana, jika kau selalu ingat siapa penyanyi favoritku, lalu kenapa bisa kau lupa bagaimana seharusnya memperlakukan hati seseorang yang selalu kau sebut sahabatmu. Bukankah seharusnya itu lebih mudah diingat. Sakit itu masih terus disini, kirana. Seandainya aku tahu bagaimana mengusirnya pergi, pasti tak akan kurasakan nyeri saat kembali ke kota ini. Terus kubaca halaman profilenya kebawah.
Kirana Priambudi: " I know u r here. Welcome Back. I saw u on TV, beautiful" Up dated 7 hours ago.
Ah, rupanya dia menyadari kehadiranku disini. Tayangan liputan langsung dari kediaman Cawapres Boediono pagi tadi memang membuatku menerima sms dari beberapa teman yang menyadari kehadiranku dikota ini. Beberapa sekedar mengingatkan oleh-oleh Batik atau Bakpia untuk dibawa pulang. Ternyata dia juga melihat tayangannya. Well, bukan salahnya, everybody has TV. Satu-satu kesalahannya adalah pernah menjadi tidak jujur padaku, hingga terlekat nama Priambudi dibelakang namanya. Ah, bagaimana mungkin semudah itu lupa, Kirana. Bukankah dalam curahanku padamu itu sudah rapi terencana menjadi nama belakangku. Pertemuan kedua keluarga, cincin yang melingkar di jari manis tangan kiriku, tampak seperti semacam janji yang terikrar tak hanya dihati dan namun juga dibibir. Lalu kurang apa lagi, selain kurang kesetiaan darinya dan darimu, Kirana. Setelah kepulanganku menyelesaikan S2 di Belanda. Tak ada lagi angan menyatukan nama menjadi Sekar Priambudi. Rasanya aku tak penah ingin percaya. Bagaimana mungkin ini terjadi padaku, bukankah kau sahabatku sendiri. Apa salahku. Benci itu kini begitu menyatu denganku, menutup semua cerita indah yang sempat terunut antara aku dan mas Pri. Menghapus kata sahabat dalam kamus hidup perjalananku dan kamu, Kirana.

Kututup halaman Facebookku. Sepi ruangan kecil ini membuat degup nyeri jantungku terdengar lebih kencang. Hanya ada aku. Teman-teman satu tim pemberitaan sudah terlebih dahulu pulang. Dari pintu yang dibiarkan terbuka kulihat Bu Maryati sedang memandikan ketiga putra-putrinya yang didudukkan dalam ember plastik besar. Ya Allah, seolah hanya aku yang paling nestapa. Betapa periku belum seberapa. Kukatupkan kedua mataku. Menetes beberapa genangan yang membuat pandanganku kabur.

"Bu, boleh saya kesitu?" aku berteriak dari dalam.
"Monggo, mbak Sekar. Kemari"
Kulangkahkan kakiku kearah sumur dibelakang rumahnya. Tampak Bu Maryati memandikan ketiga anaknya yang pasrah dimandikan seperti bayi. Anak lelaki normal berusia 17 tahun lain pasti sedang asyik jalan-jalan di Mall. Tapi mungkin mereka tak seberuntung Yanto, anak tertua Bu Maryati yang masih merasakan cinta ibu yang tak sedikit saja terbagi dengan goda duniawi. Aku duduk dikursi samping sumur penuh lumut hijau tua. Bu Maryati menggendong Yanto yang sudah selesai dimandikan. Sejujurnya, sedikit agak geli melihat anak sebesar itu tanpa sehelai busana juga, tapi perasaan ingin mencicip cinta Bu Maryati yang besar mampu mengusir ketidaknyamananku. Aku menawarkan bantuan untuk ikut menggendong Sukma, anaknya yang paling kecil yang berusia 10 tahun. Kemampuanku memang terbatas, sehingga hanya sekedar membantunya memapah anak-anaknya ke kamar atau membukakan kancing baju untuk dikenakan ketiga anaknya yang bisa kulakukan.

Bu Maryati tampak senang, dia menghargai kehadiranku. Dia banyak bercerita tentang perasaannya yang terkadang terluka pada tetangga yang seenaknya memperlakukan ketiga putranya. Bukan sekali dua, mereka mengusir Yanto ketika Bu Maryati mengajaknya serta saat menjajakan batik. Sedih sekali wajahnya ketika menceritakan itu. Hati ini ikut marah mendengar perlakuan manusia yang merasa sok paling sempurna.

Sejurus pandangku tertambat ditembok sudut kanan. Kulihat ada satu photo yang warnanya mulai menguning, terpajang tanpa bingkai.
"Itu photo keluarga ibu?"
"Iya, mbak Sekar. Photo keluarga yang lengkap satu-satunya" ujarnya tersenyum sambil menyisir rambut Sukma, putri kecilnya.
"Ini suami ibu?"
Bu Maryati menengok kearah photo itu sebentar, lalu mengangguk.
"Saat itu Yanto masih berusia 10 tahun, Bambang 7 tahun, Sukma belum juga genap 3 tahun" ujarnya lagi.
"Yang ini siapa? Adik ibu?" aku menunjuk gambar seorang wanita yang berdiri di sebelah ibu Maryati. Kali ini beliau tidak lagi menoleh. Dia hanya terdiam sebentar.
"Bukan, mbak Sekar. Itu Ibu kandung ketiga anak saya. Istri kedua almarhum suami saya"
Aku sungguh terhenyak, seperti baru saja ada batu besar didepan yang tak terlihat dan membuat saya tersandung bergulung.
"Kaget, mbak Sekar?" ujar Bu Maryati sambil tersenyum. Aku hanya mengangguk.
"Suami saya pernah menikah lagi dulu. Tapi istrinya sakit-sakitan, saat Sukma berusia 3 tahun, dia meninggal karena lemah jantung. Saya sendiri tak bisa memberi keturunan untuk suami saya". Sekarang Bu Maryati bercerita sambil menyuapi ketiga putranya, bergantian dari mulut Yanto, Bambang dan Sukma.
"Lho, kok jadi ndomblong lho, mbak Sekar?"
Aku sungguh tak habis pikir. Jadi rupanya ketiga anak yang habis habisan beliau cintai ini adalah buah cinta suaminya dengan wanita lain. Oh Tuhan, ada apa dengan wanita ini, atau ada apa dengan aku yang tak juga bisa mengerti.

"Ibu, boleh saya bertanya?"suaraku mulai parau, tercekat hebat ditenggorokan.
"Ya, mbak Sekar. Tanya saja" suaranya tetap tenang sambil terus sabar menyuapi putra putrinya yang terkadang tak mau mengunyah makanan dimulutnya. Benar-benar seperti bayi.
"Apa, sih yang membuat ibu bisa mencintai anak-anak itu seperti anak kandung ibu sendiri?" tanyaku hati-hati.
"Mbak Sekar, saya rasa Tuhan memang menghadirkan mereka untuk membuat saya mencintai hidup. Mereka alasan saya bertahan hidup. Hanya mereka yang membuat saya ingin bangun pagi lalu menyiapkan sarapan. Hanya mereka juga yang membuat saya melupakan lelah ketika saya berkeliling menjajakan batik. Ketika saya melihat mata mereka yang membutuhkan saya lebih dari siapapun, saya sadar, bahwa mereka yang menjadikan hidup saya berarti. Mereka yang mencintai saya dan saya cintai." Bu Maryati menghentikan suapannya ketika mengucapkan ini, matanya menatapku dalam-dalam.
"Saya sedikit belum mengerti, Bu"
"Apa yang belum mbak Sekar mengerti?"
"Bagaimana ibu bisa seikhlas itu?"
"Kenapa ndak, bukankah Tuhan memperlihatkan cinta dengan caranya sendiri. Tak pernah saya dicintai sebesar mereka mencintai saya"
"Tapi bukankah mereka anak suami ibu dengan wanita lain? Tidakkah sakit hati ibu?" aku sedikit agak terbawa emosi.
"Maaf Bu, tidak semestinya saya berkata begitu"
Bu Maryati hanya tersenyum. "Mbak Sekar, kalau suami saya pernah menyakiti hati saya, lalu apa itu salah mereka?" Ujarnya sambil membelai rambut ketiga putra putrinya. Aku terhenyak. Seperti ingin menangisi hidupku yang kusadari begitu sempit melihat arti cinta. Tenggorokanku makin tercekat. Bu Maryati benar.

Kuusir pertanyaan yang sedari tadi berputar diotakku, sayang, pertanyaan itu tak juga pergi.
"Ibu?"
"Ya." Bu Maryati membereskan piring makan malam anaknya yang mulai kosong.
"Jika boleh saya bertanya, apa yang membuat ibu bisa ikhlas memaafkan suami ibu ketika itu?"
Bu Maryati berhenti membereskan piringnya. Diusapnya wajahnya, ditarik kebelakang beberapa rambut berwarna putih yang jatuh menutupi wajahnya. Dia tersenyum. Digenggamnya tanganku. Seperti tahu aku sedang menyimpan sakit yang tak bisa lagi kusimpan sendiri.
"Mbak, tentu saja saya sakit. Tentu saja luka itu meninggalkan bekas yang tak mungkin terlupa. Tapi kalau Tuhan saja hanya akan meminta pertanggungjawaban manusia hingga nanti tiba waktu hari penghitungan, lalu kenapa kita merasa pantas menghukum manusia selama hidup di dunia. Maafkan saja." Ibu Maryati tersenyum padaku. Sementara aku menangis tersedu tak mampu tertahan lagi. Kubiarkan diriku jatuh dipangkuan seorang ibu yang berhati nyaris sempurna. Sambil berbisik atas syukur yang tulus terucap untuk runutan perjalanan yang telah kulalui.

Kucium tangan Bu Maryati, kuberikan juga hadiah-hadiah pada Yanto, Bambang dan Sukma. Mereka tampak senang. Berhati-hati pulang ke Jakarta, begitu pesan Bu Maryato ketika aku pamit.

Kupandangi jalan dan lampu kota yang berbentuk khas dari balik jendela TAKSI. Suasana kota Jogja cukup banyak berubah sejak terahir 3 tahun lalu aku kemari. Lebih Ramai, namun tetap ramah. Kota ini dulu pernah membuatku ingin segera kembali, namun lalu aku juga pernah ingin sekali menghapus jejak kota ini dari torehan mimpi. Kini kurasakan sakit ini nyaris kering. Saat coba kusentuh, tak lagi begitu nyeri. Perlahan kucoba melafalkan kata maaf dalam nafas yang tidak hanya separuh-separuh saja.

Kubuka Facebookku lagi, kulihat halamannya lagi. Kubaca statusnya, Kirana Priambudi: "Tak ada yang lebih kuinginkan dari pulang ke hadapanNya dengan membawa maaf darimu, Kar" Updated 3 hours ago. Membacanya jantungku seperti berhenti. Apa ada apa dengan Kirana. Tiba-tiba keningku berkeringat. Tenggorokanku tercekat. Langsung kubuka 7 komentar dengan loading koneksi internet yang terasa terlampau lama.

7 comments:
Rara Hastuti: "Kirana, jangan menyerah. Aku bantu dengan doa, ya"
Riski Amalia: "Tawakal, Kirana. Biar Allah pilihkan yang terbaik"
Priambudi Atmodjo: "Sayang harus terus berjuang ya. Untuk Sekar kecil dan untuk Sekar sahabat kita. Besok mas temenin kemoterapi lagi"
Air mataku berderai-derai. Tak sanggup meneruskan membaca 4 komentar yang tersisa. Sadari betapa sungguh egois aku melihat dunia dengan mataku saja.

Kubuka profileku. Kuubah statusku,
Sekar Kinasih: "Aku mau kado CD Stewardku. Aku mau memeluk Sekar kecilku. Aku mau kerumahmu. Sekarang" Posted.

Tak kupedulikan tatapan sopir TAKSI yang terheran menatapku dari spion tengah. Air mataku benar-benar belum bisa berhenti. Aku tidak ingin terlambat melihat cinta yang begitu besar, Tuhan. Cinta yang tidak hanya tampak dari sudut kerling mataku saja. Maafku untuk kesepian yang aku pikir hanya milikku saja. Aku ingin bertemu Kirana, Mas Pri dan juga Sekar kecil, memeluk mereka dan menyerahkan cinta yang masih kusimpan rapi meski sedikit terbungkus luka. Ya, luka itu, sepi itu, tenyata bukan hanya milikku. Dan sesuatu yang kunamakan cinta, ternyata tidaklah bisa dipandang hanya dari satu sudut saja. Terimakasih Tuhan, sekarang aku mengerti. Kuhapus airmataku berulang kali, meski kutahu belum juga akan berhenti. Ah, Aku Rindu Kirana, aku rindu mas Pri. Dan akan kukatakan betapa tante Sekar menyayangi Sekar.

***

"I can only give u love that love forever. And promise to be near each time you call. And the only heart i own. For you and you alone. That's all"

Mengalun lantunan itu sekali lagi dari ipodku. Mungkin juga nanti malam masih akan terdengar suara parau itu menghias seisi udara di ruangku. Tapi rasanya, tak akan kutemukan lagi air mata saat aku terbangun besok. Hanya cinta yang lebih dewasa, meski tetap sederhana. That's All.

Jogjakarta, 10 Juli 2009

No comments:

Post a Comment