Wednesday, February 3, 2010

Memaafkan Masa Lalu

Tepat di waktu ini, di menit ini dan di detik ini juga, jika kita masih merasakan nafas yang kita hirup sama hampanya dengan sebelumnya, tanah yang kita pijak masih padat seperti waktu-waktu sebelumnya, bersyukurlah atas setiap masa yang ternyata masih memiliki komponen-komponen sama untuk merasakan kehidupan.

Bila seolah sebelumnya, kesedihan seperti menyumbat lubang hidung dan menghimpit paru-paru, atau kemarahan menggempur lutut kaki sehingga rasanya seolah tak mampu menyangga badan tegak berdiri, lihatlah sekarang, ternyata kita masih bernafas dan masih juga menapak telapak pada tumpuan. Kesedihan dan kemarahan yang tumbuh subur dan kita pelihara di masa lalu, tetap tak juga menutup jalan Tuhan yang mau tak mau tak bisa kita rubah dan hentikan rute perjalanannya.

Saat saya menuliskan ini, saya sadar betul, banyak hal yang saya lalui sebelumnya. Menjadikan saya sosok lengkap dengan segala pengalaman seperti sekarang, yang masih kurang makan asam garam. Bagimu, mungkin pengalamanmu terasa jauh lebih pahit, seperti makanan bercampur duri-duri kasar yang sulit sekali ditelan bulat-bulat. Namun kesedihan, kemarahan, kekecewaan yang hadir dalam arsip arsip hidupmu sampai 1 detik yang lalu, akan tetap tercatat dalam lembar sejarahmu. Jika menghapusnya dengan paksa atau memilih yang indah-indah saja, bukankah itu seperti mengingkari sejarahmu sendiri. Biarkan saja. Toh lihat sekarang kamu baik-baik saja, bahkan dengan koleksi luka dan kepahitan yang tersimpan seperti daftar panjang.

Humm, kalau masa lalu itu mengikuti dan tak mau pergi, jangan marah ya. Mereka terlanjur hidup seperti darah yang meski dicuci berulang kali namun tetap saja wujudnya adalah cairan yang sama. Mengingkari masa lalu menurut saya seperti mengingkari takdir Tuhan, dan menghapus masa lalu menurut saya lagi seperti pekerjaan sia-sia. Catatan itu melekat dengan tinta abadi, dihapuspun tetap saja meninggalkan jejak. Kalau mau, minta saja pada Tuhan untuk menekan tombol “delete” pada komputernya. Tapi bukankah Tuhan tidak pernah bermain-main dengan waktu. Apa jadinya bila kita harus dibuat bingung karena waktu yang maju mundur dan tubuh yang kebingungan akibat bisa seenak perut menjadi tua menjadi muda lalu tua lagi, bahkan bisa pula lahir lalu mati, lahir lalu mati lagi. Untunglah, Dia berbaik hati dengan menyederhanakan waktu dengan hanya bergulir ke depan tanpa pernah kembali ke belakang.

Band asal Irlandia yang saya sempat ngefans berat punya 1 lagu bagus yang rasanya memang ada benarnya, forgiven but not forgotten. Untuk hal-hal yang menyita dan menguras energi pikir dan rasa, sepertinya mustahil bagi kita manusia biasa, melupakan begitu saja. Bahkan butuh usaha luar biasa untuk menyingkirkan sakit dan marah yang terkadang meniupkan dendam yang kecil-kecil kita bangun sebagai pijakan bila terkadang ingin melongok kembali ke masa lalu. Padahal, bahkan ketika kita sudah berhasil melupakan sekalipun, saya rasa sesungguhnya itu tidak benar-benar begitu. Kumpulan kenangan itu hanya menepi di pinggir-pinggir pikiran, sehingga memang tak kasat dilihat mata. Atau bila kita menutupnya rapat-rapat, menambalnya dengan tumpukan cerita indah, menurut saya lagi, itupun tidak sepenuhnya begitu. Hanya sebatas apa yang kita inginkan yang terlihat dipermukaan. Seperti halnya luka yang belum kering, dan kita tutup secara paksa, maka akan butuh lebih lama waktu baginya untuk menjadi kering.

Jadi sudahlah, masa lalu itu akan tetap begitu dan akan tetap disitu. Jangan dipaksa pergi, karena toh jejaknya tak akan mungkin terhapus lagi. Percayalah, waktu akan meniupkan angin sebagai bala bantuan yang terkirim agar luka mengering. Berdamailah dengan sejarahmu, dengan masa lalu yang mau tak mau akan selalu begitu. Berdirilah didepan cermin, wajah yang sama masih terpantul bukan? Bila ada garis-garis kerutan disamping mata, percaya saja itu garis-garis kedewasaan yang menjadikan bijak kehidupan.
Belajarlah memaafkan patah hati, kegagalan, kesalahan, kesedihan, kemarahan. Yang meski saya tahu pasti tentulah tidak mudah, namun toh tidak juga berhasil menghentikan waktu yang bergulir sampai sekarang. Kita masih disini, bernafas dan berpijak.

Terimakasih Tuhan, untuk masa lalu yang menghantarkan saya pada masa sekarang. Biarkan saja, sayang. Maafkan dan jangan merasa terganggu. Biarlah dia mengikuti dan menjadi rangkaian sejarah perjalanan yang menjadi sahabat nanti dikala tua.

Jogjakarta, 21 September 2009 * Kamar ungu muda dengan rinai hujan pagi hari, 2 syawal 1430 H. Mohon maaf lahir dan batin. Semoga diri suci kembali.

No comments:

Post a Comment